"Ketidaktahuan tidak akan menolong siapapun," Karl Marx.
Ungkapan tersebut memang menjadi tamparan bagi kita, terutama mereka yang mengaku sebagai kaum muda. Ketidaktahuan akan tenggelam, dan yang selamat mereka yang mau mencari tahu dan belajar.
Hidup di dalam gemerlap milenial, zaman tiktokers dan sejenisnya telah merajai tatanan hidup hari ini. Dunia sosial dan teknologi super canggih sedang berada dalam hegemoni manusia. Menerawang di dunia maya sudah menjadi ketergantungan. Namun, kondisi itu tentu tak akan bisa ditolak dan tugas kitalah yang harus beradaptasi dengannya.
Semangat mau berkembang dan belajar harus membabi buta dalam diri, agar ketidaktahuan tidak menggerogoti pada kehidupan. Mereka yang tak mau belajar maka selamanya akan sulit berbuat apa-apa.
Budaya literasi memang tak bisa ditawar-tawar, ia adalah hasil kebudayaan yang tak boleh dibunuh dan ditelantarkan. Pendiri bangsa ini pun sudah menerapkannya dan mempertontonkan kepada kita, namun itu kadang tak disadari.
Utamanya di lingkungan kampus, maka kesadaran mahasiswa harus mampu didongkrak budaya minat baca. Kampus sebagai lembaga pendidikan harus bisa mencerminkan dirinya sebagai ladang pendidikan, bukan malah menjadi ladang berbisnis dan hanya gaya-gayaan saja. Fatalnya kalau dijadikan alat membunuh nalar dan idealisme para mahasiswa.
Walau tak bisa dipungkiri zaman telah berubah, tren dan gaya hidup pun ikut berubah. Tapi hal yang pasti bahwa lembaga tak boleh melupakan identitasnya.
Suasana kampus terlihat dihuni ribuan mahasiswa, begitu pula kiranya untuk kampus Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar). Tepat hari Kamis, 15 September 2022, kawan-kawan dari organisasi DPC GMNI Majene menggelar Lapak Baca di halaman kampus Unsulbar tepat tengah-tengah mahasiswa yang nampak berlalu-lalang.
Sejatinya minat baca harus tumbuh di lingkungan kampus namun nyatanya masih jauh dari kenyataan. Gelar mahasiswa seakan diartikan hanya masuk ruangan mendengarkan dan mengerjakan tugas dosen saja. Tetapi padahal tidaklah demikian.
Walau kondisi lapak baca menampakkan tidak sebanding dengan mahasiswa yang ikut membaca dengan yang hanya mengabaikannya. Tetapi literasi membaca tak boleh mati di lingkungan kampus. Minat baca harus menjadi budaya dan harus pula diterapkan di lingkungan kampus yang tak boleh ditawar-tawar lagi.
Jangan sampai mahasiswa terlalu terlena dengan perkembangan zaman dan tren hari ini, hingga bisa melalaikan budaya minat baca. Maka jelas itu bisa mengunduh kerugian saja dan kemunduran semata.
Baca Juga
-
Media Sosial, Desa, dan Budaya yang Berubah
-
Media Sosial dan Dunia Anak: Antara Manfaat dan Tantangan
-
Pendidikan Etika Digital sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
-
Pendidikan, Kunci Generasi Muda Menuju Indonesia Emas 2045
-
9 HP Kamera 0,5 Harga 1-2 Jutaan Terbaik 2025, Foto Ramean Jadi Full Team!
Artikel Terkait
Kolom
-
E10 Wajib 10 Persen: Kenapa Kebijakan Etanol Ini Dikhawatirkan?
-
Menkeu Purbaya Potong Anggaran Daerah: Shock Therapy untuk Pemda Lamban
-
Ketika Gandrung Menari di Irama Tarian Penghancur Raya oleh .Feast
-
No Closure is a Closure: Kadang, Gak Dijelasin Itu Justru Jawabannya
-
Mandalika: Transformasi Wisata Olahraga Indonesia yang Berkelanjutan
Terkini
-
Investasi Bikin Deg-degan? Taklukkan Pasar Modal di ISTC 2025 dan Raih Hadiah 20 Juta!
-
War Tiket Anti Gagal: 7 Jurus Jitu Biar Gak Cuma Dapet Tulisan Sold Out
-
Laga Penentuan Lawan Arab Saudi, Kluivert Tak Perlu Paksakan Maarten Paes untuk Turun
-
Ronde Keempat Kualifikasi: Waktunya Indonesia Tancapkan Luka Ketiga bagi Arab Saudi
-
Habis Wisuda Terus Ngapain? Ini 7 Langkah Biar Gak 'Linglung' Masuk Dunia Kerja