Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi seorang wanita memegang buku dan handphone (Pexels/Andrea Piacquadio)

Membaca dulu identik dengan aktivitas yang sunyi dan dinilai serba kaku. Namun kini, berkat hadirnya media sosial, membaca justru menjadi pengalaman yang lebih menarik, dinamis, dan penuh dengan hal baru.

Buku tak hanya dibaca saja, tapi juga dibagikan, dibahas, bahkan diperdebatkan secara luas. Fenomena ini membuktikan bahwa media sosial sangat memegang peranan penting dalam pembentukan komunitas pembaca dan promosi buku.

Platform seperti Twitter (X) telah lama menjadi ruang diskusi yang cepat dan terbukadi era digital saat ini. Thread rekomendasi buku, kutipan yang mengena, hingga ulasan personal sering kali viral dan berhasil mendorong orang untuk membaca buku yang sebelumnya tidak dilirik pasar.

Twitter juga memungkinkan diskusi yang lebih spontan, sebab semua orang bisa mengomentari, menyanggah, atau mengafirmasi pengalaman membaca satu sama lain.

Sementara itu, kanal YouTube berperan sebagai platform literasi visual panjang. Konten-konten yang diproduksi biasanya menghadirkan ulasan, reading vlog, hingga diskusi mendalam tentang satu judul atau genre tertentu bersama dengan penulisnya.

Penonton tidak hanya tertarik karena isi bukunya, tetapi juga karena kepribadian si pembuat konten. Dalam hal ini, buku juga bisa menjadi bagian dari narasi kehidupan sehari-hari sang content creator, bukan sekadar objek ulasan.

Bookstagram, adalah istilah untuk komunitas buku di Instagram, yang mengandalkan visual yang indah, tematik, dan konsisten dalam mengulas buku-buku.

Foto-foto buku yang dihias dengan latar artistik, tanaman, kopi, atau quotes menjadi ciri khas utama. Bookstagram menggabungkan literasi dengan estetika, menjadikan membaca sebagai bagian dari gaya hidup.

Kehadiran para Bookstagram juga menjadi ajang kolaborasi antara penulis dengan pembaca, yang dapat semkain memperluas jangkauan promosi buku-bukunya.

Di balik tampilannya yang estetik, para Bookstagram ini sangat berperan besar dalam memperluas eksposur buku-buku yang kurang mendapat sorotan.

Selain itu, hadirnya platform TikTok juga membuka kesempatan baru bagi para pencinta buku untuk menyalurkan hobinya. BookTok adalah komunitas pencinta buku yang berkembang pesat di TikTok.

Biasanya para pembaca membuat konten pendek berisi ulasan singkat, reaksi emosional, atau rekomendasi buku. Yang membuat BookTok menonjol adalah gaya penyampaian yang ekspresif dan relatable.

Sering kali disertai musik, teks dramatis, atau melalui video ulasan secara langsung. Konten-konten ini berpotensi menjangkau jutaan penonton dalam hitungan jam, menciptakan efek viral yang sangat signifikan.

Tak kalah penting, Goodreads masih menjadi semacam pustaka sosial yang bisa dibilang kredibel. Platform ini memungkinkan pengguna menyusun daftar bacaan, memberi rating, dan menulis ulasan terbuka.

Meskipun tidak sepopuler TikTok, Goodreads menjadi ruang yang sangat berpengaruh dalam keputusan membaca seseorang, terutama karena nuansa review by readers for readers-nya yang terasa lebih organik dan terkurasi secara alami.

Peran media sosial tidak berhenti pada pembentukan komunitas. Tetapi juga sangat menentukan arah tren buku. Banyak penulis kini sadar bahwa eksistensi di media sosial bukan hanya soal branding.

Selain itu, kehadiran media sosial juga strategi untuk terhubung langsung dengan pembaca. Buku-buku yang dulu sepi pembaca, bisa mendadak laris karena direkomendasikan akun dengan pengaruh kuat.

Membaca kini bukan sekadar kegiatan individu, tetapi bagian dari ekosistem sosial yang lebih luas. Perpindahan dari halaman ke timeline bukanlah degradasi, melainkan perluasan ruang untuk apresiasi.

Karena itu, kehadiran platform digital selain jadi tempat promosi buku, juga menjadi rumah baru bagi kebiasaan membaca yang lebih hidup.

Ruslan Abdul Munir