Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Film Sore (Instagram/@sheiladaisha)

Bayangkan jika pemerintah sudah punya regulasi yang ketat soal rokok dan gula. Mungkin Sore gak perlu capek-capek kembali ke masa lalu demi menyelamatkan suaminya, Jonathan (Jo), dari kematian muda.

Di film Sore: Istri dari Masa Depan, kita melihat Jo sebagai sosok pria yang hidupnya berantakan akibat kebiasaan merokok sejak kecil. Ia mulai merokok sejak SD, kebiasaan yang akhirnya membawanya ke akhir tragis: meninggal muda.

Di web series-nya, cerita berfokus pada Jo yang terkena diabetes karena konsumsi gula berlebih. Kedua versi ini punya benang merah yang sama: hidup Jo bisa lebih panjang kalau sejak awal ada aturan yang jelas untuk membatasi akses rokok dan gula.

Anak SD Bisa Ngerokok, Seberapa Mudah Aksesnya?

Indonesia saat ini masih menjadi salah satu negara dengan jumlah perokok anak tertinggi di dunia. Menurut Global Youth Tobacco Survey (2019), kita menduduki peringkat ke-3 untuk perokok anak. Ironisnya, anak kelas 1 SD seperti Jo di film bisa dengan mudah membeli rokok di warung tanpa ada yang mencegah.

Memang sekarang ada aturan baru lewat PP No. 28 Tahun 2024 yang melarang:

  • Penjualan rokok eceran.
  • Penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun.
  • Penjualan rokok di area yang sering dilalui anak-anak.

Tapi, pertanyaannya: apakah aturan ini benar-benar ditegakkan? Apakah minimarket dan warung bakal minta KTP dulu sebelum menjual rokok ke anak-anak? Atau iklan-iklan rokok yang terpampang di baliho, TV, hingga YouTube akan benar-benar hilang? Faktanya, remaja Indonesia yang terpapar iklan rokok di YouTube mencapai 80%, sementara di Instagram 57% (LSPR, 2019).

Bukan Cuma Rokok, Konsumsi Gula Berlebih Juga Jadi Bom Waktu

Di series Sore, Sore kembali ke masa lalu untuk mengganti semua gula yang dikonsumsi Jo dengan produk rendah gula. Kalau dipikir-pikir, langkah ini jadi reminder nyata buat kita semua.

Data menunjukkan bahwa 75% kematian di Indonesia disebabkan oleh konsumsi garam, gula, dan lemak (GGL) berlebihan. Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi, dengan proyeksi lebih dari 8 juta kasus pada 2033 jika tidak ada perubahan.

Kabar baiknya, mulai semester II 2025, minuman manis atau MBDK (Minuman Berpemanis Dalam Kemasan) akan kena cukai. Harapannya, harga yang lebih mahal bisa menekan konsumsi masyarakat dan mendorong produsen beralih ke produk yang lebih sehat. Jika diterapkan konsisten, jumlah kasus DMT2 bisa turun jadi 5 juta kasus (CISDI, 2024).

Belajar dari Jepang, Jangan Tunggu Semua Terlambat

Jepang sukses menekan angka obesitas lewat kebijakan tegas soal pangan manis dan olahan. Indonesia bisa meniru langkah ini agar generasi muda lebih sehat. Karena faktanya, penyesalan selalu datang belakangan, dan kita gak punya mesin waktu seperti Sore untuk memperbaiki masa lalu.

Film Sore: Istri dari Masa Depan adalah pengingat bahwa perubahan gaya hidup harus dimulai dari sekarang. Dan pemerintah punya peran penting untuk memastikan akses rokok dan gula tidak lagi semudah membeli permen di warung.

Jadi, Apa Langkah Selanjutnya?

Kalau kamu peduli dengan isu ini, yuk mulai dari diri sendiri: kurangi rokok, gula, garam, dan lemak berlebih. Dan lebih penting lagi, dorong pemerintah untuk menegakkan aturan yang sudah ada.

Coba pikirkan: regulasi seperti apa yang harus dibuat supaya rokok dan konsumsi GGL di Indonesia benar-benar berkurang?

Kalau menurut kamu, apakah aturan yang ada sekarang sudah cukup ketat? Atau masih banyak celah yang bikin anak-anak kayak “Jo kecil” di film bebas beli rokok?

Oktavia Ningrum