Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Ilustrasi bendera Indonesia. (Pixabay/@mufidpwt)

Setiap tanggal 17 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia, tepat 77 tahun sudah Bung Karno bersama Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun apakah betul kita semua warga negara Indonesia bisa menghirup udara kemerdekaan? 

Makna kata merdeka mungkin bisa banyak tafsir. Namun kalau merujuk pada KBBI, merdeka adalah bebas, tidak terkena dan lepas dari tuntutan, tidak terikat serta tidak bergantung pada orang atau pihak tertentu. 

Kita memang sudah merdeka dari belenggu penjajahan secara fisik oleh bangsa lain seperti yang dilakukan penjajahan Belanda dan Jepang. Bangsa Indonesia sudah merdeka secara De Facto dan De Jure. Tetapi kalau ditanya apakah rakyat Indonesia sudah merdeka? Jelas ini masih bisa menuai perdebatan. 

Hari ini mungkin kita tak melihat bangsa Indonesia dijajah secara fisik seperti penjajahan kolonialisme, tetapi kita tidak bisa pastikan bahwa tidak ada penjajahan kapitalisme dan imperialisme secara tak kasat mata yang bisa membuat rakyat semakin sengsara dan mengalami kemiskinan. 

Walau kapitalisme sudah berubah wajah dan sepak terjangnya, namun hal yang tak pernah berubah kehausannya akan rezeki. Sistem kerja kapitalisme hanya membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Nah, inilah yang terjadi sekarang di bawah permainan para oligarki. 

Padahal, sejatinya semua rakyat Indonesia bisa merasakan janji kemerdekaan seperti yang dicita-citakan, dan itu tidak terlalu jauh dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI, ia mengatakan bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan itulah, bangsa Indonesia didirikan dan membangun rakyatnya. 

Tetapi, kalau kita telisik terkait implementasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 justru makin jauh dan seakan masih dalam bayang-bayang. Ketimpangan sosial dan kemiskinan masih menjadi polemik hari ini, bahkan rakyat semakin dibuat bingung oleh para penguasa. 

Di samping itu, hukum kadang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para penguasa pandainya berkoar-koar di depan publik dengan wacana untuk kepentingan rakyat, tetapi di belakang hanya memenuhi keinginan para oligarki saja. Jelas kondisi seperti ini hanya membuat arti kemerdekaan seakan bermakna hanyalah euforia saja. 

Kondisi seperti inilah yang membuat kita selalu mempertanyakan arti kemerdekaan, terutama bagi golongan kalangan masyarakat bawah. Mengapa tidak? Karena para pemimpin bangsa ini banyak bertindak tidak sesuai dengan koridornya, mereka hanya bisa berjanji dan beronani di depan rakyat.

Bahkan, banyak pemimpin merasa tidak bersalah ketika melakukan praktik korupsi. Nah, ini maksudnya apa kalau pejabat pemerintah masih menganggap enteng masalah seperti itu? 

Untuk itulah, melalui HUT RI yang ke-77 tahun para pemimpin bangsa harus bisa mengevaluasi diri, mereka tidak boleh mementingkan diri sendiri atau kelompok mereka ketimbang kepentingan rakyat.

Apalagi, bangsa kita adalah negara demokrasi, dari rakyat dan untuk rakyat. Di atas segala-galanya adalah kepentingan rakyat, bukan malah kepentingan para oligarki dan para penguasa saja. Dan yang terpenting praktik korupsi mesti dimusnahkan karena sangat menodai arti kemerdekaan dan harkat martabat bangsa. 

Budi Prathama