Konsep sekolah pada mulanya hanya sebagai lembaga pendidikan, yang mendidik siswa menjadi pintar dalam segala hal, mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari keluarga. Pada akhirnya, sekolah cenderung hanya memproduksi manusia-manusia pintar.
Perubahan dunia begitu cepat dan sekolah mengambil alih tugas mulia orang tua sebagai pendidik utama sehingga sekolah selalu dimimpikan menjadi pusat perubahan karakter, pusat perubahan perilaku. Kondisi itu diperkuat dengan semakin banyaknya aturan-aturan - bukan hanya dari pemerintah, pun aturan-aturan yayasan dan sekolah itu sendiri - yang seolah-olah mempunyai tujuan mulia; mendidik karakter bangsa.
Karena tujuan pendidikan selalu berubah, komponen pendidik pada akhirnya tidak hanya bermuara pada guru dan sekolah. Maka, muncullah banyak peran, muncul banyak tujuan, muncul banyak cara dan proses untuk berperan dalam pendidikan. Orang tua menjadi bagian pendidikan, siswa menjadi lebih pemeran utama, pemerintah menjadi lebih dominan bagi sekolah-sekolah swasta, bahkan perusahaan ikut andil dalam proses pendidikan. Semuanya terbuka, siapapun dan siapa saja terjun dalam bisnis model pendidikan.
Maka, seorang siswa yang seharusnya sebagai subjek, tergerus nasib menjadi objek industri. Yang pada mulanya diharapkan menjadi pemeran utama perubahan, cenderung menjadi pihak yang dikorban pendidikan itu sendiri. Lalu, di manakah peran sekolah sebenarnya?
Menentukan Arah, Menggali Masalah
Karena pendidikan semakin berkembang, sekolah tidak lagi sebagai sebuah lembaga tertutup, sebagai benteng kokoh yang tak tersentuh oleh lembaga lain, khususnya sekolah swasta. Ketika sekolah semakin terbuka, komunikasi tidak lagi hanya antara sekolah dan siswa.
Siswa dipengaruhi bukan hanya oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, namun ia sangat mempengaruhi sekolah itu sendiri. Maka, kompleksitas dan ambiquitas ini dalam bentuk komunikasi, informasi, bahkan aturan. Tidak salah muncul berbagai contoh permasalahan, seperti;
- Orang tua dengan jabatan tertentu sangat mempengaruhi kebijakan sekolah, bahkan cenderung menguasai sekolah, sehingga sekolah swasta sangat tergantung dengan apa yang disampaikan dan diinginkan.
- Guru menjadi pihak yang terombang-ambing oleh peraturan, bukan hanya yang dibuat oleh sekolah, yayasan, bahkan pemerintah pun ikut andil atas ketidakberdayaan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik.
- Sekolah tidak lagi mempunyai otoritas mendiri. Bahkan sekolah sangat tergantung bagaimana negara menggatur sebuah sekolah. Aturan pemerintah, aturan menteri pendidikan, aturan dinas pendidikan, aturan pemerintah daerah, bahkan sampai aturan perusahaan terhadap sekolah pun pada akhirnya melahirkan perubahan misi dan visi sekolah yang cenderung lepas serta tidak terkendali, sangat melenceng dari tujuan pendidikan nasional.
Apakah kondisi seperti ini masih dialami dunia pendidikan? Begitu banyak permasalahan yang muncul di sekolah, bukan hanya dikarenakan perubahan-perubahan paradigma akan pendidikan, perkembangan teknologi, perubahan cara berkomunikasi, namun reorientasi visi dan misi sekolah juga banyak penyesuaian. Sebuah penyelesaian masalah, yang mungkin juga memunculkan masalah baru.
Menemukan Model Sekolah
Pada akhirnya, orientasi pendidikan membutuhkan perubahan, dan reposisi peran guru, sekolah, orang tua dan masyarakat. Salah satu yang bisa dilakukan adalah membentuk model sekolah kolaboratif. Di sinilah peran sekolah, orangtua, dan masyarakat lebih memahami bagaimana kurikulum dan kegiatan sekolah menjadi fokus pendidikan.
Orang tua dan masyarakat dapat memberikan saran dan masukan aktif, tanpa mendominasi dan mempengaruhi kebijakan sekolah. Namun, di sisi yang lain, orangtua dan masyarakat diharapkan dapat berperan sebagai pengendali (social control) penyelenggaraan sekolah.
Model pendidikan kolaboratif mungkin saja menjadi model sekolah yang akan menimbulkan masalah baru. Namun, satu hal yang mungkin bisa wujudkan adalah sekolah bukan lagi tembok tinggi yang membatasi murid dengan masyarakat.
Sekolah bukan lagi hanya sebagai sebuah lembaga pendidikan. Sekolah adalah masyarakat itu sendiri. Siswa, orang tua, sekolah, dan pemerintah adalah sebuah paduan sempurna seperti halnya sebuah orkestra. Dan, guru adalah pemimpin orkestra itu. Memajukan pendidikan dimulai dengan meningkatkan kompetensi guru. Jika itu terjadi, pendidkan pada akhirnya akan menjadi orkestra yang indah untuk dinikmati kita bersama. Namun, apakah orang tua, yayasan, pemerintah siap untuk berkolaborasi? Kita mungkin masih harus menunggu waktu untuk menikmati orkestra itu terdengar merdu.
Video yang mungkin Anda suka:
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Wapres Gibran ke Mendikdasmen: Zonasi Sekolah Harus Dihilangkan!
-
Profil Sutikno, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang Usul Pajak Kantin Sekolah
-
Bisa Jadi Pemasukan Tambahan, Pemprov DKI Bakal Tarik Retribusi Kantin Sekolah
-
Anak-Anak Nia Ramadhani Sekolah di Mana? Uang Sakunya Tembus Jutaan Rupiah
-
Pendidikan Nissa Sabyan, Diduga Diam-Diam Sudah Nikah dengan Ayus
Kolom
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Usai Kemenangan Telak di Pilpres AS, Apa yang Diharapkan Pendukung Donald Trump?
-
Standar Nikah Muda dan Mengapa Angka Perceraian Semakin Tinggi?
-
Indonesia vs Arab Saudi: Mencoba Memahami Makna di Balik Selebrasi Seorang Marselino Ferdinan
-
Matematika Dasar yang Terabaikan: Mengapa Banyak Anak SMA Gagap Menghitung?
Terkini
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg