“Bu, buat apa pula sih kita belajar matematika sekarang, toh udah ada banyak aplikasi untuk menyelesaikan soal,” ungkap salah seorang murid ketika sedang bimbingan olimpiade matematika. Memang benar juga sih, bahwa matematika itu sekarang buat apa? Kalau hanya sebatas untuk mengerjakan soal, itu di gawai udah banyak aplikasi untuk bisa menyelesaikannya.
Matematika, mata pelajaran yang paling banyak jatah jam pertemuannya. Dengan dalih bahwa matematika adalah ilmu yang paling penting dalam kehidupan, tapi dalam kenyataannya kita bingung apa kegunaan matematika.
BACA JUGA: Asah, Asih, Asuh dalam Merdeka Belajar
Masih pentingkah matematika untuk dunia pendidikan sekarang? Lantas siapakah yang salah sebenarnya. Pembuat jadwalkah, atau mungkin gurunya yang tidak meng-asyikkan. Sungguh membingungkan.
Bila menilik dari asal dan tujuan matematika diajarkan, maka kita akan mengetahui bahwa matematika begitu penting untuk diajarkan. Tapi yang menjadi problematika utama adalah dalam mengajarkannya. Para pendidik luput akan mengajarkan nilai terpenting dalam matematika. Bukan sebatas dalam lingkup angka saja, tapi bagaimana menciptakan manusia yang memiliki kompetensi matematika.
Menurut Vorobjovs (2020), kompetensi adalah kombinasi dari pengetahuan, sikap, dan kemampuan. Untuk kompetensi matematika, yaitu meliputi Ppoblem solving, critical thinking, communication, dan lain-lain. Luar biasa bukan?
Tapi ke manakah semuanya selama ini? Kenapa saya tidak pernah merasakannya walaupun sampai di bangku perguruan tinggi. Dalam penjelasan teori bahwa kompetensi matematis penting sebenarnya sunguh luar biasa, tapi kenapa hal ini begitu saja hilang dalam dunia pengajaran matematika.
Apabila kita salahkan guru yang mengajarkannya, tentu boleh saja. Tapi apakah guru ini dulu mendapatkan pemahaman demikian ketika di bangku perkuliahan, atau bahkan mungkin gurunya bukanlah orang dari jurusan matematika.
Apabila kita menjustivikasi bahwa gurunya tidak kompeten, itu adalah hal yang salah. Buktinya, banyak siswa di Indonesia mampu mengantarkan muridnya menjuarai kompetisi baik lingkup nasional bahkan hingga internasional.
Jelas poin kompetensi ini sudah tercapai, tapi sebatas dalam pengetahuan. Sayangnya, dua poin berikunya malah sering terabaikan. Bilamana dalam kondisi kelas yang pintar, guru fokus mengajarkan soal yang berat, tanpa mengajarkan esnsi dari soal itu.
Kalau guru itu mengahadapi kelas yang mayoritas kemampuannya rendah, guru fokus dalam masalah bagaimana cara muted ini paham dalam perhitungannya. Kenapa sih harus demikian.
BACA JUGA: Strawman: Saat Logika Kobobolan
Tulisan ini sebenarnya begitu naïf bilamana menjadi sebuah topik tulisan. Menyalahkan dengan sekenanya tanpa tahu kondisi lapangan. Dan yah, emang demikian lah kebiasan orang yang sok tahu tentang dunia pendidikan. Merumuskan kurikulum tanpa pernah tahu kondisi di lapangan. Ketika melihat sebuah anomali dalam pengajaran, langsung saja menyimpulkan dan merubah konsep baru yang katanya lebih sesuai dengan kondisi terbarukan.
Kembali lagi ke topik pembahasan. Hal ini cukup membingungkan, tujuan dari diajarkannya matematika ini sebenarnya apasih? Apakah hanya untuk anak yang pintar sehinga mereka bisa mendapatkan kemenangan, atau menuntaskan tangung jawab seorang pengajar dalam tuntutan kurikulum nasional. Ah entahlah!