Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rully Raki
Ilustrasi guru sedang mengajari muridnya. (Unsplash.com/ Husniati Salma)

Hampir semua sekolah selalu merayakan hari Guru dengan berbagi upacara. Upacara-upacara itu biasanya diakhiri dengan pemberian berbagai hal dari para murid kepada guru-guru mereka. Mulai dari acara-acara seperti puisi dan nyanyian bahkan berbagi cindera mata sebagai ungkapan terimakasih

Hal seperti di atas merupakan hal yang lumrah karena didasari sikap respek dan menghargai, meski ada beberapa pihak yang masih melihat itu sebagai bagian dari gratifikasi. Tentu sikap respek dan penghargaan terhadap guru tidak muncul dari ruang kosong atau sekedar menjalankan himbauan yang diberikan oleh wali kelas atau kepala sekolah untuk mengisi acara di Hari Guru. Sikap respek dan penghargaan itu, tentunya muncul dari rasa terimakasih kepada guru-guru yang telah menjalankan perannya sebagai guru setiap harinya bagi para murid.

Namun demikian, terselip pertanyaan lebih lanjut bagi para guru. Ketika memperoleh respek, penghargaan ataupun ucapan terimakasih dari para murid, adalah guru-guru sudah menjalankan perannya secara benar, baik dan konsisten sehingga pantas untuk memperoleh respek dan penghargaan tadi?

Peran dan Beban

Menjalankan peran secara baik dan konsisten bukanlah hal yang mudah bagi para guru. Karena selain mesti mendidik dan mengajar para murid, para guru juga di sisi lain harus menyiapkan berbagai hal administrasi dan memenuhi tuntutan dari pemerintah maupun tuntutan dari sekolah, terutama bagi guru-guru swasta. Hal ini membuat guru tidak hanya bekerja saat jam sekolah, tetapi hampir sepanjang hari, meski upah yang didapatkan pun berbanding terbalik dengan kewajiban yang mesti dijalankan.

Pengakuan dari teman-teman mahasiswa di NTT yang keluarganya bekerja sebagai honorer di desa-desa, bahwa mereka digaji antara 300-500 ribu perbulan atau lebih rendah dari itu yang dibayar 6 bulan sekali dan besaran ini tergantung dana Komite Sekolah. Tentu ini hanya menjadi contoh dari kisah kesejahteraan para guru yang mengajar di pelosok-pelosok tanah air ini.

Beban ini ditambah dengan dinamika di dalam ruang kelas, di mana para guru mesti berhadapan dengan para peserta didik dari berbagai latar belakang keluarga, kebiasaan, adat maupun latar belakang ekonomi dengan sikap dan tingkah laku yang dibawa akibat keberagaman tadi. Ketidakbijakan dalam menghadapi hal ini, tentu bisa berakibat pada berbagai bentuk tindakan negatif di lingkungan sekolah seperti tindakan kekerasan atau perundungan. Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)  menunjukan dari Januari sampai Agustus 2023 sudah terdapat 16 kasus perundungan terhadap 43 orang yang dua orang adalah guru.

Beratnya beban ini tentu selalu membuat orang akan menjustifikasi dengan mudah bahwa menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Menjadi guru atau berprofesi sebagai guru memang bukan hal mudah, karena selain sekolah guru itu sendiri yang tidak singkat di zaman ini, setelah tamat dan menjadi guru pun orang mesti berhadapan dengan situasi-situasi di atas. Hal yang paling memberatkan tentu akan muncul di bagian tuntutan kerja dan upah yang tidak sebanding dan dinamika kelas sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

 Hal ini memang bisa dipahami karena untuk mengajar dan mendidik yang muara terakhirnya menjadikan anak-anak didik sebagai orang yang sejahtera, guru-guru harus berada pada level sejahtera terlebih dahulu. Jika tidak bijak, tidak pandai dan tidak kuat mental dan batin dalam menjalankan profesi sebagai guru, maka profesi sebagai guru hanya akan menjadi jalan yang penuh dengan derita dan air mata.

