Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Arif Yudistira
Ilustrasi pancasila. (PIxabay/ibnuamaru)

Tanggal 1 Juni kita memperingati hari lahir Pancasila. Pancasila lahir dari rahim kebudayaan, nafas, dan jiwa masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah perasan jiwa rakyat Indonesia. Sejak ribuan tahun yang lampau, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi asas ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat dan keadilan sosial. 

Nilai-nilai itu disepakati para founding father kita sebagai dasar negara yang menjadi pijakan bersama untuk melangkah dan membangun bangsa dengan dasar yang kuat. 

Soekarno sering mengingatkan kelak bahwa musuh kita yang terberat bukanlah bangsa asing, tetapi anak bangsa sendiri. Indonesia yang besar dan memiliki kekayaan bangsa yang luar biasa ini sangat rentan bila tidak dilandasi nilai-nilai berbangsa yang kokoh.

Pancasila tidak hanya menawarkan pandangan hidup dan cara hidup bernegara, Pancasila turut memberikan perspektif yang sangat futuristic terhadap bagaimana cara bernegara ini ditempuh. Para pendiri negara ini sudah memikirkan, menyusun dan merancang tata bangunan negara ini dengan amat matang.

Politisasi Pancasila

Setelah lahir, Pancasila tidak langsung mulus berjalan dan menjadi kompas dalam hidup bernegara kita. Pancasila akhirnya tidak terlepas dari tafsir penguasa atau kekuasaan. 

Pada masa Orde Lama, Pancasila ditafsirkan sebagai alat dan penopang ideologi dan program revolusi. Pancasila ditekuk untuk melanggengkan kekuasaan dengan dalih pengangkatan presiden seumur hidup. Soekarno sebagai pencetus Pancasila jatuh dalam godaan kekuasaan yang condong pada otoritarianisme.

Sementara pada masa Orde Baru, Pancasila ditekuk menjadi alat pelanggeng kekuasaan dan legitimasi politik. Soeharto menjadikan Pancasila alat untuk ideologi melawan komunisme dan menjalankan desoekarnoisasi. Pada masa Soeharto, Pancasila hanya sebagai simbolisme, dan sebagai kata kerja pasif semata.

Di masa reformasi setelah jatuhnya Soeharto dan kekuasaannya, Pancasila mulai menjadi perekat dan juga menjadi nilai yang kembali ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasca reformasi, pelembagaan dan juga program penanaman ideologi pancasila mewujud dalam lembaga negara.

Ugal-Ugalan

Pasca reformasi Pancasila seolah belum mampu membenahi cara kehidupan berbangsa kita yang semakin melenceng. Kran kebebasan yang dibuka setelah Orde Baru membuat kita menjadi bengkok dalam bernegara. 

Merajalelanya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan hingga konflik atas nama agama turut mewarnai kehidupan bernegara kita. Hubungan dan tradisi gotong royong yang semakin pudar, anak muda kita yang terjebak dalam pergaulan bebas dan kekerasan seksual menjadi problem yang menunjukkan kita semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. 

Pengelolaan negara kita yang kaya raya juga mengabaikan prinsip kesejahteraan bersama. Politik kelompok dan golongan seolah lebih ditonjolkan ketimbang kepentingan rakyat. Aset-aset berharga negara diserahkan begitu saja pengelolaannya kepada asing. Privatisasi dan swastanisasi BUMN hingga program pembangunan didasarkan kepada kalkulasi matematis dan untung rugi. Konstitusi dan aturan bernegara ditabrak untuk kepentingan keluarga dan juga kelompok/ golongannya sendiri. 

Saya sepakat dengan tulisan Haedar Nashir, Ketua umum Muhammadiyah yang menulis Pancasila Kata Kerja. Pancasila mesti menjadi laku dan meresap dalam jiwa anak bangsa, agar bernegara kita tidak ugal-ugalan. Pancasila harus menjadi kata kerja, agar bangsa ini segera keluar dari problem dan jerat yang membelenggunya untuk maju dan menggapai cita-citanya. 

Arif Yudistira