Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Cahyani Fatka Istiqomah
Fenomena Bendera One Piece Bersanding dengan bendera Merah Putih Jelang Hari Kemerdekaan (x.com/@reododdyleonard)

Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, jagat media sosial diramaikan oleh fenomena unik: berkibarnya bendera bajak laut dari serial anime One Piece di berbagai wilayah Indonesia. Simbol tengkorak dengan topi jerami—dikenal sebagai “Jolly Roger”—terlihat dikibarkan bersama bendera Merah Putih, baik di lingkungan rumah warga, kendaraan, hingga tempat umum. Meskipun umumnya tidak menggantikan posisi bendera negara, kehadiran bendera ini dalam momen sakral nasional memicu respons yang beragam dari berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, hingga masyarakat umum.

Fenomena ini pertama kali mencuat lewat konten TikTok yang telah ramai sejak enam bulan lalu, namun viral secara masif menjelang bulan Agustus 2025. Banyak yang memandangnya sebagai bentuk ekspresi kebudayaan generasi muda yang semakin akrab dengan budaya populer global. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk ketidaksensitifan terhadap nilai-nilai nasionalisme, terutama jika tidak diiringi pemahaman etis tentang simbol kenegaraan.

Pemerintah menanggapi fenomena ini secara serius. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Budi Gunawan, dalam pernyataannya menilai pengibaran bendera One Piece sebagai tindakan provokatif yang berpotensi merendahkan martabat simbol negara. Ia bahkan menyebut bahwa bisa ada konsekuensi pidana apabila bendera Merah Putih dikibarkan di bawah bendera lain, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Sebaliknya, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya memberikan respons yang lebih moderat. Ia menyatakan bahwa selama bendera Merah Putih tetap menjadi simbol utama dan dikibarkan lebih tinggi, maka bendera lain yang bersifat ekspresif tidak serta-merta dianggap pelanggaran hukum. Ia menekankan pentingnya literasi kebangsaan agar generasi muda memahami batas-batas ekspresi dalam ruang publik, terutama pada momen kenegaraan.

Dari perspektif akademik, fenomena ini dinilai mencerminkan keresahan sosial yang lebih dalam. Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, M. Febriyanto Riyan, menyebut pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk ‘protes diam’ dari generasi muda yang merasa kurang terwakili dalam narasi nasional. Menurutnya, generasi Z cenderung menyuarakan kegelisahan mereka melalui simbol-simbol budaya populer yang lebih resonan secara emosional, seperti tokoh Luffy dalam One Piece yang dikenal memperjuangkan keadilan, solidaritas, dan kebebasan. Ini bukan sekadar “ikut-ikutan”, melainkan refleksi dari perubahan pola komunikasi dan identifikasi sosial yang melibatkan simbol-simbol fiksi global.

Simbolisme Budaya Pop dan Nasionalisme Generasi Z

Generasi Z adalah generasi yang hidup di tengah arus globalisasi informasi dan budaya. Mereka mengakses anime, K-pop, dan fenomena budaya digital lain secara intens, menjadikannya bagian dari identitas sehari-hari. Dalam konteks ini, One Piece bukan sekadar tontonan, melainkan narasi perjuangan yang dekat dengan nilai-nilai personal banyak anak muda: tentang keberanian, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan persahabatan lintas batas. Maka, tidak mengherankan jika simbol Jolly Roger dipakai bukan sebagai bentuk penghinaan terhadap negara, melainkan bentuk perayaan identitas dan semangat perlawanan yang mereka yakini.

Namun, tentu ada batas yang perlu dipahami. Simbol negara seperti bendera Merah Putih memiliki kedudukan yang sakral, dan penggunaannya diatur dalam undang-undang serta norma sosial. Di sinilah pentingnya literasi simbolik: kemampuan untuk memahami arti dan konsekuensi dari penggunaan simbol-simbol dalam ruang publik, termasuk dalam konteks budaya dan politik lokal. Penggunaan simbol asing dalam acara nasional memang bukan hal yang sepenuhnya baru, tetapi tetap membutuhkan kehati-hatian dan pemahaman konteks agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan konflik makna.

Respons masyarakat terhadap fenomena ini terbelah. Ada yang mengecam keras karena dianggap merusak semangat nasionalisme, namun ada pula yang memaknai peristiwa ini sebagai peluang untuk membuka dialog lintas generasi. Beberapa pihak melihat ini sebagai bentuk dekadensi patriotisme, namun yang lain justru menilai bahwa semangat kebangsaan tidak bisa hanya dipelihara melalui simbol tradisional semata. Simbol-simbol baru dari budaya populer bisa menjadi jembatan komunikasi yang efektif, asal tidak menegasikan makna simbol resmi negara.

Perbandingan dengan fenomena serupa di luar negeri, seperti Jerman atau Spanyol, menunjukkan bahwa simbol dari budaya pop memang bisa memicu kontroversi tergantung pada konteks sosiopolitik masyarakatnya. Dalam beberapa kasus, simbol-simbol ini bahkan dianggap sebagai ancaman nasional jika dikaitkan dengan agenda tertentu. Oleh karena itu, penting untuk melihat kasus ini secara proporsional—tidak serta-merta menyudutkan generasi muda, tetapi juga tidak mengabaikan pentingnya menjaga nilai-nilai nasional.

Menjaga Makna, Merawat Ekspresi

Fenomena pengibaran bendera One Piece menjelang Hari Kemerdekaan bukan sekadar tren media sosial. Ia adalah cerminan dinamika antara identitas generasi, perubahan budaya, dan pergeseran cara berpartisipasi dalam narasi kebangsaan. Ini bukan sekadar soal simbol anime, tetapi soal bagaimana generasi muda berusaha menyuarakan diri mereka dalam ruang yang sering kali tidak memberi mereka tempat.

Alih-alih semata-mata menghukum atau mengecam, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum untuk menjadikan momen ini sebagai pintu masuk menuju dialog yang sehat. Mengajarkan makna bendera Merah Putih tidak cukup dengan perintah formal, tapi dengan cara yang menjangkau hati dan bahasa generasi muda. Hanya dengan begitu, semangat nasionalisme bisa terus hidup—bukan dalam bentuk yang kaku dan seragam, melainkan dalam wujud yang inklusif, kontekstual, dan relevan dengan zaman.

Cahyani Fatka Istiqomah