Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rully Raki
Taman Nasional Pulau Komodo. (Dok: Kemenparekraf)

Tahun ini bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke-77. Sebuah umur yang cukup tua bagi sebuah bangsa. Rentang usia ini tentu tidak terlepas dari berbagai pengalaman. Salah satu pengalaman yang cukup berat dan jadi tantangan terdekat ialah ketika bangsa ini mesti menghadapi Pandemi Covid 19 di beberapa tahun lalu. 

Meskipun demikian, perlahan bangsa ini sudah mulai beradaptasi, menemukan pola serta beberapa solusi untuk mulai pulih. Kepulihan ini terus didukung berbagai akselerasi pembangunan pasca Covid 19. Momentum kemerdekaan ini pun, semangat untuk berubah terus didorong. Ini terlihat jelas di semboyan Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat.

Tentu besar harapan bahwa semua sektor yang berkaitan dengan pembangunan mengalami kepulihan dan kebangkitan. Hal ini  juga terutama berkaitan dengan roda perekonomian di daerah. Tiap daerah diharapkan bisa mengoptimalkan potensi daerah untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Namun demikian, proses ini tidak dilalui tanpa tantangan. 

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang punya pariwisata sebagai sumber dan aset pembangunan, ternyata juga masih mangalami permasalahan pengembangan pariwisata seperti di Labuan Bajo. Pengembangan pariwisata yang diwacanakan menjadi wisata super premium, telah menimbulkan banyak tanggapan dan pertanyaan. Hal ini terlihat dari kenaikan tarif destinasi wisata satwa Komodo yang telah mendorong aksi protes masa. Wisatawan pun ada yang membatakalkan kunjungan. 

Dampaknya juga ialah banyak pihak keamanan diturunkan ke Labuan Bajo, seolah ada kekacuan besar di sana. Pada konteks seperti ini, muncul pertanyaan dapatkah model pembangunan pariwisata ini membawa kesejahteraan bagi rakyat dan terutama mencerminkan model pembangunan sebuah bangsa yang merdeka? Atau dengan kata lain, sudahkah pariwisata di sana merdeka?  

Kecemasan dan Keraguan Pengembangan Pariwisata Labuan Bajo 

Labuan Bajo di masa 30 tahun yang lalu hanyalah perkampungan nelayan suku Bajo. Untuk sampai ke sana, dari Ibu Kota Kabupaten Manggarai di Ruteng waktu itu, dibutuhkan perjalan 3 hari lamanya. Wilayah ini memberikan pasokan ikan Cara atau Kombong bagi petani pegunungan yang ingin barter (Grasias, 2015).  Tidak ada hal yang cukup menarik dan strategis di Labuan Bajo pada era itu. 

Perubahan mulai ketika pemerintah menetapkan satwa Komodo dan pulaunya sebagai Taman Nasional pada tahun 1980 sehingga dapat dikunjungungi.  Labuan Bajo pun bertransformasi menjadi tempat transit para pengunjung . Kota kecil ini semakin berbenah dan bertambah gengsinya ketika pada tahun 2011, Komodo dinobatkan menjadi The New 7 Wonder Of Nature. Seorang teman yang bekerja di salah satu LSM pemberdayaan masyarakat setempat, menceritakan bahwa banyak aset dan tanah telah dibeli oleh para pengusaha luar. Tidak heran apabila banyak hotel berbintang dibangun di sana.

Sampai dua tahun terakhir pemerintah provinsi NTT dalam Kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggulirkan wacana pengembangan wisata super premium di sana. Untuk melaksanakan itu, PT Flobamora sebagai BUMD ditetapkan menjadi pengelola. Salah satu langkah perwujudan wacana ini adalah kenaikan harga tiket, selain pengembangan infrastruktur atau pun ketersediaan fasilitas kelas mewah pendukung yang juga sudah ada dari beberapa tahun yang lalu.

Situasai demikian lalu membawa kecemasan karena kenaikan fantastis harga tiket yakni  harga 3,75 juta per orang dari Rp. 75.000. Meskipun itu kemudian ditunda hingga tahun depan, tindakan ini tentunya akan mengurangi wisatawan. Tahun ini saja, wacana kenaikan ini, sudah membuat hampir 10.600 wisatawan membatalkan kunjungan (Hasiman, 2022). Lebih jauh, kecemasan lain adalah di masa depan, para pengusaha atau siapa pun yang berkecimpung di bidang pariwisata mesti memenuhi standar wisata premium. Sementara itu, masyarakat lokal atau pun pengusaha lokal, tidak mempunyai kapasitas atau pun kapabilitas untuk sampai ke sana. Monopoli dan ekslusifnya pariwisata di Labuan Bajo menjadi ancaman.

Kecemasan lain adalah gerakan protes masa dari berbagai kalangan (pengusaha lokal, LSM, para mahasiswa) malah direspon dengan tidak akomodatif. Pemerintah malah mengerahkan pihak keamanan untuk menghalau masa. Beberapa orang bahkan ditangkap dianggap provokator. Cukup janggal memang, aksi unjuk rasa dan perjuangan masyarakat untuk urusan rezeki hidup, dianggap mengganggu keamanan dan stabilitas pemerintahan. 

Atas berbagai kecemasan ini, banyak pihak, terutama orang-orang lokal, kemudian meragukan model pembangunan pariwisata demikian. Di manakah cita-cita pembangunan yang berintensi menyejahterakan rakyat? Apakah model pembangunan seperti ini terjadi di negara merdeka? 

