Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Ilustrasi guru mengajar (Pixabay.com)

Kita mesti semua sepakat bahwa guru adalah contoh bagi muri-muridnya, bahkan tidak sekedar itu, ia juga harus menjadi contoh di kalangan keluarga dan lingkungan masyarakat. Mengingat guru adalah seorang pendidik, perantara dalam memberi pengetahuan, dan pendobrak sistem pembodohan. 

Kalau kata Bung Karno bahwa tiap-tiap orang akan menjadi guru di masa kebangunan, tidak melulu harus ada SK guru dari Bupati atau Gubernur. Akan tetapi semua akan menjadi guru, orang tua akan menjadi guru pada anak-anaknya, kepala desa menjadi guru pada rakyatnya, dan seorang bos pun menjadi guru pada karyawan-karyawannya. 

Terlebih dari itu, guru yang mendapatkan SK dari pemerintah mungkin tidak keliru kalau dirinya memang wajib berperilaku layaknya sebagai pendidik. Tanggungjawab yang diambangnya sebagai seorang guru, mesti menjadi tuntutan secara moral dan secara aturan. Menyandang gelar sebagai guru tak boleh disepelekan, tidak boleh seperti orang yang bukan kaum terdidik. 

Namun ada sebenarnya yang mengguncang pikiran dan nurani saya sehingga tulisan ini bisa muncul. Ada salah seorang guru honorer di kampung saya di Desa Todang-Todang, terlihat mempertontonkan dirinya layaknya bukan seorang guru. 

Di Desa Todang-Todang terdapat seorang guru yang mengatakan kepada anak perempuan tidak usah sekolah karena tidak bakalan lama akan menikah. Kasusnya kebetulan saya tidak sengaja dengar. Ia mengatakan kepada salah seorang anak yang juga keluarganya bahwa mending tidak bersekolah karena tidak lama juga akan menikah. Padahal kondisi anak itu masih sangat patut untuk sekolah, umurnya masih sangat dini, dan juga belum terlalu lancar membaca. 

Sang anak sebenarnya dulu pernah masuk Sekolah Dasar (SD) di Desa Panyampa, Kecamatan Campalagian, Polewali Mandar. Tetapi saat ini sekolahnya itu terputus karena jarak sekolah dari rumah orang tuanya terlalu jauh. Sementara, anak itu sekarang berada di rumah kakaknya di Desa Todang-Todang dan dalam dirinya pun masih nampak ada benih-benih ingin kembali melanjutkan sekolahnya di Desa Todang-Todang. 

Dari situlah, muncul argumen dari salah seorang guru kepada anak tersebut mending tidak usah bersekolah karena tidak lama juga akan bakalan menikah. Mengingat pula, semua kakak kandung dari anak itu tidak ada yang bisa selesai tamat sekolah dasar, semua terputus sekolahnya. Lagian juga memang kakak-kakaknya cepat menikah, bahkan tidak ada yang sampai umur 20 tahun lalu menikah. 

Mungkin atas dasar itu pula, kenapa ada guru mengatakan mending tidak usah sekolah karena tidak lama juga bakalan menikah. Pikirku, bersekolah bukan hanya soal pekerjaan dan juga bukan soal bisa menikah. Tetapi ia salah satu cara agar bisa menjadi manusia yang lebih baik, mampu mengenal lingkungan, dan bisa tahu mendidik anak. 

Keharusan bersekolah tentu tidak pandang bulu, tidak pula memandang jenis kelamin. Walau masih ada yang mengatakan bahwa laki-lakilah yang paling dituntut untuk sekolah supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan alasan laki-laki yang akan menafkahi istri. Apakah kita sepakat hal itu? Jelas tidak, kan. 

Mungkin kondisi itu pula, kenapa guru itu berkata demikian karena anak itu memang perempuan. Jadi kalau seperti itu, jangan salah kalau perempuan selalu dikonotasikan hanya akan menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. 

Problem inilah yang mesti diberantas sama-sama, keharusan bagi anak perempuan untuk bersekolah mesti terus disosialisasikan. Perempuan pasti bakalan jadi ibu, maka penting kiranya punya pengetahuan dan penting untuk bersekolah. Perempuan bakalan menjadi pencetak pemimpin untuk anak-anaknya. 

Jadi kalau ibu tidak berpendidikan, apakah ia bisa diandalkan untuk bisa mencetak anaknya menjadi pribadi yang baik? Apakah ia akan mampu melihat setiap potensi anak untuk bisa didukung dan dikembangkan? 

Jangan sampai pemikiran dan keinginan ibu malah seutuhnya yang dibawa kepada anak, maka tidak menutup kemungkinan terjadi pertentangan keinginan dan realitas pada dunia anak. Jelas hal itu tidak patut dibiarkan. 

Dengan begitu, sangat tidak patut seorang guru mengatakan ke anak mending tidak sekolah karena bakalan tidak lama akan menikah juga. Justru seharusnya gurulah yang mesti menjadi garda terdepan untuk memotivasi anak agar bisa bersekolah, bukan malah sebaliknya. Iya kan, kira-kira seperti itu. 

Budi Prathama