Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yohanes Hamona6
Gedung DPR MPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (6/9/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]

Indonesia, sebuah negara kepulauan yang menjanjikan begitu banyak harapan dan kemungkinan, namun terjebak dalam samudera paradoks yang menghambat potensi sebenarnya.

Sistem pemerintahan yang seharusnya menjadi fondasi kokoh bagi kemajuan bangsa, justru sering kali terperangkap dalam lingkaran setan korupsi, nepotisme, dan ketidakefisienan yang merongrong kepercayaan rakyat.

Dari sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah mengalami pasang surut dalam upaya mencari sistem pemerintahan yang ideal. Dimulai dari demokrasi parlementer, otoritarianisme Orde Lama, sentralisme Orde Baru, hingga desentralisasi pasca-reformasi, setiap periode membawa harapan dan kekecewaan yang silih berganti.

Namun, satu hal yang konsisten adalah kegagalan untuk mewujudkan tata kelola yang bersih, transparan, dan benar-benar mengabdi pada kepentingan rakyat.

Korupsi, seperti kanker ganas, telah menggerogoti setiap lapisan pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Praktik suap, penyalahgunaan wewenang, dan penggelapan dana negara seolah menjadi budaya yang sulit diberantas.

Ironisnya, banyak pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat dalam kasus-kasus korupsi yang mencoreng wajah bangsa. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin memudar, dan kebijakan-kebijakan penting sering kali dipandang dengan kecurigaan.

Nepotisme, di sisi lain, telah menciptakan lingkaran elite yang eksklusif dan tidak representatif. Jaringan keluarga dan kroni sering kali menentukan siapa yang menduduki posisi-posisi strategis, mengabaikan prinsip meritokrasi dan keadilan.

Hal ini tidak hanya membatasi potensi sumber daya manusia yang sebenarnya, tetapi juga menumbuhkan rasa ketidakpercayaan dan ketidakadilan di kalangan masyarakat luas.

Efisiensi dan produktivitas sektor publik juga menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan. Birokrasi yang berbelit-belit, prosedur yang panjang, dan kurangnya semangat reformasi telah menciptakan lingkungan kerja yang lambat dan tidak efektif. Akibatnya, pelayanan publik menjadi buruk, investasi terhambat, dan pertumbuhan ekonomi tersendat.

Namun, di balik semua paradoks ini, masih ada secercah harapan. Gerakan reformasi yang dimulai pada akhir abad ke-20 telah membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar. Desentralisasi kekuasaan, kebebasan pers, dan partisipasi masyarakat sipil yang lebih luas telah menciptakan ruang bagi suara-suara baru dan pemikiran progresif.

Untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang benar-benar berpihak pada rakyat, diperlukan upaya yang konsisten dan berkesinambungan.

Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistematis dan tanpa pandang bulu, dengan penerapan hukum yang tegas dan sanksi yang memberikan efek jera. Selain itu, reformasi birokrasi dan peningkatan transparansi menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan efisiensi pelayanan.

Partisipasi masyarakat sipil juga harus didorong dan difasilitasi, sehingga suara-suara kritis dan aspirasi rakyat dapat menjadi bagian integral dari proses pengambilan keputusan.

Dengan demikian, sistem pemerintahan tidak lagi menjadi monopoli segelintir elite, tetapi mencerminkan kehendak dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yohanes Hamona6

Baca Juga