Setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan dengan penuh semangat. Namun, di balik gegap gempita lomba 17-an, upacara bendera, dan postingan media sosial bertema nasionalisme, ada ironi menyedihkan. Benarkah kita sudah merdeka, jika masih terjebak dalam budaya kerja berlebihan?
Di berbagai kota besar, bahkan di hari libur nasional sekalipun, banyak orang masih sibuk dengan layar laptop, rapat daring, atau pekerjaan freelance yang tak mengenal jeda. Kemerdekaan yang sejatinya menjanjikan kebebasan, justru terasa semu bagi mereka yang tidak pernah benar-benar lepas dari beban pekerjaan.
Fenomena ini berkaitan erat dengan hustle culture, yaitu budaya kerja berlebih yang mengglorifikasi produktivitas tanpa henti. Di kalangan anak muda, terutama generasi milenial dan Gen Z, produktivitas sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan hidup. Akibatnya, banyak yang merasa bersalah saat beristirahat, bahkan pada hari besar seperti peringatan kemerdekaan.
Momen yang seharusnya digunakan untuk refleksi dan perayaan, malah dilalui dalam tekanan untuk tetap “produktif”. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting, apakah kita benar-benar merdeka, jika tidak bebas dari tekanan sosial untuk terus bekerja?
Hustle Culture dan Mentalitas ‘Selalu Sibuk’
Budaya kerja berlebih bukan hanya soal waktu yang dihabiskan, tetapi juga soal pola pikir yang mengagungkan kesibukan. Kalimat seperti “kalau gak sibuk berarti gak sukses” sering terdengar di berbagai ruang diskusi, seolah-olah keberhasilan hanya bisa diraih dengan bekerja siang malam. Akibatnya, banyak orang yang merasa harus terus mengisi waktunya dengan kerja, bahkan jika itu mengorbankan kesehatan fisik dan mental.
Ironisnya, mentalitas ini kerap dianggap wajar atau bahkan dibanggakan. Tidak jarang seseorang mendapat pujian karena mampu ‘mengorbankan waktu libur’ demi pekerjaan. Padahal, kondisi seperti ini bisa berdampak negatif dalam jangka panjang mulai dari stres kronis, kelelahan mental, hingga burnout. Merayakan Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi momen untuk merefleksikan apakah kita masih menjadi ‘budak kerja’ yang dibungkus dalam label ambisi dan prestasi
Kemerdekaan yang Tidak Merata
Realita lainnya adalah bahwa tidak semua orang memiliki kemerdekaan yang sama dalam hal waktu dan pekerjaan. Banyak pekerja informal, buruh harian, atau freelance yang tidak punya pilihan selain terus bekerja, bahkan di tanggal merah. Bagi mereka, berhenti bekerja berarti tidak makan. Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati belum dirasakan secara merata di berbagai lapisan masyarakat.
Dalam konteks ini, kemerdekaan bukan hanya tentang lepas dari penjajahan fisik, tetapi juga soal terbebas dari ketidakadilan struktural yang membuat sebagian orang tidak bisa menikmati hak dasar seperti istirahat dan keseimbangan hidup. Maka, momen 17 Agustus seharusnya juga menjadi ajakan untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kondisi kerja yang manusiawi bagi semua.
Merdeka Itu Juga Hak untuk Beristirahat
Kemerdekaan sejati mencakup hak untuk beristirahat tanpa rasa bersalah. Istirahat bukanlah bentuk kemalasan, tetapi kebutuhan dasar manusia untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Di tengah tekanan media sosial yang seringkali menampilkan gaya hidup super produktif, penting untuk menanamkan kesadaran bahwa jeda juga merupakan bentuk keberanian melawan tekanan sistemik.
Memaknai kemerdekaan dengan cara yang lebih personal dan kontemporer dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap hustle culture. Mungkin saat ini kita tidak lagi mengangkat senjata, tetapi kita bisa ‘berjuang’ dengan menciptakan batasan sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Menghormati tubuh dan waktu sendiri juga bagian dari cinta tanah air karena bangsa yang kuat dimulai dari rakyat yang sejahtera dan sehat jiwanya.
Hari Kemerdekaan seharusnya bukan hanya perayaan simbolik, tetapi juga sebagai ruang refleksi, apakah kita sudah benar-benar bebas? Bebas dari tekanan kerja, bebas dari glorifikasi kesibukan, dan bebas untuk memilih hidup yang lebih seimbang. Merdeka bukan sekadar status politik, tetapi kondisi hidup yang layak, adil, dan manusiawi. Di tengah arus hustle culture yang terus menggulung, mari kita gunakan momen ini untuk merebut kembali hak kita atas waktu, istirahat, dan kehidupan yang lebih utuh.
Baca Juga
-
Dari Lapak ke Harapan: Mahasiswa KKN UMBY Ramaikan UMKM di Bantul Expo 2025
-
Dari Hobi ke Komunitas: Futsal sebagai Perekat Sosial di Tengah Era Digital
-
Giring Bola, Lawan Norma: Perempuan di Tengah Maskulinitas Futsal
-
Otak Menyukai Plot Twist? Penjelasan Psikologis di Balik Cerita Tak Terduga
-
Fenomena Ghosting: Bukti Rapuhnya Relasi Emosional Zaman Sekarang
Artikel Terkait
-
5 Ide Lomba 17 Agustusan yang Bisa Diikuti Semua Umur, Siap Bikin Gelak Tawa
-
Mengapa 18 Agustus 2025 Ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional? Ini Alasannya
-
Viral Bendera One Piece di 17-an, Ketua MPR Justru Membela: Hatinya Tetap Merah Putih!
-
Tanggal 18 Agustus 2025 Cuti Bersama atau Libur Nasional? Simak Aturan Resminya
-
Bagaimana Cara Ikut Upacara 17 Agustus di Istana Negara? Ini Syarat dan Panduan Lengkapnya
Kolom
-
Bendera One Piece dan GenZ: Antara Ekspresi Budaya Pop dan Etika Kebangsaan
-
Jari Lincah, Pikiran Kritis: Menavigasi Labirin Digital Pelajar Masa Kini
-
Saat Istirahat Dianggap Dosa, Menggugat Budaya Toxic Productivity
-
Membenahi Mindset Seksis: Saat Istri Cerdas Bukan Ancaman, Tapi Anugerah
-
Pemblokiran Rekening Dormant, Respons Publik dan Kebijakan yang Tergesa?
Terkini
-
Ulasan Novel Montase: Membuat Waktu yang Singkat Terasa Abadi
-
Sejarah Futsal, Saat Olahraga Bisa Bawa Harapan dan Ubah Masa Depan
-
5 Drama China Kostum yang Disutradarai Li Hui Zhu, Ada Coroner's Diary
-
Nostalgia Patah Hati, Film Live-Action 5 Centimeters per Second Tayang Oktober
-
Futsal: Olahraga Murah Meriah, Jadi Sumbu Perputaran Roda Ekonomi Rakyat