Kita mesti semua sepakat bahwa guru adalah contoh bagi muri-muridnya, bahkan tidak sekedar itu, ia juga harus menjadi contoh di kalangan keluarga dan lingkungan masyarakat. Mengingat guru adalah seorang pendidik, perantara dalam memberi pengetahuan, dan pendobrak sistem pembodohan.
Kalau kata Bung Karno bahwa tiap-tiap orang akan menjadi guru di masa kebangunan, tidak melulu harus ada SK guru dari Bupati atau Gubernur. Akan tetapi semua akan menjadi guru, orang tua akan menjadi guru pada anak-anaknya, kepala desa menjadi guru pada rakyatnya, dan seorang bos pun menjadi guru pada karyawan-karyawannya.
Terlebih dari itu, guru yang mendapatkan SK dari pemerintah mungkin tidak keliru kalau dirinya memang wajib berperilaku layaknya sebagai pendidik. Tanggungjawab yang diambangnya sebagai seorang guru, mesti menjadi tuntutan secara moral dan secara aturan. Menyandang gelar sebagai guru tak boleh disepelekan, tidak boleh seperti orang yang bukan kaum terdidik.
Namun ada sebenarnya yang mengguncang pikiran dan nurani saya sehingga tulisan ini bisa muncul. Ada salah seorang guru honorer di kampung saya di Desa Todang-Todang, terlihat mempertontonkan dirinya layaknya bukan seorang guru.
Di Desa Todang-Todang terdapat seorang guru yang mengatakan kepada anak perempuan tidak usah sekolah karena tidak bakalan lama akan menikah. Kasusnya kebetulan saya tidak sengaja dengar. Ia mengatakan kepada salah seorang anak yang juga keluarganya bahwa mending tidak bersekolah karena tidak lama juga akan menikah. Padahal kondisi anak itu masih sangat patut untuk sekolah, umurnya masih sangat dini, dan juga belum terlalu lancar membaca.
Sang anak sebenarnya dulu pernah masuk Sekolah Dasar (SD) di Desa Panyampa, Kecamatan Campalagian, Polewali Mandar. Tetapi saat ini sekolahnya itu terputus karena jarak sekolah dari rumah orang tuanya terlalu jauh. Sementara, anak itu sekarang berada di rumah kakaknya di Desa Todang-Todang dan dalam dirinya pun masih nampak ada benih-benih ingin kembali melanjutkan sekolahnya di Desa Todang-Todang.
Dari situlah, muncul argumen dari salah seorang guru kepada anak tersebut mending tidak usah bersekolah karena tidak lama juga akan bakalan menikah. Mengingat pula, semua kakak kandung dari anak itu tidak ada yang bisa selesai tamat sekolah dasar, semua terputus sekolahnya. Lagian juga memang kakak-kakaknya cepat menikah, bahkan tidak ada yang sampai umur 20 tahun lalu menikah.
Mungkin atas dasar itu pula, kenapa ada guru mengatakan mending tidak usah sekolah karena tidak lama juga bakalan menikah. Pikirku, bersekolah bukan hanya soal pekerjaan dan juga bukan soal bisa menikah. Tetapi ia salah satu cara agar bisa menjadi manusia yang lebih baik, mampu mengenal lingkungan, dan bisa tahu mendidik anak.
Keharusan bersekolah tentu tidak pandang bulu, tidak pula memandang jenis kelamin. Walau masih ada yang mengatakan bahwa laki-lakilah yang paling dituntut untuk sekolah supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan alasan laki-laki yang akan menafkahi istri. Apakah kita sepakat hal itu? Jelas tidak, kan.
Mungkin kondisi itu pula, kenapa guru itu berkata demikian karena anak itu memang perempuan. Jadi kalau seperti itu, jangan salah kalau perempuan selalu dikonotasikan hanya akan menjadi ibu rumah tangga setelah menikah.
Problem inilah yang mesti diberantas sama-sama, keharusan bagi anak perempuan untuk bersekolah mesti terus disosialisasikan. Perempuan pasti bakalan jadi ibu, maka penting kiranya punya pengetahuan dan penting untuk bersekolah. Perempuan bakalan menjadi pencetak pemimpin untuk anak-anaknya.
Jadi kalau ibu tidak berpendidikan, apakah ia bisa diandalkan untuk bisa mencetak anaknya menjadi pribadi yang baik? Apakah ia akan mampu melihat setiap potensi anak untuk bisa didukung dan dikembangkan?
Jangan sampai pemikiran dan keinginan ibu malah seutuhnya yang dibawa kepada anak, maka tidak menutup kemungkinan terjadi pertentangan keinginan dan realitas pada dunia anak. Jelas hal itu tidak patut dibiarkan.
Dengan begitu, sangat tidak patut seorang guru mengatakan ke anak mending tidak sekolah karena bakalan tidak lama akan menikah juga. Justru seharusnya gurulah yang mesti menjadi garda terdepan untuk memotivasi anak agar bisa bersekolah, bukan malah sebaliknya. Iya kan, kira-kira seperti itu.
Baca Juga
-
Ikon Wi-Fi di Windows 11 Ngilang? Tenang! Ini Cara Mengembalikannya
-
6 Holder HP Motor Terbaik Buat Touring dan Harian, Anti-Goyang dan Anti-Jatuh
-
10 Tablet Murah Buat Belajar: Dompet Aman, Tugas Lancar, Mata Nggak Pegel
-
5 Rekomendasi HP Rp1 Jutaan yang Bikin iPhone dan Samsung Minder!
-
Drive Penuh? Ini Jurus Bersih-Bersih Biar Enggak Nyesek!
Artikel Terkait
-
4 Hal yang Sepatutnya Orang Tua Wariskan kepada Anak
-
Rey Mbayang Tertangkap Basah Cium Perut Dinda Hauw Saat Umrah, Lagi Hamil Anak Kedua?
-
Seorang Istri Tega Memotong Kemaluan Suaminya Gegara Ketahuan Selingkuh
-
Agar Pembelajaran Lebih Menyenangkan, Ini Tips Menjadi Guru Kreatif Di Dunia Digital
-
Gibran Sibuk Urus Rencana Nikahan Kaesang Pangarep Dan Erina Gudono, Jokowi Mantu Desember Ini
Kolom
-
Ketika Hustle Culture Jadi Standar Nilai Diri: Salahkah Jika Diam Sejenak?
-
Meme In This Economy dan Kenyataan Pahit Hidup di Tengah Ketimpangan
-
AI dan Ekspektasi Emosional: Siapa yang Mengendalikan Siapa?
-
Paradoks Solo Leveling: Mengapa A-1 Pictures Rugi di Puncak Popularitas?
-
Scrolling Medsos Bikin Brain Rot: Buku Hadir Sebagai Pengalih yang Sehat
Terkini
-
Melihat Prespektif Berbeda Lewat Buku There Are No Bad People in The World
-
Gagal ke Piala Asia Putri 2026, PSSI Dikritik Pedas oleh Media Asing
-
8 Rekomendasi Film Horor yang Dibintangi Anya Taylor-Joy, Ada Favoritmu?
-
Momen Viral di Konser BLACKPINK, Ada Naeyon, Jihyo hingga Red Velvet
-
Tim PkM UNY Adakan Lokakarya Perempuan Islam Berkemajuan untuk Wujudkan Peradaban Utama