Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Siti Nurhalizah
Merdeka Belajar. (gurudikdas.kemdikbud.go.id)

Kegiatan membaca dan menulis merupakan hal yang penting bagi masyarakat guna  memperluas wawasan dan pengetahuan. Bahkan dengan membiasakan diri untuk membaca serta mengolah informasi tanpa adanya kerancuan dapat membuat seseorang mampu menyampaikan informasi dengan tepat. Oleh sebab itu, literasi menjadi suatu hal yang penting sehingga budaya literasi perlu digalakkan demi membentuk sumber daya manusia yang unggul kedepannya.

Kendati demikian mengingat akan pentingnya literasi, Indonesia pernah menjadi urutan di bawah rata-rata mengenai literasi dunia pada tahun 2019. Berdasarkan survei dari Program for International Student Assessment (PISA) yaitu suatu studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan lebih dari 70 negara, yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), memaparkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terendah dalam literasi.

BACA JUGA: Kompetensi Matematis, Unsur yang Terlupakan dalam Pengajaran Matematika

Tidak hanya itu, UNESCO juga pernah menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen, di mana artinya hanya 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang gemar membaca. Terlihat jelas bahwa mayoritas dari bangsa Indonesia memiliki kebiasaan malas membaca. 

Seiring dengan berkembangnya zaman, untungnya tingkat literasi di Indonesia mulai meningkat. Hal ini dapat terlihat melalui data Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas RI) yang telah melakukan pemetaan kondisi kegemaran membaca di Indonesia pada tahun 2021 terletak pada angka 59,52 (sedang) dari skala 0-100 yang mencakup 34 provinsi, dan pada tahun 2022 angka tersebut meningkat menjadi 63,90 (tinggi).

Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kegemaran membaca di Indonesia mengalami kenaikkan pada tahun 2022 dengan kategori tinggi. Tidak hanya itu, di era digital saat ini di mana setiap orang menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-hari dan terkadang membuat buku bacaan menjadi tersingkirkan. 

Indonesia dijuluki sebagai salah satu negara yang gemar bermain smartphone dalam durasi terlama di dunia, maka hal ini menjadi salah satu yang menyebabkan literasi digital Indonesia semakin meningkat. Dirilis oleh KOMINFO pada kominfo.go.id, di mana terlihat dari Pengukuran Indeks Literasi Digital Indonesia tahun 2021 yang mencapai 3.49 dari skala 1-5, atau naik dari pencapaian tahun sebelumnya yaitu 3.46.

Pengukuran tersebut dilakukan melalui survey tatap muka kepada 10.000 responden di 514 kabupaten/kota dengan karakteristik pengguna internet yang berusia 13-70 tahun di Indonesia, dan pada tahun 2022 literasi digital di Indonesia naik kembali hingga mencapai angka 3.54 dengan melakukan pengukuran empat pilar, yaitu kecakapan digital, etika digital, keamanan digital, serta budaya digital.

Namun, apakah Kalian mengetahui hal apa yang menyebabkan rendahnya tingkat budaya literasi di Indonesia? Penyebab akan rendahnya budaya literasi bermacam-macam, di Indonesia sendiri rendahnya budaya literasi biasanya disebabkan oleh kurangnya kesadaran akan manfaat dari pentingnya literasi, bahkan segelintir dari orang masih tidak mengetahui apa makna dari literasi.

Kegiatan membaca dan menulis harus dibiasakan oleh orang tua kepada anaknya sedini mungkin, seperti membacakan dongeng kepada anak serta mengajarkan menulis abjad hingga hanya sekedar coret-mencoret saja sekalipun.

Selain itu, minimnya sarana bacaan juga dapat menimbulkan kebiasaan malas membaca. Maka dari itu, sarana baca seperti perpustakaan harus diperluas dan dipermudah aksesnya baik di sekolah maupun di luar sekolah agar masyarakat tidak sungkan untuk membaca. 

Rendahnya tingkat budaya literasi di suatu negara dapat mempengaruhi kualitas negaranya. Jadi, jika tingkat budaya literasi di Indonesia rendah maka kualitas negaranya juga akan menurun, sebab rendahnya tingkat budaya literasi tersebut akan mempengaruhi perkembangan ilmu dan informasi di dunia sehingga berdampak kepada ketertinggalan bangsa Indonesia.

Selain itu, rendahnya literasi juga dapat menyebabkan kreativitas seseorang tidak berkembang serta kesulitan dalam kemampuan berkomunikasi, dikarenakan pola pikir yang kreatif dan komunikasi yang baik akan timbul jika orang tersebut memiliki pengetahuan yang informatif dan hal tersebut dapat dilatih dengan menjadi pribadi yang gemar membaca.

Menyikapi hal tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tanggal 27 Februari 2023, meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar Episode Ke-23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Anak Indonesia yang berfokus kepada pengiriman buku bacaan bermutu untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) disertai juga pelatihan bagi guru. 

Peluncuran terobosan Merdeka Belajar Episode Ke-23 ini dimaksudkan untuk menetralisir rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia yang diakibatkan oleh rendahnya kebiasaan membaca yang diajarkan sejak dini serta minimnya sarana bacaan yang memadai. Maka dari itu, terobosan Merdeka Belajar Episode Ke-23 kali ini dapat menjadi wadah pelatihan literasi anak-anak Indonesia supaya dapat terbentuk menjadi sumber daya manusia yang unggul di masa depan.

Kebijakan dengan mengirimkan sejumlah buku ke sekolah ini bukanlah kebijakan baru yang dilakukan oleh Kemendikbudristek, tetapi kali ini dilakukan terobosan dalam beberapa hal seperti jumlah eksemplar, jumlah judul buku, jenis buku yang dikirimkan, pendekatan yang dilakukan dalam medistribusikan buku, hingga pemilihan sekolah yang menjadi penerima pengiriman buku.

BACA JUGA: Asah, Asih, Asuh dalam Merdeka Belajar

Diharapkan dengan pelatihan yang diberikan kepada guru beserta pustakawan sekolah agar dapat memahami kegunaan buku-buku yang diterima sehingga tidak akan ada lagi buku yang tidak dimanfaatkan dan tertumpuk di perpustakaan.

Serta sebagai penerus bangsa Indonesia yang unggul teruslah tingkatkan dan terapkan budaya literasi di manapun dan kapanpun Kalian berada. Seperti kata Najwa Shihab sang motivator, “Membaca ialah upaya merekuk makna ikhtiar untuk memahami alam semesta. Itulah mengapa buku disebut sebagai jendela dunia, yang merangsang pikiran agar terus terbuka”.

Siti Nurhalizah