Guru sebagai Panggilan

Oleh karena itu, menjadi guru tidak boleh hanya dilihat dan berhenti sebagai sebuah profesi untuk mencari nafkah dan menyambung hidup. Menjadi guru harus berakar pada sebuah panggilan. Panggilan itu tentu muncul dari berbagai pengalaman, terutama pengalaman minus atau pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan situasi yang menunjukan masalah pendidikan dan sosial yang ada.

Hal ini dapat dilhat padai rendahnya sumberdaya manusia, pandangan sosial tentang kurang pentingnya pendidikan atau masalah-masalah pengangguran dan kemiskinan akibat rendahnya pendidikan.  Panggilan ini tentunya panggilan untuk mengabdi dan menolong bukan hanya dengan mengajar dan mendidik tetapi memberikan teladan dan menjadi inspirasi bagi para peserta didik bagaimana menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan ini.

Jika memang demikian, maka seorang guru adalah seorang yang sikap dan disposisinya menunjukan bahwa ia telah mengatasi atau selesai dengan berbagai persoalan dirinya sendiri . Seorang guru yang muncul dari sikap dan disposisi yang demikian tentu tidak akan menjadikan kewajiban administrasi, upah atau pun dinamika kelas sebagai beban yang mesti dipikul.

Seorang guru yang muncul dari rasa keterpanggilan adalah seorang guru yang melihat itu semua sebagai tantangan yang mesti dilewati yang harus diterima sebagai tanggung jawab dan pengorbanan untuk membantu orang-orang lain dan mengubah situasi pendidikan, sosial bahkan situasi ekonomi dari yang penuh dengan permasalahan menjadi situasi  yang penuh dengan kesejahteraan di dalam berbagai hal tadi.

Oleh karena itu, bagi para guru, juga terutama para mahasiswa yang telah memilih dan sedang belajar di fakultas-fakultas pendidikan berbagai perguruan tinggi  mesti masuk jauh ke dalam diri dan bertanya kepada diri masing-masing tentang motivasi untuk menjadi seorang guru. Apakah dengan menjadi guru, baik itu di saat ini maupun saat yang akan datang, sungguhkan merupakan panggilan saya? Ataukah ini merupakan profesi yang akan mengantarkan saya ataupun keluarga saya agar hidup lebih baik secara ekonomi?

Penelusuran tentang motivasi ini bukanlah hal yang sederhana, sebab penelusuran ini akan sangat mempengaruhi sikap dan tindakan seorang ketika menjadi guru, atau sikap dan tindakan, bahkan hasil belajar dari setiap mahasiswa yang berada di fakultas keguruan. Orang yang merasa terpanggil tentu akan menjalankan peran baik itu sebagai guru dengan baik dan konsisten dapat diukur dari prestasi-prestasi bahkan yang paling sederhana sekalipun atau pun sebagai mahasiswa yang dapat diukur dari nilai dan prestasi yang dijalankan.

Dengan hal-hal itu, orang, termasuk para murid pun akan dengan mudah menilai, apakah guru ini adalah guru sejati, ataukah guru yang asal saja menjadi seorang guru karena sikap dan tindakannya menunjukan peran itu hanya bermotivasikan untuk memperoleh status sosial yakni supaya dihormati atau motivasi ekonomi yakni untuk memperoleh keuntungan semata.

Hari Guru sudah baru saja berlalu. Dengan tema Hari Guru Nasional; Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar, maka para guru selalu diharapkan untuk teliti dan jujur dalam melihat perannya sebagai sebuah panggilan, sehingga proses belajar, mengajar, mendidik pun memberikan teladan bukan hanya memerdekakan peserta didik tetapi juga sungguh-sungguh menjadikan para guru merdeka karena menjalankan perannya dalam rasa panggilan yang tidak tergoyahkan. Selamat Hari Guru Nasional 2023.

Rully Raki