Presiden Prabowo, baru-baru ini berpidato di Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang digelar di Solo pada Minggu, 20 Juli 2025.
Dalam balutan semangat khasnya, Prabowo berbicara di hadapan para kader PSI. Namun alih-alih menyampaikan kebijakan atau arah masa depan bangsa, pidatonya justru didominasi oleh kelakar, sindiran, dan guyonan. Sontak pidatonya itu pun lagi-lagi dikecam publik.
“Jadi saya sering malam-malam saya buka itu socmed, saya cek gitu podcast-podcast,” kata Prabowo, disambut tawa audiens. “Saya mau tahu ‘apa yang sedang dipikirkan oleh Prabowo Subianto,’ mereka lebih tahu dari saya gitu loh.”
Ia melanjutkan, masih dengan gaya bercanda, “Prabowo sedang begini sedang begitu. Prabowo sudah pecah kongsi sama Jokowi. Oh ya, oh begitu saya bilang... (tertawa). Semua dianalisa, semua dianalisa. Mungkin malam ini dianalisa lagi saya, ‘oh kenapa Prabowo kok muji-muji gajah’ nah itu!”
Lucu? Mungkin, bagi yang menganggap ini panggung hiburan. Tapi banyak orang menilai bahwa ini bukan gaya bicara yang pantas dari seorang kepala negara. Karena yang ditertawakan bukan hanya rumor, melainkan fakta bahwa pemimpin tertinggi kita merasa itu cukup untuk dijadikan inti pidato di forum politik nasional.
Apalagi, ini bukan acara pribadi atau sesi tanya-jawab santai di YouTube, tapi panggung resmi partai politik yang menampilkan Presiden Republik Indonesia.
Hal yang lebih memprihatinkan adalah ketika Prabowo menyindir para pengkritik pemerintah.
Katanya, ada yang terlalu pesimistis hingga mengajak orang lain untuk kabur dari Indonesia. “Indonesia gelap, Indonesia gelap. Sorry ye, Indonesia cerah. Masa depan Indonesia cerah. Saya sudah lihat angka-angkanya,” ujarnya. Lalu, ia menutupnya dengan satu kalimat, “Tinggal kita berani atau tidak menjalankan perintah Undang-Undang Dasar.”
Presiden memang berhak menyampaikan pandangannya. Tapi ketika ia menyebut, “Saya sudah lihat angka-angkanya,” lalu berhenti sampai di situ tanpa menjelaskan angka yang dimaksud, tanpa menunjukkan indikator ekonomi apa yang ia nilai cerah, maka itu tidak lain hanya sekadar pernyataan kosong.
Wajar saja jika publik curiga. Karena bagaimana publik bisa percaya jika pemimpinnya tidak memiliki transparansi dan rasa hormat terhadap rakyatnya.
Jika ini adalah cara Prabowo merespons kritik terhadap situasi ekonomi, iklim politik, dan ketimpangan sosial, maka ia benar-benar telah kehilangan wibawanya sebagai seorang pemimpin.
Alih-alih menyajikan data konkret atau langkah kebijakan, Prabowo justru mengarahkan lampu sorot ke para pengkritik, seolah-olah mereka adalah biang kerok pesimisme nasional.
Warganet juga menyayangkan gaya komunikasi Prabowo yang dinilai tidak jelas. Banyak yang menilai isi pidatonya “ngasal dan amburadul,” dengan topik yang “berputar-putar” tanpa arah.
Bukannya memberi solusi, pidato itu malah membawa publik ke hal-hal yang seharusnya tidak jadi prioritas seorang presiden.
Padahal publik menanti perubahan. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak sepenuhnya membaik, harga pangan naik, PHK meningkat, hingga anak muda kesulitan mencari pekerjaan, rakyat butuh kepastian. Bukan candaan. Bukan narasi seolah mengatakan,“Saya tahu lebih baik dari kalian.”
Ketika seorang presiden lebih sibuk mengomentari apa kata orang tentang dirinya ketimbang menyelesaikan permasalahan rakyat, maka sama saja itu seperti pembalikan tanggung jawab.
Kritik dianggap serangan, keresahan dianggap narasi gelap, dan rakyat dianggap terlalu sinis hanya karena menuntut keterbukaan.
Kita tidak butuh presiden yang lucu. Kita butuh presiden yang tegas, terbuka, dan berani menerima kritik publik.
Lalu, apa benar masa depan Indonesia akan cerah? Bisa jadi. Tapi cerah bagi siapa? Apakah cerah untuk para pekerja lepas yang tak punya jaminan sosial? Cerah untuk para mahasiswa yang putus kuliah karena UKT? Atau justru cerah untuk para elit yang rangkap jabatan?
Baca Juga
-
Jakarta World Cinema 2025: Saatnya Temukan Film yang Takkan Pernah Tayang di Bioskop Biasa
-
Kalau Nulis Nggak Viral, Apakah Masih Layak?
-
Ironi: Ketika Polisi Berbentrok dengan Rakyat Lalu Diganjar Promosi
-
Apatis atau Aksi? Pilihan Anak Muda di Tengah Gelombang Protes
-
Bukan Mau Kudeta, Pak! Memahami Keresahan Rakyat di Balik Stigma Makar
Artikel Terkait
-
Eks Marinir Satria Arta Nangis saat Minta Balik, Kemhan Tunggu Arahan Prabowo
-
Prabowo Gelar Rapat Tingkat Tinggi Bahas Pengembangan KEK, Babak Baru Investasi?
-
Jokowi Dinilai Terlalu 'Pede': Dulu Banyak Partai Melamar, Kini Cuma Tersedia PSI
-
Presiden Prabowo Subianto Resmikan 80 Ribu Kopdes Merah Putih, LPDB Siapkan Dukungan Pembiayaan
-
Heboh Tudingan Prabowo, Cuitan Lawas Akun Gerindra 'Pembuat Hoax Terbaik Adalah Penguasa' Viral Lagi
Kolom
-
Lebih dari Sekadar Demo: Aksi Ibu-Ibu Ini Buktikan Aspirasi Bisa Disampaikan Tanpa Anarki!
-
Ironi Demokrasi: Kala Rakyat Harus 'Sumbang' Nyawa untuk Didengar Wakilnya
-
Influencer vs DPR: Aksi Nyata 17+8 Tuntutan Rakyat di Era Digital
-
Nasdem Minta Gaji-Tunjangan Sahroni dan Nafa Dibekukan, Warganet Anggap Belum Cukup
-
Tidak Ada Buku di Rumah Anggota DPR: Sebuah Ironi Kosongnya Intelektualitas
Terkini
-
Inside Out oleh Day6: Pengakuan Cinta yang Tak Bisa Lagi Ditunda
-
Ulasan Novel Tanah Para Bandit: Ketika Hukum Tak Lagi Memihak Kebenaran
-
Shotty oleh Hyolyn: Melepaskan Diri dari Seseorang yang Tak Menghargaimu
-
5 Drama Korea Psikologis Thriller Tayang di Netflix, Terbaru Queen Mantis
-
Momen Langka! Rhoma Irama Jadi Khatib Salat Jumat di Pestapora, Intip Lagi Yuk Rukun dan Sunnahnya