M. Reza Sulaiman
Cover Cerpen Remote Televisi di Antara Norma dan Hukum Rimba. (Nano Banana/Gemini AI)

Hujan di luar belum juga reda, seirama dengan gemuruh yang bergolak di dalam dada. Malam itu, sepulang kerja dengan tubuh remuk redam dan kepala yang dipenuhi tuntutan tenggat waktu, saya dihadapkan pada satu hal sepele, remote televisi yang macet.

Saya menekan tombol power berkali-kali. Tidak ada respons. Saya memukul bagian belakangnya, memutar baterainya, lalu menekannya lagi dengan tenaga berlebih. Layar televisi tetap gelap.

Detik itu, rasanya ada magma yang naik ke kerongkongan. Saya ingin berteriak. Saya ingin membanting benda plastik persegi panjang ini ke lantai keramik hingga hancur berkeping-keping.

Imajinasi saya liar. Setelah remote hancur, saya akan mengangkat televisi LED itu, lalu melemparkannya ke arah jendela. Biar pecah sekalian. Biar gaduh.

Setelah itu, saya ingin menonjok pintu kamar, bukan tembok, karena logika saya yang tersisa masih berbisik bahwa menonjok tembok hanya akan membuat tangan saya patah, sementara pintu kayu setidaknya memberi suara benturan yang memuaskan dan rasa sakit yang masih bisa ditoleransi.

Tangan saya sudah terangkat, siap melontarkan remote itu ke dinding.

Namun, tangan itu berhenti di udara. Menggantung, gemetar menahan ledakan energi yang tidak tersalurkan.

Perlahan, saya turunkan tangan. Saya letakkan remote itu dengan sangat hati-hati di atas meja, seolah-olah benda itu terbuat dari kaca tipis. Saya tarik napas panjang, menahannya, lalu mengembuskannya kasar.

Kenapa saya berhenti?

Di belakang kepala saya, tertanam sebuah perangkat lunak tak kasatmata bernama "norma sosial". Sebuah suara kolektif masyarakat yang mencibir lelaki dewasa, seorang ayah dan suami, yang tantrum dan mengamuk seperti bocah tiga tahun hanya karena masalah sepele.

Ada rasa malu yang mendahului perbuatan. Ada citra diri yang harus dijaga. "Apa kata tetangga nanti?" atau "Apa contoh yang kau berikan pada anak?" adalah mantra pengikat yang ampuh.

Saya menghempaskan punggung ke sofa, menatap langit-langit ruang tengah yang diam. Pikiran saya mulai berkelana, mencoba mengalihkan amarah menjadi sebuah eksperimen mental.

Bagaimana jika tidak ada norma sosial? Apakah saya akan tetap membanting barang-barang itu?

Jawabannya muncul cepat dan jujur: Ya, saya akan melakukannya. Tanpa ragu.

Jika tidak ada tatapan menghakimi dari masyarakat, jika tidak ada label "tidak dewasa", saya pasti sudah mengubah ruang tamu ini menjadi kapal pecah. Itu adalah pelepasan emosi paling purba, paling insting.

Imajinasi saya melangkah lebih jauh. Bagaimana jika bukan hanya norma sosial yang hilang, tetapi juga hukum? Baik hukum positif negara maupun hukum agama. Bayangkan sebuah dunia di mana tidak ada polisi, tidak ada penjara, tidak ada dosa, dan tidak ada neraka. Apa yang akan terjadi jika manusia dibebaskan sepenuhnya untuk mengikuti impuls terliar mereka?

Istri saya, Sarah, datang dari dapur membawa dua cangkir teh hangat. Ia melihat wajah saya yang tegang dan remote yang tergeletak miring di meja. Ia sepertinya paham ada badai yang baru saja batal meletus.

"Lagi mikir apa, Mas? Mukanya serem banget," tanyanya sambil meletakkan cangkir.

Saya menoleh, menatapnya lekat. "Aku lagi mikir, Yang. Kalau dunia ini nggak ada hukum, nggak ada aturan, apa yang bakal terjadi sama kita?"

Sarah mengerutkan kening, lalu duduk di sebelah saya. "Maksudnya bebas sebebas-bebasnya?"

