Bipolar disorder merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan perubahan suasana hati (mood) yang ekstrem. Pada bipolar disorder terdapat fase mania (manic / hypomanic) dan fase depresi. Pada fase mania terjadi peningkatan mood seperti bahagia berlebihan, banyak ide, banyak bicara, badan terasa prima hingga tidak membutuhkan istirahat, sedangkan untuk fase depresi terjadi penurunan mood seperti tidak semangat, lelah dan ngantuk berlebihan hingga menutup diri dari aktifitas sosial. Banyak masyarakat menganggap jika gangguan bipolar sama dengan skizofrenia (gila), benarkah demikian?
Aku tumbuh sebagai sosok yang sangat ambisius, idealis dan individualis. Sejak kecil aku selalu memimpikan untuk menaklukkan dunia. Dengan mimpi inilah aku berusaha sekuat tenaga dan mengorbankan waktu istirahatku untuk belajar. Ketika duduk dibangku SMP dan SMA, aku beberapa kali mengikuti olimpiade baik di tingkat nasional maupun tingkat propinsi, juga tak sedikit menjuarai perlombaan tingkat sekolah menengah. Namun prestasi ini tidak dapat diimbangi dengan kehidupan sosialku dengan lingkungan sekitar.
Memasuki usia remaja, aku sering mengalami halusinasi, delusi, mendengar suara garputala, penurunan kognitif, sulit fokus, memiliki banyak ide, sangat bersemangat, sulit tidur, mengalami mood swing yang sangat ekstrim dalam waktu dekat. Tak hanya itu, dalam berinteraksi dangan lingkungan pun menjadi kendala besar yang harus aku hadapi. Bagaimana tidak jika aku sering merasa tidak nyaman ketika berbincang dengan durasi yang lama dan tidak tau bagaimana melakukan komunikasi yang efektif dan timbal balik. Maka tak heran jika orang-orang terdekatku seperti teman dan tetangga menganggapku aneh, angkuh dan tidak memiliki empati, sehingga tak sedikit dari mereka yang enggan berteman denganku.
Karena kondisi ini, tepatnya pada tahun 2019 aku memutuskan ke psikiater untuk berkonsultasi tentang apa yang dialami dan dirasakan. Setelah melakukan wawancara yang cukup panjang dan pemeriksaan fisik, aku dinyatakan mengidap bipolar disorder ADHD oleh psikiater dan disarankan konsumsi obat seumur hidup. Tentunya vonis ini menjadi pukulan yang berat bagiku dan keluarga, namun lambat laun kami bisa menerima kondisi ini dengan lapang dada. Tak butuh waktu lama bagiku untuk berdamai dengan kondisi ini, terlebih kedua orang tua yang sangat gigih memberi dukungan moral untuk kesembuhanku.
Untuk menangani kondisiku, psikiater menyarankan konsumsi obat secara rutin dan tepat waktu, menjalani psikoterapi, sosial terapi, serta menjalani pola hidup sehat dengan rutin berolah raga dan konsumsi makanan yang bergizi. Selain itu, sosial terapi yang kujalani seperti bergabung dengan komunitas bipolar, komunitas spiritual dan juga komunitas sosial lain menjadi faktor penunjang agar kondisiku tetap stabil.
Konsumsi obat membuat tubuhku menjadi lebih mudah lelah dan mengantuk. Namun hal ini tidak sebanding dengan banyaknya perubahan positif yang terjadi padaku. Aku merasa lebih tenang, bisa mengontrol emosi, dan tidak lagi merasakan delusi, bunyi garputala, dan gejala lain seperti gejala sebelumnya. Akan tetapi, obat dan terapi ini tidak serta merta menghilangkan bipolarku, aku masih merasakan fase mania dan depresi, hanya saja fase yang kulewati kini lebih stabil dan tidak terlalu ekstrim.
Saat ini aku bekerja pada salah satu perusahaan BUMN di Bandung dan bergabung dalam divisi Manajemen Proyek. Tak dapat dipungkiri bahwa kondisiku sebagai orang dengan bipolar masih saja mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar terutama dalam lingkungan pekerjaan, namun kondisinya tidak separah sebelum ditangani oleh psikiater. Pernah kudapatkan perlakuan tidak enak dari salah satu rekan kerjaku, difitnah, dianggap tidak mampu bekerja, tidak dilibatkan dalam diskusi bahkan pernah dikatakan gila.
