Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sabrina Nur Asridha
ilustrasi media sosial (Pixabay/LoboStudioHamburg)

“Terima kasih udah speak up”.

Kalimat tersebut seringkali terlontarkan saat seseorang angkat bicara perihal suatu permasalahan di media sosial. Sudah tidak asing lagi kata “Speak Up” di telinga kita sebagai para penikmat media sosial. Maraknya pemakaian kata Speak Up, membuat semakin banyak warganet yang berani untuk angkat bicara perihal banyak permasalahan yang dianggap tabu atau dinormalisasikan oleh masyarakat.

Salah satu contoh kegiatan Speak Up yang sempat menyita perhatian publik adalah pengangkatan isu oleh akun TikTok @awbimax (Bima) perihal Lampung yang dianggap tidak mengalami kemajuan.

Dalam video kritik yang diangkat oleh Bima ini memancing para warganet asal Lampung untuk ikut andil angkat bicara. Hal ini menjadi viral dan pada akhirnya permasalahan di daerah Lampung bisa teratasi karena didengarnya suara rakyat melalui aktivisme digital yang dilakukan oleh Bima dan seluruh warganet yang ikut angkat suara.

Selain terangkatnya isu Lampung, isu lingkungan juga bisa terdengar oleh khalayak ramai dengan adanya speak up oleh akun TikTok @pandawaragroup melalui postingannya tentang pembersihan daerah perairan, seperti sungai dan laut.

Pandawara Group berhasil membuka pandangan warganet tentang kebersihan daerah perairan yang ada di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sinergi antara warga dan pemerintah dalam eksekusi pembersihan lingkungan setelah adanya aktivisme digital mengenai isu lingkungan oleh Pandawara Group.

Aktivisme sendiri merupakan gerakan yang bertujuan untuk membawa perubahan di masyarakat. Sedangkan aktivisme digital merujuk pada peran penggunaan media sosial dalam usaha menciptakan perubahan sosial tersebut.

Dengan adanya aktivisme digital ini, memungkinkan warganet untuk beropini dan membawa perubahan sosial. Hal tersebut bisa terjadi karena gerakan sosial pada era digital tidak memiliki hierarki yang memungkinkan siapapun bisa memulai dan menjalankan aktivisme.

Namun, hal tersebut bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak diperlakukan dengan bijak. Lahirnya aktivisme digital juga bisa memberi dampak pada polarisasi opini. Polarisasi opini atau perbedaan pendapat dapat terbentuk dari banyaknya pendapat yang masuk melalui satu kegiatan aktivisme.

Netizen Indonesia sangat beragam, dan sangat memungkinkan adanya perbedaan pendapat. Hal ini bisa memprovokasi isu yang ada sehingga semakin ter ”goreng”.

Dengan adanya polarisasi opini, penyebaran disinformasi kerap kali terjadi dengan mudah. Tingkat literasi yang rendah bisa meningkatkan hal tersebut terjadi. Tak jarang juga pelaku speak up malah mendapatkan cacian dan makian karena adanya polarisasi opini dan penyebaran informasi yang salah. 

Maka dari itu perlunya hal hal yang harus diperhatikan dalam kebiasaan speak up mengenai suatu isu. Sebelum kita mengunggah apapun ke sosial media, ada baiknya ditelaah terlebih dahulu masalah tersebut masih bisa diselesaikan dengan kekeluargaan atau tidak.

Selain itu, kita juga harus memperhatikan keselamatan kita sendiri sebagai pelaku Speak Up. Seringkali disaat ada yang mengangkat tentang suatu isu sensitif, tak lama kemudian akun mereka hilang tanpa kabar (takedown/shadowbanned). Netizen yang ingin menaikkan suatu isu juga perlu memperhatikan jaminan keselamatan dan kemungkinan respon yang akan terjadi.

Selain itu, tak jarang netizen ingin speak up perihal sesuatu yang hanya memprovokasi atau menaikkan nama atau akunnya saja tanpa memikirkan efek jangka panjangnya. Maka dari itu, yuk kita mulai meningkatkan kualitas berinternet!

Sabrina Nur Asridha

Baca Juga