"Iya. Nggak ada yang melarang orang marah, nggak ada yang melarang orang ngamuk, bahkan nyuri atau nyakitin orang lain."

Sarah menyesap tehnya sedikit, lalu menjawab santai, "Ya nanti saling bunuh dong?"

"Iya juga, ya," gumam saya. Jawaban itu terdengar begitu sederhana tapi mengerikan.

Saya kembali menerawang. "Kalau semua orang bebas melakukan apa saja, yang terjadi adalah seleksi alam. Yang lemah akan dimangsa yang kuat. Orang-orang akan saling bunuh untuk memperebutkan makanan, wilayah, atau sekadar karena tersinggung."

"Kayak binatang, ya," timpal Sarah.

"Betul. Hukum rimba," lanjut saya, kini semakin antusias dengan analisis saya sendiri. Amarah soal remote tadi perlahan pudar, berganti menjadi diskusi filosofis dadakan. "Tapi coba bayangkan, Yang. Kalau semua orang saling bunuh, akhirnya yang tersisa cuma orang-orang yang paling kuat, kan?"

"Heeh. Terus?"

"Nah, yang kuat-kuat ini nanti pasti akan bertarung lagi satu sama lain untuk mencari tahu siapa yang paling digdaya, siapa 'alpha' di antara mereka. Ketika satu orang terkuat sudah terpilih, atau satu kelompok terkuat menang, apa yang akan mereka lakukan?"

Sarah mengangkat bahu. "Menindas yang lemah?"

"Mungkin. Tapi supaya kekuasaan mereka langgeng, mereka pasti akan membuat aturan baru. Si pemenang ini akan bilang, 'Mulai sekarang, tidak boleh ada yang membunuh sembarangan, kecuali atas perintahku.' Pada akhirnya, lahirlah hukum lagi."

Saya diam sejenak, merenungi siklus itu.

"Atau..." sambung saya lagi, "bagaimana jika yang kuat-kuat ini tidak saling membunuh? Bagaimana jika mereka sadar bahwa perang terus-menerus itu melelahkan dan berisiko? Saya rasa, mereka akan duduk bersama. Rembukan."

"Maksudnya musyawarah?" tanya Sarah sambil tersenyum geli.

"Iya. Mereka akan membuat kesepakatan. 'Oke, kita sama-sama kuat. Daripada kita mati konyol, kita bagi wilayah saja. Kamu jangan ganggu aku, aku jangan ganggu kamu. Kita buat aturan bersama: yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.' Disepakati bersama demi keamanan bersama."

"Itu namanya demokrasi, Mas," sahut Sarah. "Atau kontrak sosial kalau kata buku pelajaran PPKN dulu."

Saya tertawa kecil. "Benar. Ujung-ujungnya kembali lagi ke situ."

Kesimpulannya menghantam saya dengan telak. Manusia, sebuas apa pun insting purbanya, benar-benar tidak mungkin hidup tanpa hukum. Kita mengutuk aturan ketika kita sedang marah, kita merasa terkekang oleh norma ketika emosi memuncak, tetapi jauh di lubuk hati, kita tahu bahwa tanpa itu semua, kita akan punah.

Bahkan dalam anarki total sekalipun, kerinduan akan ketertiban akan memaksa manusia menciptakan hukum baruentah itu hukum yang lahir dari ujung pedang seorang tiran, atau hukum yang lahir dari kesepakatan meja bundar.

Ketidakhadiran hukum hanyalah fase transisi yang berdarah sebelum hukum baru tercipta. Jadi, keinginan saya untuk mengamuk dan menghancurkan tatanan hanyalah fantasi sesaat yang sia-sia.

Saya melirik remote di meja.

"Yang, remote-nya rusak," kata saya, kali ini dengan nada yang jauh lebih tenang. "Atau mungkin cuma baterainya."

"Coba diganti dulu baterainya, ada di laci," jawab Sarah lembut.

Saya bangkit berdiri. Tidak ada pintu yang ditonjok, tidak ada televisi yang pecah. Saya berjalan menuju laci, mengambil dua butir baterai baru, dan kembali menjadi manusia beradab yang tunduk pada kewarasan. Ternyata, hidup dengan aturan memang jauh lebih hemat biaya daripada menuruti amarah.