Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Afifah Lania Sihotang
Toxic masculinity masih ada (Pixabay/ @StockSnap)

Pandangan seorang pria harus selalu kuat dan tidak lembek memang benar adanya. Terbukti setelah seorang pengguna Twitter (@pensiunandota2) membuat utas tentang kekesalannya dengan wanita yang sudah 2 tahun lebih menjadi “teman dekat”nya.

Di utas tersebut, ia menceritakan bagaimana perasaannya setelah ditipu. Ia merasa ditipu karena wanita yang telah ia percaya jalan dengan pria lain. Tidak hanya itu, ia mengaku wanita tersebut tidak hanya jalan biasa, tetapi langsung singgah ke sebuah apartemen.

Semua bermula saat ia mendapati notifikasi wanitanya sedang ada di Sayana Apartements – Cha Tower melalui Puregold. Seketika ia langsung menanyakan itu dan dibantah. Disitulah awal mula semua terbongkar.

Di utas ini, banyak wanita yang merasa tidak terima dengan sikap pria tersebut. Mereka beranggapan, masalah si Mas dan Mbak-nya tidak pantas dibagikan ke media sosial. Disinilah letak perbedaannya. Ketika seorang wanita yang membuat utas seperti itu, semua orang akan pasang badan didepannya untuk membela.

Namun, berbeda dengan pria. Ketika pria yang melakukannya, seakan-akan itu adalah hal yang salah. Padahal tidak sepenuhnya salah, lalu mengapa ini terjadi?

1. Stigma pria harus kuat

Stigma ini merupakan salah satu contoh toxic masculinity dan ternyata masih menjamur di kalangan warga Indonesia. Pria harus selalu kuat, tidak boleh terlalu umbar kesakitan atau kekesalan yang sedang dihadapi, dan tidak boleh lembek. 

Jika melihat sisi lainnya, Mas-mas yang sedang curhat ini sedang memberitahu pada warganet bahwa pria juga bisa dibohongi dan jangan sampai salah, seorang pria juga bisa sedih, kesal, dan merasa kecewa. 

Tidak semua orang itu jahat dan tidak semua orang itu baik. Itu pesannya. Jika tidak melihat dari sisi negatif, mungkin pria ini sedang membutuhkan dukungan moril dari banyak orang. Ada baiknya, jika tidak bisa memberi saran, berilah dukungan.

2. Tidak pandai bermedia sosial

Tidak pandai di sini maksudnya tidak ada kehati-hatian dalam bermedia sosial. Orang-orang yang memberikan respons tidak baik terhadap utas itu mungkin lupa bahwa jejak digital akan abadi. Jadi, mereka merasa bebas untuk memberikan komentar tanpa peduli dengan jejak digital yang ditinggalkan.  

Terlebih lagi, mereka tidak mengetahuai bahwa setiap ketikan buruk bisa memperparah keadaan seseorang yang menerimanya. So, be careful!

Bijaklah dalam bermedia sosial agar tidak menimbulkan masalah untuk diri sendiri kedepannya dan hindari toxic masculinity para pria yang sedang berusaha mengekspresikan perasaannya. 

Afifah Lania Sihotang