Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Ilustrasi perempuan mengalami kekerasan seksual. (Pixabay/@cocoparisienne)

Belakangan ini, kasus kekerasan sering kali terjadi dan terungkap di media sosial. Baik itu yang motifnya kekerasan fisik, kekerasan verbal, terlebih kekerasan seksual. Sumbernya pun hampir semua lini ada, baik dari lingkup pemerintah, sekolah, bahkan di pelosok desa sekalipun. 

Namun kekerasan semacam itu, sering kali baru diusut dan diproses kalau viral dulu, kalau nggak viral, pihak berwajib seakan nutup mata. Kita mungkin bisa menyadari, bahkan bersepakat dengan seksama di negeri Wakanda ini, yakni "kalau nggak viral, nggak diadili". Tentang bagaimana hukum itu bisa ditegakkan, diusut, bahkan diproses kalau viral terlebih dahulu. Entah seperti apa motif kasusnya, kalau udah viral duluan ya pasti kok akan dilirik aparat kita.

Ada banyak kasus yang terjadi, aparat baru memproses sesuai hukum kalau udah viral duluan, terlebih lagi banyak juga yang nggak diproses karena nggak viral-viral. Salah satu kasus yang diproses karena viral, yakni kasus kekerasan di sekolah yang beberapa waktu lalu banyak diperbincangkan. 

Ada pula kasus pencolokan mata yang dialami siswa SD di Gresik nggak bakal diusut kalau nggak viral dulu. Kasus pembacokan guru di Demak yang baru diusut setelah videonya viral di sosial media. Bahkan kasus bullying di Cilacap juga baru diproses hukum ketika viral. Jadi, memang nggak salah kalau aparat kita diproses kalau viral dulu. 

Entah karena atasan hingga ke bawahnya malu kalau publik tahu, nggak bergerak kalau ada kekerasan yang terjadi dan tersebar ke publik. Atau bisa juga, supaya aparat seakan punya andil besar dalam menyelesaikan kasus terkait, sehingga nunggu viral dulu. Entah alasan apapun itu, aparat kita memang baru proses hukum kalau kejadiannya udah viral dulu. 

Saya sebenarnya kasian dan prihatin melihat jika aturan sosial seperti itu yang selalu dipakai, kasus diusut kalau udah viral dulu. Pertanyaan, gimana kalau kasus yang nggak viral, apakah itu dibiarkan kasusnya membengkak saja? Atau aparat baru mau bergerak kalau ada plus sebagai imbalan? Atau alasan terakhir, semuanya diselesaikan secara kekeluargaan saja. 

Bagi saya itu tentu nggak fair, kalau ada kekerasan mestinya itu diselesaikan secara hukum, bukan dengan secara kekeluargaan. Menurut saya, kalau kasus kekerasan dikit-dikit diselesaikan secara kekeluargaan justru nggak menyelesaikan masalah, karena bisa saja pelaku nggak ada kapok-kapoknya untuk berbuat kekerasan, karena bisa saja mereka berpikir, semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan kok. 

Maraknya kasus kekerasan yang beredar di media sosial, di sisi lain saya bersyukur karena dengan begitu publik bisa tahu dan terlebih aparat ada tekanan untuk mengusut tuntas kasus yang terjadi. Yang nggak sepakatnya saya, aksi kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, entah bagaimana pun motifnya. 

Bercermin jauh ke belakang, mungkin sedikit kasus kekerasan terungkap yang diketahui oleh publik. Itu karena pengaruh media sosial hari ini nggak sama dengan yang dulu. Bukan berarti, dulu nggak ada kekerasan karena kasus sedikit muncul di publik. Tapi, bisa saja kekerasan justru jauh lebih banyak namun tersembunyi. Belum lagi kalau kasus tersebut nggak diusut karena kasusnya nggak viral, nggak ada juga yang tahu kok, kenapa harus diusut. 

Ini yang jadi kekhawatiran saya, kasus yang tersembunyi dan nggak viral itu dibiarkan membengkak saja, nggak diusut sampai tuntas. 

Nggak bisa dipungkiri, maraknya kasus kekerasan yang beredar di media sosial hari ini justru jauh lebih sedikit dengan kasus yang tersembunyi atau nggak diketahui publik. Nggak salah kita menduga, betapa banyak kasus kekerasan yang tersembunyi dan nggak diusut. Nanti mau diusut kalau viral dulu. Kan itu sama saja menyembunyikan bangkai supaya bisa dipandang dari luar kalau nggak ada sebenarnya terjadi. Itu bullshit dan harus dirombak budaya seperti itu. Menyembunyikan kesalahan, supaya bisa dipandang baik. 

Taruhlah misalnya, kasus kekerasan seksual di pesantren yang beberapa kali juga viral dan diproses tuntas. Tapi, bagaimana dengan model-model kekerasan yang lain? Kekerasan fisik, verbal bahkan simbolik apakah pernah mencuat di publik? Kalau viral saja nggak bisa, bagaimana memprosesnya? Apalagi mendapat keadilan atas berbagai kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren.

Bukannya menjelekkan nama pesantren, tapi ada beberapa pesantren yang memang sistemnya kek semi militer, di situlah kerap terjadi kekerasan. Hanya dengan dalih seorang anak pesantren harus patuh, semuanya bisa saja terjadi, termasuk aksi kekerasan. 

Memang sulit untuk diketahui oleh publik, selain ada beberapa pesantren yang nggak membolehkan santri bawa HP, sering juga para santri hanya bisa patuh saja kalau mendapatkan kekerasan, misalnya saja mendapatkan cambukan kalau telat salat, dan aksi kekerasan yang lain. Bisa juga dengan dalih, pimpinan pondok pesantren mencabuli santrinya dengan dalih, santri harus patuh pada gurunya, dan lain sebagainya. 

Kejadian pimpinan pondok pesantren mencabuli santrinya sudah sering juga terjadi dan mencuat di media sosial. Itu terjadi karena korban berani speak up, tapi bagaimana bagi mereka yang takut speak up, apakah hukum keadilan akan didapatkan? Apakah aparat bertindak untuk mengusut tuntas? Kira-kira kita bisa buat kesimpulan sendirilah. 

Oleh karena itu, ditengah maraknya terjadi kasus kekerasan yang beredar di media sosial hari ini. Di situ saya bersyukur, karena dengan begitu hukumnya bisa diproses secara tuntas, karena aparat kita sepertinya memang doyan "kalau nggak viral, nggak diadili". 

Namun yang menjadi kritiknya saya, tentunya kepada siapa pun yang melakukan kekerasan (baik fisik maupun verbal) itu nggak ada hukum yang membenarkan, mestinya harus diusut hingga tuntas tanpa ada yang disembunyikan. 

Yang lebih penting lagi, pihak aparat yang memang punya gawean untuk mengusut itu harus bisa berbuat adil, nggak pandang bulu, dan nggak harus pula nunggu viral dulu baru diproses. Aparat harus bisa bekerja secara profesional dan mestinya menjadi garda terdepan memberantas segala macam bentuk kekerasan. 

Karena kalau nggak, kita nggak bisa tahu bagaimana jadinya kekerasan itu bisa diungkit kalau nggak ada media sosial sekarang ini. Dari situlah, beberapa kasus yang terjadi dan sudah viral, dari situ pula aparat kita baru bergerak untuk mengusut. Lagi-lagi bagaimana dengan kasus yang nggak viral? Miris, kan.

Budi Prathama