Stigma negatif juga pernah didapatkan oleh teman-teman lain dari komunitas bipolar, tak jarang mereka juga mendapatkan julukan “gila”. Gila adalah salah satu gangguan jiwa yang disebut skizofrenia. Bipolar disorder tidak sama dengan skizofrenia, bipolar disorder tetap memiliki kesadaran seperti orang normal pada umumnya, bisa bekerja dan memiliki perasaan seperti rasa menyukai lawan jenis. Hanya saja orang dengan gangguan bipolar mengalami perubahan mood yang ekstrem bahkan dalam waktu dekat. Menurut psikiater yang menanganiku, orang dengan skizofrenia tidak mampu menyelesaikan pendidikan formalnya, dan terus mengalami penurunan kesadaran jika tidak ditangani dengan tepat.
Minimnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan mental, membuat mereka tidak bisa membedakan jenis-jenis gangguan jiwa dan juga tidak bisa memahami bagaimana menyikapi orang-orang dengan gangguan jiwa. Tak sedikit masyarakat yang masih menutup mata dan menganggap tabu tentang kesehatan mental. Hal inilah yang memunculkan banyak stigma negatif dari masyarakat pada penyandang gangguan jiwa, mereka mengangap semua orang yang mengalami gangguan kejiwaan adalah gila.
Menjadi orang dengan bipolar tentunya tak lepas dari stigma negatif dari masyarakat. Hal ini tidak perlu dilawan, hanya harus aku buktikan bahwa stigma yang mereka rekatkan itu tidak benar. Namun tak dapat dipungkiri bahwa stigma negatif yang aku peroleh sangat mengganggu kesehatan mental dan mempengaruhi kondisiku. Aku juga menginginkan kehidupan yang layak dan normal seperti manusia lain pada umumnya. Aku dan teman-teman lain tidak gila. Jangan jauhi dan diskriminasi kami hanya karena kami memiliki keterbatasan. Harapanku, semoga masyarakat bisa membuka hati, mengulurkan tangan dan merangkul orang dengan gangguan jiwa serta memperlakukannya dengan baik.
Bipolar bukanlah suatu keburukan melainkan pemberian dari Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas. Saat ini aku bisa bangkit dan berjalan walaupun tertatih, itu semua karena dukungan dari keluarga, teman-teman dan lingkungan terdekatku. Namun bagaimana dengan teman-teman lain (orang dengan bipolar) di luar sana? Bahkan tak sedikit dari mereka justru dikucilkan oleh keluarganya, dipasung, diasingkan dan dianggap sebagai aib keluarga. Lalu sampai kapan orang dengan bipolar didiskriminasi?
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Membongkar Stigma: Etos Kerja Gen Z Tak Selamanya Buruk, Kenali Lebih Jauh!
-
Seni Tato di Kalangan Mahasiswa Yogyakarta: Antara Ekspresi Diri dan Stigma
-
Gangguan Kejiwaan atau Hanya Hobi Aneh? Pria Yunani Cium Bau Sepatu Tetangga
-
Sebuah Keresahan yang Perlu Dibahas: Stigma Pekerjaan Sampingan
-
Berperan sebagai Psikiater, Ahn So Yo Bergabung dalam Drama Korea Dear Hyeri
Kolom
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
Terkini
-
Ada 4 Pemain Timnas U-20 di AFF Cup, Jadi Ajang Pemanasan Piala Asia U-20?
-
Pindah ke Pabrikan KTM Musim Depan, Pedro Acosta Tak Alami Kesulitan Apapun
-
Super Lengkap, Menjajal Menu di Angkasa Kopi Tiam Kota Jambi
-
Ulasan Novel The Years of the Voiceless: Potret Kehidupan di Bawah Represi
-
Gagal Raih Juara Dunia 2024, Seperti Apa Nasib Pecco Bagnaia Musim Depan?