Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan seputar pengasuhan anak telah menjadi semakin intens. Namun, sorotan yang dominan cenderung tertuju pada peran ibu dalam pengasuhan, sementara kelompok rentan seperti anak-anak dengan orang tua tunggal masih terpinggirkan.
Fenomena ini seolah memberikan sudut pandang tunggal pada pengasuhan, mengecilkan peran orang tua lainnya, terutama dalam situasi perceraian. Khususnya, anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai seringkali dianggap sebagai pihak yang rentan, dan pandangan ini tidaklah sepenuhnya tepat.
Stigma dan pandangan umum yang menganggap perceraian sebagai faktor risiko utama atas perilaku anak di masa depan perlu direvisi. Sudut pandang ini sering menghubungkan masalah prestasi pendidikan anak dengan perceraian orang tua. Namun, melalui berbagai studi, diketahui bahwa dampak perceraian terhadap prestasi akademik tidak selalu merugikan anak-anak yang terlibat.
Banyak anak yang tinggal bersama ibu tunggal mampu meraih pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Misalnya, penelitian oleh Aliah, Nur (2019) menunjukkan bahwa pendidikan anak yang diawasi oleh orang tua tunggal memiliki kesetaraan dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tua lengkap. Orang tua tunggal juga mampu menjalankan peran ini dengan sukses, bahkan mampu menyelenggarakan pendidikan anak-anak hingga tingkat perguruan tinggi.
Hasil penelitian Al-Muthahar (2015) yang terkait dengan 'Pemenuhan Kebutuhan Anak oleh Orang Tua Tunggal Perempuan di Kelurahan Kota Baru' juga menguatkan pandangan ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu tunggal perempuan mampu mengakomodasi kebutuhan fisik dan psikologis anak-anak mereka. Mereka memberikan dukungan psikologis melalui rasa sayang, perhatian, dan keamanan, serta mendorong interaksi sosial yang sehat dengan teman sebaya dan pengajaran nilai-nilai gotong-royong.
Namun, tantangan yang dihadapi oleh orang tua tunggal, terutama dari kelompok ekonomi lemah, masih signifikan. Keterbatasan dukungan sosial dan finansial sering kali menjadi halangan dalam memenuhi kebutuhan anak. Selain itu, pandangan negatif dan stigma yang dilekatkan pada orang tua tunggal dapat memperburuk kondisi ini.
Guru-guru dan masyarakat sering kali salah menilai dan menyalahkan orang tua tunggal atas masalah perilaku atau prestasi anak-anak. Pandangan ini tidak hanya merugikan kelompok orang tua tunggal, tetapi juga bisa memperdalam kesenjangan pendidikan antara anak-anak dari latar belakang ekonomi yang berbeda.
Dalam mengatasi tantangan ini, langkah-langkah dapat diambil untuk mewujudkan kesetaraan dalam pendidikan. Pertama-tama, dukungan dari pihak sekolah perlu ditingkatkan sehingga orang tua tunggal dapat lebih aktif berpartisipasi dalam pendidikan anak-anak mereka.
Pihak sekolah bisa memberikan fleksibilitas waktu dan menerapkan pendekatan inklusif untuk mengurangi stigma yang ada. Selanjutnya, kelompok dukungan seperti komunitas orang tua tunggal dapat menjadi wadah bagi mereka untuk saling berinteraksi dan berbagi pengalaman, mengurangi rasa kesepian, dan memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan.
Peran pemerintah juga sangat penting dalam mengatasi masalah ini. Kebijakan pendidikan yang berbasis komunitas, seperti program Sekolah Keluarga atau Jam Belajar Masyarakat, dapat membantu meringankan beban orang tua tunggal. Namun, penting untuk diingat bahwa keterlibatan dalam pengasuhan anak tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab ibu. Dukungan dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga perlu didorong, baik di rumah, di sekolah, maupun dalam komunitas. Peran ayah memiliki dampak besar terhadap perkembangan anak.
Melalui berbagai praktik positif di berbagai negara, kita dapat menyimpulkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak, terutama bagi kelompok yang rentan seperti orang tua tunggal, harus melibatkan kolaborasi dari berbagai pihak. Prinsip "dibutuhkan peran orang sekampung untuk membesarkan seorang anak" sangat relevan dalam konteks ini.
Kolaborasi yang erat antara lembaga pendidikan, komunitas, dan pemerintah akan berkontribusi besar dalam memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang keluarganya, memiliki akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas.
Penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa tanggung jawab pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama, dan dengan bantuan bersama, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.
Baca Juga
-
Pesona Komunikasi Padat: Mengungkap Makna Lebih dalam Seketika
-
Membangun Hubungan Harmonis dengan Tetangga yang Kurang Ramah
-
Tren Pernikahan Generasi Muda AS: Biaya dan Pandangan
-
Kondom Grafena: Menjembatani Kenikmatan dan Kesadaran Kesehatan Seksual
-
Di Balik Kebiasaan Bertanya di Akun Base Twitter, Hilangnya Kepercayaan Diri?
Artikel Terkait
-
Pendidikan Melly Goeslaw, Sentil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Pakai Lagu saat Rapat DPR
-
Lesti Kejora Hamil Lagi, Rizky Billar Berharap Dapat Anak Perempuan
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Donald Trump Menangi Pilpres AS, Inilah Anak Hingga Cucunya Yang Jadi Dinasti Politik
-
Pandji Pragiwaksono Sarjana Apa? Tertawakan Momen Denny Sumargo Ucap 'Siri Na Pacce'
Kolom
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
-
Menghargai Pekerjaannya, Menghargai Kebutuhannya: Realitas Gaji Guru
-
Indonesia dan Lunturnya Budaya Malu, dari "Jam Karet" hingga Korupsi
-
Simak! Ini Pentingnya Penguasaan Calistung dalam Pendidikan Dini
Terkini
-
Bangun Minat Menulis, SMA Negeri 1 Purwakarta Undang Penulis Novel
-
Ulasan Buku 'Cindelaras', Kisah Permaisuri Raja yang Dibuang ke dalam Hutan
-
Luca Marini Percaya Diri Honda Bisa Samai Kekuatan Ducati: Asal Cerdas!
-
Ulasan Film Monolith: Keberanian Seorang Ibu dalam Melindungi Anaknya
-
BamBam GOT7 Mundur dari Program Bam House, Digantikan Natty Kiss of Life