Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Afifah Lania Sihotang
Ilustrasi hukum (Photo by Sora Shimazaki/pexels.com)

Ada pepatah yang mengatakan, “Di mana ada masyarakat dan kehidupan, di situ ada hukum”. Karena di mana ada manusia, akan selalu ada peristiwa ketidakadilan yang membutuhkan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Di bagian negara manapun, hukum memiliki fungsi untuk menegakkan keadilan dan dasar menjalankan setiap aktivitas di pemerintahan. Termasuk Indonesia yang jelas disebut sebagai negara hukum, pada konstitusi negara yaitu UUD 1945 Pasal (1) Ayat 3.

Sebagai negara hukum, pengakuan hukum dan keadilan menjadi syarat mutlak dalam mencapai hukum yang adil. Pasalnya, prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi adalah pelaksanaan hukum yang didasari oleh keadilan. Wujud keadilan di sini merupakan kesetaraan perlakuan setiap warga negara di mata hukum. Sesuai dengan UUD Pasal (27) Ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” dasar inilah yang masih menjadi mimpi setiap warga negara hingga sekarang.

Hukum tidak dapat berdiri tegak dengan sendirinya, diperlukan dasar dan para penegak hukum untuk mewujudkan keadilan di dalam hukum. Dasar hukum di Indonesia sudah jelas, UUD 1945 yang berhasil dibentuk oleh para pejuang negeri dengan berbagai lika-liku selama prosesnya. Namun, dasar hukum yang jelas saja tidak mampu mewujudkan keadilan di mata hukum bagi seluruh bangsa dan negara. Para penegak hukum merupakan pemeran utama dengan andil besar dalam penegakan hukum

Realita saat ini, para pemeran utamalah yang merusak hukum di Indonesia. Lama-kelamaan mimpi setiap warga negara untuk mendapatkan kesetaraan di dalam hukum mulai menghilang. Bukan mimpi yang menghilang karena sudah menjadi kenyataan, tetapi mimpi yang menghilang karena keputusasaan akan realita yang terjadi di dunia nyata. 

Hukum kini dengan mudahnya dipermainkan oleh si empunya kekuasaan, baik karena posisinya atau karena aset yang dimilikinya. Sejatinya, hanya hukumlah yang bisa memberikan kenyamanan dan kedamaian pada setiap warga negara. Namun kini, hukum tak lebih dari sekadar mainan yang dapat diperjualbelikan oleh mereka yang mampu. Mereka yang tidak mampu, hanya memiliki dua pilihan di mata hukum, menjadi tersangka ketika benar atau menjadi korban ketidakadilan hukum. 

Belakangan ini, terlalu sering muncul kasus pencurian kecil yang dilakukan karena dipaksa keadaan harus mendapatkan hukuman lebih besar dibandingkan dengan kasus pencurian uang negara karena keserakahan. Para pelaku yang memiliki kekuasaan dapat dengan gampangnya mencari cara keluar dari hukuman, Sedangkan, rakyat kecil terpaksa menerima hukuman tanpa diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan.

Terlebih lagi, semakin marak korban yang mendapatkan perlakuan ketidakadilan hukum dan korbannya adalah orang-orang tanpa “kemampuan” membeli hukum baik dengan posisi atau aset yang dimilikinya. Salah satu kasus yang sempat viral di media sosial belakangan ini adalah seorang pedagang sayur di Medan yang melaporkan kasus penganiayaan terhadap dirinya. Alih-alih mendapat perlindungan hukum, pedagang sayur tersebut dijadikan tersangka oleh sang penegak hukum. 

Tak cukup di situ, kasus lainnya juga terjadi terhadap seorang anak perempuan yang menjadi korban penganiayaan oleh ayah kandungnya sendiri. Setelah melaporkannya ke pihak berwajib, bukannya mendapat ketenangan dan keadilan, dirinya dijadikan tersangka atas kasus penganiayaan yang dialaminya. 

Penegak hukum lalai menjalankan tugasnya sebagai pemeran utama dalam penegakan hukum, mengusut kasus dengan segera hingga tuntas dan memberikan keadilan kepada korban bukanlah menjadi fokus utama. Sampai-sampai pelaku memiliki celah menjadikan korban sebagai orang yang dicurigai. 