Pariwisata Yang Merdeka

Konsep mengenai pariwasata yang merdeka berangkat dari landasan konsep kemerdekaan. Kata merdeka sendiri berasal dari bahasa Sansekerta maharddihika  (rahib, keramat, bijaksana, alim). Kata ini kemudian dipakai untuk menggambarkan kondisi individu otonom, lepas dari belenggu yang membuatnya tidak suci dan tidak terhormat. Di sini kemerdekaan amat berkaitan dengan jati diri dan keberadaan manusia (Priyowidodo, 2014). 

Dalam pemahaman ini, kemerdekaan tentu akan berkaitan dengan terlepasnya pihak tertentu dari kekangan dan pengendalian oleh situasi atau pihak lain sehingga dapat mencapai kebebasan untuk menentukan jati diri, nasib sendiri dan menjadi sejahtera. Maka. sebagaimana perjuangan bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajah, situasi pariwisata yang merdeka hadir ketika pembangunan pariwisata mampu menjunjung tinggi prinsip kebebasan untuk menentukan nasib pembangunannya, sehingga itu bukan hanya mendatangkan kesejahteraan tetapi membuat orang merasakan proses dan hasil pembangunan sebagai bagian jadi diri, sebagai eksistensi mereka. Hal ini terutama bagi warga lokal yang hidupnya melekat dan berdampak secara langsung dengan geliat pembangunan pariwisata. 

Jika memang demikian, maka seharusnya dalam konteks pembangunan pariwisata, nasib warga mesti diperhitungkan, selain tentunya satwa dan alamnya. Itu berarti warga lokal punya andil yang tidak sedikit untuk menentukan kemanakah arah pembangunan. Seperti apakah pembangunan yang bisa mengangkat harkat dan kesejahteraan hidup mereka, selain mereka mesti bebas beraspirasi tentangnya

Oleh karena itu, berkaitan pembangunan dan dampaknya bagi masyarakat, ada beberapa hal mesti diperhatikan secara baik. Soal yang pertama ialah tentang beretika atau tidakah pembangunan pariwisata di Labuan Bajo. Etika Pembangunan ini amat berkaitan dengan kondisi di mana pembangunan mesti memiliki nilai-nilai etis dan bermanfaat baik untuk manusia maupun bagi lingkungan. Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan dan diperhatikan secara serius tentang apakah pembangunan bernilai baik, sungguhkah kebijakan yang ada bermanfaat bagi orang banyak, siapa yang untung dan siapa yang buntung,siapa yang juga dapat buntungnya serta pihak-pihak mana yang harus dijamin haknya (Gasper, 2004).

Pentingya pertimbangan etika pembangunan untuk melihat, siapakah yang untung dan siapakah yang buntung dalam proses pembangunan. Ini penting ditinjau agar di Labuan Bajo tidak terjadi manivestasi kapitalisasi pariwisata, di mana terjadi monopoli pengembangan wisata yang anti terhadap alternatif-alternatif pembangunan. Sebab, gaya pembangunan ini diteruskan, maka pemerintah sepertinya tidak cukup konsisten dalam mengedepankan pelibatan dan pemberdayaan warga lokal untuk menumbuhkan ekonomi di level akar rumput. Masyarakat tidak bisa  cepat pulih adan bangkit dalam situasi ini.

Hal berikut sebagai penopang pariwisata yang merdeka adalah pentingnya memahami dan menerapkan konsep pembangunan yang membebasakan. Amartya Sen (1999) menyatakan hal ini sebagai proses memperbesar ruang kebebasan yang di dalamnya manusia bisa menikmati kehidupannya dan sejahtera. Hal ini berarti masyarakat harusnya bebas dari kemiskinan, mendapat kesempatan ekonomi dan politik yang sama, memperoleh akses yang sama atas fasilitas dari negara, tidak ditekan dan didiskirminasi.

Dalam lanskap Labuan Bajo, tindakan pelarangan, represi atas pengunjuk rasa, ketidaksamaan dalam memperoleh akses, ataupun monopoli pembangunan, harusnya tidak terjadi.  Kebebasan ini pun juga termasuk menikmati alam atau hasil pembangunan, sebab wisata Komodo sebenarnya adalah anugerah bebas dari Yang Kuasa dan mestinya bisa dinikamati dan dijaga oleh siapa pun.

Jika kedua hal tadi, etika pembangunan dan pembangunan yang membebaskan bisa mendukung konsep pariwisata mutualisme-nya Bapak Rizal Ramli. Dalam diskusi bersama putera-putera Manggarai Raya, beliau menyatakan bahwa pembangunan pariwisata tidak bisa terwujud jika tidak ada kerjasama dan tidak ada kondisi saling menguntungkan berbagai pihak (Kliklabuanbajo). Hal ini berarti pula bahwa tidak ada pihak mana pun yang boleh merancang dan memonopoli pembangunan pariwisata di Labuan Bajo. 

Akhir-akhir ini juga ada banyak Reels di Instagram menunjukkan video pesawat mendarat di Labuan Bajo. Video menarik ini mungkin juga mejadi pertanda, bahwa Labuan Bajo hanya akan dikunjungi dan dikuasai mereka yang bisa naik pesawat. Namun berlawanan dengan itu, ada hal lain yang mesti dipertimbangkan, bahwa pesawat hanya bisa mendarat, jika cuaca, landasannya bagus. 

Searas dengan itu, perlu dipertimbangkan bahwa pembangunan pariwisata Labuan Bajo hanya akan mendarat mulus jika masyarakat sebagai landasan ataupun suasananya mendukungan. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan pariwisata yang merdeka, sebab kemederkaan tidak berhenti di tahun 1945. Ada banyak agenda pembangunan yang dijalankan mesti dibuat dengan pendekatan, cara dan menunjukkan merdekanya sebuah bangsa. Semua dibuat agar bangsa pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat. 

Rully Raki