Beberapa orang mungkin sering mendengar istilah toxic relationship dari lingkungan pertemanan maupun media sosial. Lalu, apa sebenarnya definisi dari toxic relationship? Toxic relationship merupakan jenis hubungan yang dapat memberikan pengaruh dan dampak negatif kepada seseorang yang ada dalam hubungan tersebut. Salah satu hal yang memicu toxic relationship dalam hubungan yakni kurangnya rasa empati dan egoisme. Contohnya sikap mengatur atau bossy berlebihan yang dilakukan secara sepihak oleh seseorang dalam sebuah hubungan.
Fenomena tersebut bisa terjadi dalam semua jenis hubungan, tak terkecuali hubungan pertemanan. Contohnya seorang teman yang mengajak Anda melakukan tindakan bullying kepada publik figure di media sosial. Itu merupakan contoh dari hubungan toxic dalam pertemanan. Sebab satu orang secara tidak langsung telah memberikan pengaruh negatif yang akan merugikan Anda sendiri dan orang lain.
Meskipun demikian, ada beberapa orang yang belum menyadari jika hubungannya tergolong dalam toxic relationship. Hubungan toxic paling sering dialami oleh gen Z yang menjalin hubungan romantis. Ada dua hal yang menyebabkan gen Z rentan mengalami toxic relationship.
1. Ketidakstabilan emosi
Emosi merupakan ekspresi subjektif individu terhadap sebuah objek atau fenomena yang diikuti dengan perubahan gestur tubuh. Di mana ekspresi emosi sangatlah beragam bukan emosi bahagia. Ada emosi penyesalan, sedih, dan marah.
Oleh karena itu, gen Z harus memiliki kemampuan emotional intelligence (EQ) untuk mengelola emosi yang cenderung negatif dari diri sendiri dan orang di sekitarnya.
Namun, sayangnya gen Z belum berada pada tahap di mana bisa mengatur emosi dengan baik. Melansir dari Sonara Id, seorang psikolog bernama RA Oriza Sativa, S. Psi, Psi. CH., mengatakan jika ketidakstabilan emosi pada remaja dipengaruhi oleh hormon yang masih dalam tahap perkembangan.
Oleh karena itu, ketika laki-laki dan perempuan generasi Z menjalin hubungan romantis. Keduanya akan cenderung sulit untuk memahami sifat satu sama lain serta pola hubungannya.
Justru kebanyakan gen Z berpandangan jika semua hubungan sama. Contohnya dalam hubungan keluarga, gen Z mungkin terbiasa untuk selalu bertemu dengan orang-orang tersayangnya dalam 24 jam. Lalu, yang sering kali terjadi ialah gen Z memiliki keinginan serupa dalam hubungan romantisnya. Keinginan tersebut diekspresikan dengan ajakan untuk bertemu dan bertelepon setiap hari sebagai sebuah kewajiban.
Tanpa disadari itu bisa menjadi awal dari toxic relationship yang akan dialami oleh gen Z. Biasanya itu dipicu oleh keinginan sesaat yang ingin selalu merasakan emosi bahagia bersama pasangan tetapi tidak memikirkan konsekuensinya.
2. Kurangnya knowledge dan experience tentang hubungan
Knowledge dan experience penting untuk mengarahkan sebuah hubungan ke arah yang positif. Di mana pengetahuan akan berguna sebagai panduan dalam menjalin hubungan yang sehat. Contohnya setiap individu yang akan menjalani hubungan romantis seharusnya memahami dengan benar tentang edukasi seks. Melansir dari website PKBI (perkumpulan keluarga berencana Indonesia) edukasi seks yang komprehensif mempelajari tentang 7 komponen yaitu gender, kesehatan reproduksi, hak seksual, kepuasan, kekerasan, keberagaman, dan hubungan manusia.
Knowledge tentang edukasi seks bisa diperoleh secara mandiri dari membaca buku, jurnal, artikel atau mendengarkan podcast dari ahli. Dengan knowledge tersebut gen Z diharapkan bisa menghindari seks bebas atau pemaksaan untuk melakukan hubungan seks.
Sementara itu, experience tentang suatu hubungan bisa diperoleh dari bertanya pada orang dewasa seperti orang tua atau seorang ahli. Misalnya gen Z dapat bertanya tentang cara menghadapi konflik di sebuah hubungan tanpa harus melibatkan emosi marah yang berlebihan.
Pengalaman dari orang tua atau ahli akan sangat berguna bagi gen Z ketika mengalami situasi serupa dalam hubungannya. Namun, sayangnya gen Z cenderung tidak concern pada hal tersebut. Tak sedikit yang justru memiliki motivasi mencari pengalaman baru dari menjalin sebuah hubungan romantis. Padahal konsep tersebut sangat salah yang akhirnya menyebabkan gen Z terjebak dalam toxic relationship.
Tag
Baca Juga
-
3 Tips Lancar Sidang Skripsi, Dijamin Dapat Grade A
-
3 Keuntungan Mengikuti Program Magang MSIB KEMENDIKBUDRISTEK, Auto Daftar!
-
5 Variety Show Korea Paling Seru yang Wajib Ditonton Penggemar K-Pop dan K-Drama
-
3 Sumber Penghasilan Idol K-Pop yang Bikin Hidupnya Mewah, 'Dihidupi' Fans?
-
Petik Laut: Tradisi Tahunan Nelayan Pesisir Situbondo
Artikel Terkait
-
Apa Itu Silent Treatment, Penyebab Perceraian Faby Marcelia dan Revand Narya
-
PHK Meledak, Klaim BPJS Ketenagakerjaan Tembus Rp 289 Miliar
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Apa Itu Breadcrumbing dalam Hubungan? Kenali Ciri-ciri dan Dampaknya
-
Benarkah Gen Z Tak Bisa Kerja dengan Baik?
Kolom
-
Ilusi Uang Cepat: Judi Online dan Realitas yang Menghancurkan
-
Dukungan Jokowi dalam Pilkada Jakarta: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
-
Tren Childfree di Indonesia Melonjak, Sejauh Mana Negara Hadir?
Terkini
-
Review Film River, Terjebak dalam Pusaran Waktu
-
Sudah Dapatkan Ole Romeny, PSSI Rupanya Masih Berburu Striker Keturunan
-
Resmi, Serial Alice in Borderland Season 3 Bakal Tayang Tahun Depan
-
Ulasan Buku Perkabungan untuk Cinta, Ungkap Perasaan Duka Saat Ditinggalkan
-
Curi Perhatian! Ini Reaksi Pelatih PSBS Biak usai Strikernya Dipanggil Timnas Indonesia