Padahal sudah tertera jelas hukuman yang akan dijatuhi kepada pelaku penganiayaan di Pasar 351 KUHP, tinggal bagaimana cara aparat mempercepat gerakannya menyusun tim penyidik untuk mengusut tuntas kasus sampai ditemukannya keadilan sesuai hukum yang berlaku. Jelas terlihat di sini, bagaimana penegak hukum menggunakan privilege yang dimilikinya bukan untuk mewujudkan Pasal (27) Ayat 1. Tetapi, digunakan untuk menghancurkan mimpi warga negara yang menginginkan keamanan dan perlakuan yang adil.

Selain kasus-kasus tersebut, terdapat kasus yang lebih keji dan menarik perhatian banyak orang dari semua kalangan. Kasus seorang ibu yang memohon keadilan hukum atas peristiwa kekerasan seksual yang dialami ketiga anak perempuannya. Mirisnya, pelaku merupakan ayah kandungnya sendiri. Penyidikan kasus berhenti dengan alasan yang tidak bisa disebut sebagai alasan. Parahnya lagi, korban yang masih dibawa umur tidak mendapatkan perlindungan dan pendampingan selama proses pemeriksaan. 

Tak kalah heboh, sempat viral seorang selebgram terancam sanksi hukum karena bekerja sama dengan anggota TNI sebagai salah satu penegak hukum untuk lolos dari karantina wajib setelah berpergian ke luar negeri.

Perpaduan yang saling menguntungkan, si selebgram melanggar hukum dengan aset yang ia miliki. Anggota TNI menggunakan posisi yang ia miliki untuk membantu pelanggaran hukum. Beberapa hari setelah kasus ini terkuak, peraturan baru muncul, karantina yang tadinya diwajibkan selama 8 hari, dipangkas oleh negara menjadi 5 hari. Sedikit banyaknya membuktikan bagaimana hukum tunduk kepada pemilik kekuasaan. 

Namun, berbagai kasus “main” hukum ini memiliki kesamaan, sama-sama mulai ditindaklanjuti kembali setelah kasusnya marak di kalangan masyarakat. Masyarakat menuntut para penegak hukum untuk mengusut ulang kasus dengan sebenar-benarnya. Apakah ini artinya masyarakat biasa lebih paham soal hukum? Tidak. Ini artinya, masyarakat sudah benar-benar jengah dengan proses penegakan hukum di Indonesia.

Penegak hukum bertindak setelah masyarakat berontak. Masyarakat sudah berhasil menjalankan perannya dengan baik sebagai kontrol sosial, saatnya para penegak hukum meninjau kembali dan memperbaiki perannya. Para penegak hukum perlu kembali melihat sejarah para pejuang yang sudah memperjuangkan keadilan untuk Indonesia dan mencoba menyadari perannya untuk mempertahankan keadilan bagi seluruh bangsa.

Para pimpinan dapat melakukan hal yang sama dengan masyarakat, mengontrol jalannya penegakan hukum memanfaatkan dunia digital dengan jangkauan tak terbatas. Membuat berbagai sistem tambahan agar setiap pelaporan dapat dipantau langsung dari pusat proses penegakannya. Dengan begitu, pimpinan bisa langsung menindaklanjuti proses hukum yang melenceng dari dasarnya tanpa menunggu tagar #PercumaLaporPolisi kembali bertengger di berbagai platform media sosial.

Indonesia perlu keluar dari paham positivisme hukum yang menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” menjadi salah satu unsur yang mempersulit penegakan keadilan. Karena menurut paham ini, tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Akibatnya, penegakan hanya sebatas mematuhi bunyi undang-undang saja tanpa memiliki kehendak menegakkan keadilan dengan dasar tersebut. 

Kesadaran moral para penegak hukum dan calon penegak hukum perlu diperbaiki agar orientasi moral memilih menjadi pemeran utama dalam proses penegakan hukum tidak didasari pada uang, tetapi pada UUD Pasal (27) Ayat (1) dan sila kelima dari Pancasila.

Afifah Lania Sihotang