Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Yoga Yurdho
Ilustrasi Cogil. (Pexels/Mauricio Mascaro)

Era media sosial membawa perubahan signifikan dalam dinamika kehidupan, terutama di kalangan anak muda. Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah kehadiran Cogil, singkatan dari "Cowo Gila." Di balik kegilaan dan keeksentrikan fenomena ini, kita tidak hanya dihadapkan pada absurditas dalam media sosial, tetapi juga pada krisis pendidikan yang muncul dari tekanan budaya dan sosial.

1. Fenomena Cogil dan Absurditas di Media Sosial

Fenomena Cogil, dengan penampilan eksentrik dan persaingan atau bahkan pengakuan asmara yang dramatis, menggambarkan betapa media sosial telah menjadi panggung untuk absurditas. Kenapa bisa demikian? Karena siapa saja bisa mengakses dan melihat fenomena itu terlepas dari yang masih labil atau yang sudah dewasa secara pemikiran. Citra pemberontakan dan kegilaan yang dihiasi dengan eksentrisitas menjadi daya tarik tersendiri. Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana kita seharusnya membiarkan tren ini mempengaruhi nilai-nilai dan pandangan hidup kita? 

2. Dampak Psikologis pada Anak Muda

Jauh dari sekadar hiburan di media sosial, fenomena Cogil dapat memiliki dampak psikologis yang signifikan pada anak muda. Tekanan untuk mempertahankan citra yang sesuai dengan tren dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan bahkan menghasilkan krisis identitas. Muncul pertanyaan bagaimana pendidikan dapat merespons tantangan ini dan memberikan dukungan psikologis yang dibutuhkan oleh anak muda.

3. Krisis Identitas dan Pendidikan

Krisis pendidikan muncul ketika nilai-nilai yang ditanamkan oleh pendidikan bertentangan dengan citra yang dibangun di media sosial. Identitas anak muda terancam terombang-ambing di antara ekspektasi sosial dan kebutuhan untuk tetap autentik. Pendidikan harus mampu memberikan panduan dan dukungan yang diperlukan untuk membantu anak muda memahami nilai-nilai sejati dan mengatasi krisis identitas.

4. Membangun Pendidikan yang Relevan

Pendidikan tidak bisa terpisah dari realitas sosial yang berkembang. Krisis pendidikan yang muncul akibat fenomena Cogil menuntut pembaharuan dalam kurikulum dan metode pengajaran. Pembelajaran harus mencakup pemahaman tentang dampak media sosial, keterampilan literasi digital, dan kemampuan untuk kritis memilah informasi. Tapi, tidak sepenuhnya benar, karena pendidikan itu adalah sebuah interaksi antara pengajar dan murid. Adanya kesadaran mandiri dari murid pun menjadi hal yang harus digarisbawahi bahwa sejatinya pengembangan karakter menjadi lebih baik adalah kesadaran penuh dari seorang murid.

5. Peran Orang Tua dan Guru

Orang tua dan guru memiliki peran utama dalam membimbing anak muda melewati tantangan ini. Mereka tidak hanya perlu memberikan contoh nilai-nilai yang benar, tetapi juga membuka dialog terbuka tentang dampak media sosial. Dukungan emosional dan bimbingan moral dapat membantu anak muda memahami bahwa identitas mereka lebih berharga daripada citra yang dapat mereka bangun di dunia maya.

Fenomena Cogil menjadi sebuah cermin yang menyoroti pentingnya menghadapi tantangan pendidikan di era media sosial. Krisis identitas dan dampak psikologis anak muda memerlukan respons yang holistik dari sistem pendidikan, orang tua, dan guru. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mampu memberdayakan anak muda untuk tetap autentik dalam menghadapi absurditas tren media sosial dan membimbing mereka menuju pertumbuhan yang sehat secara mental dan emosional.

Yoga Yurdho