Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nasruddin Leu Ata
Ilustrasi sawah terasering (pexels/@rennon-kiefer).

Riuh berlimpah ruah, kebijakan pariwiata negara telah terbentang dari ladang hingga sawah. Ranau hijau tanaman sayur dan hamparan padi yang dilatari gunung megah mengobati lelah kerja orang-orang kota. 

Dengan dalil pendapatan daerah, warga desa dituntut menghibur para wisatawan.  kendati kicauan burung-burung, suara gemericik air mengalir, dan sumilir angin yang menggoyang dahan dan daun pepohonan seakan menjadi orkestra harmoni alam yang menyela sejenak di gendang telinga orang kaya yang biasanya dijejali suara hiruk pikuk bising kota.

Pergeseran konsumsi rekreasi dari tersier ke primer memang menjadi berkah pelaku industri pariwisata bertemakan pemandangan alam. Desa, lembah, gunung, sungai, dan hamparan sawah dikapitalisasi oleh investor disulap menjadi obyek wisata yang laris manis diserbu para pemburu healing. 

Sejumlah tambahan infrastruktur, sepert akses jalan, gazebo, spot foto, penginapan, dan peralatan bermain dibangun untuk memudahkan wisatawan menjangkau lokasi dan nyaman menikmatinya.

Petani sayur sebagai pemilik dan pengolah tanah pun mendapat tambahan rejeki, entah hasil pembagian uang retribusi, pengelolaan parkir, hingga sekedar turut berdagang menjajakan makanan khas desa setempat. 

Awalnya para petani sayur ikut berdagang melayani wisatawan hanyalah sampingan di sela-sela kesibukan mengolah tanaman sayuran yang menjadi mata pencaharian sehari-hari, namun karena hasilnya ternyata lebih banyak maka pekerjaan ini justru menjadi andalan daripada menanam sayur dan padi. 

Bahkan beberapa petak tanah yang asalnya lahan sayur dialihfungsikan menjadi tempat berdagang untuk melayani wisatawan, seperti kios kopi, lahan parkir, spot foto, gazebo, hingga bangunan villa.

Jika petani pemilik atau penggarap lahan itu tidak memiliki kemampuan mengelolanya para investor akan menyewanya atau setidaknya bekerjasama membisniskannya, baik investor pribadi maupun atas nama komunitas, seperti organisasi karang taruna, badan usaha milik desa (bumdes) atau koperasi warga setempat. 

Memang wisatawan dimanjakan dengan berbagai fasilitas itu untuk sekedar menikmati beraneka makanan, minum kopi, berfoto selfie, hingga menginap di lokasi. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai fasilitas tersebut jelas mengurangi obyek yang awalnya justru sebagai tujuan utama, yakni keindahan panorama alam.

Pergeseran itu bukan hanya pada aspek alih fungsi lahan, namun juga terjadi perubahan perilaku budaya petani pemilik atau penggarap lahan, yang asalnya konsisten sebagai petani mulai meninggalkan pekerjaannya dan lebih tertarik berdagang memenuhi segala pernak pernik kebutuhan wisatawan karena lebih menghasilkan. Bahkan tidak jarang lahan itu disewakan atau dijual kepada investor.

Seiring persaingan bisnis wisata panorama alam, hukum pasar pun terjadi. Persaingan yang semakin ketat, dan bahkan di beberapa daerah menjadikannya program pemerintah setempat, sehingga yang kalah bersaing akan tereliminasi dan akhirnya gulung tikar. Lihatlah bagaimana sebuah obyek wisata yang sempat populer dan viral di media sosial itu kini sepi dan ditinggalkan pengunjungnya.

Petani yang sempat menikmati berkah industri pariwisata itu pada akhirnya harus kembali ke sawah ladangnya kembali menekuni pekerjaan yang walau sedikit tapi menghidupi. 

Petani bukan sekedar profesi namun sumber pembentukan jati diri. Wahai orang kota, terima kasih sudah sempat meramaikan sawah ladangku dan sempat menambah penghasilanku. Namun jika boleh memohon perhatikanlah segala sisi kehidupan kami.

Tolong beri sedikit saja keberpihakan pada nasib petani. Perhatikan bagaimana irigasi, ketersediaan pupuk, teknologi, hingga hilirisasi. Tolong bantu kami bagaimana menghadapi produk-produk hasil pertanian yang sekarang tidak lagi bersaing dengan tetangga sebelah kami namun harus bertarung langsung dengan produk import yang ada dimana-mana. 

Tunjuklah menteri pertanian yang memiliki kompetensi dan dedikasi. Jangan pilih menteri karena konsesi politik dan upeti yang ujung-ujungnya korupsi.

Nasruddin Leu Ata