Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | MARLIANA FAUZIA
Buku Buku Kisah dari Kebun Terakhir karya Tania Murray Li yang ditulis berdasarkan hasil riset etnografi selama 2 dekade di wilayah Sulawesi.(Dokumentasi pribadi)

Kisah dari kebun terakhir merupakan buku hasil riset etnografi selama dua dekade yang dilakukan oleh Tania Murray Li di wilayah Sulawesi. Buku ini memberikan gambaran mengenai kemunculan kapitalisme yang terus berupaya menjalin relasi dengan masyarakat adat. Adapun tujuan menjalin relasi tersebut untuk melakukan privatisasi lahan guna melakukan penanaman komoditas seperti kakao.

Selain itu, buku ini juga menyuguhkan terkait perubahan penggunaan lahan, serta mulai hilangnya sistem berbagi lahan yang dilakukan oleh adat. Tak hanya itu, hilangnya hutan primer yang dimanfaatkan penguni perbukitan sebagai cadangan tanah. Sampai pada suatu titik penghuni perbukitan mengalami jalan buntu serta tidak sanggup lagi untuk menghidupi kebutuhan keluarga dengan cara sistem adat.

Janji manis akan memperoleh kemajuan dalam bingkai mondernisasi menimbulkan dampak kesenjangan yang luar biasa. Hal ini jelas terlihat pada petani yang dapat melakukan akumulasi modal akan menjadi sejahtera serta mereka yang tidak memiliki modal akan tersisihkan.

Proses  hilangnya lahan bukan karena dirampas oleh perusahaan ataupun pemerintah, melainkan penduduk perbukitan sendiri yang melakukan cara penanaman jangka panjang. Sistem tersebutlah yang menimbulkan individualisme hak atas tanah dan pada akhirnya membentuk relasi dengan cara kerja prinsip kapitalisme yaitu persaingan serta laba.

Berdasarkan deskripsi sebelumnya dapat kita ketahui bahwa riset Tania Murray Li memiliki tujuan untuk melihat lebih dekat lagi tekait kondisi wilayah perbukitan serta dampak dari implikasi politik.

Setiap bagian buku ini pembaca akan disuguhkan cerita perjalanan Tania Murray Li pada tahun 1990 ke wilayah Lajue dari barat ketimur. Dimana penulis menemukan jejak - jejak sejarah asal muasal orang wilayah perbukitan. Perjalanan singkat orang perbukitan menuju pesisir untuk berburu ikan, melakakukan perdagangan serta membuat garam.

Wilayah Lauje memilki pesisir yang sempit, penghuni perbukitan lebih mudah melangsungkan kehidupan pada wilayah perbukitan, karena bisa melakukan bercocok tanam di ladang. Selain itu juga sangat rawan sekali orang perbukitan datang ke pesisir, karena akan ditangkap poleh penyergap (raiders) untuk dijual sebagai budak.

Tindakan tersebut sudah terjadi pada tahun 1970 hingga 1850 terutama pada wilayah Teluk Tomini. Selain jejak sejarah, penulis juga menuliskan mengenai perbedaan dan hierarki sosial di antara penduduk pemilik lahan dan penduduk yang tidak memiliki lahan. Penduduk  miskin yang tinggal dibawah pohon dengan gubuk kecil hanyalah menumpang. Jika pemilik lahan ingin menanam lebih banyak pohon demi memaksimalkan laba, mereka akan terusir dari lahan tersebut.

Penulis juga menjelaskan bahwa orang paling miskin adalah orang perbukitan. Tempat tinggal mereka tidak terlihat dari pesisir sehingga para petugas perencanaan tidak terlalu tertarik dikarenakan lokasinya jauh. Orang di wilayah pesisir juga banyak yang miskin akan tetapi mereka lebih terlihat dari pada orang perbukitan. Penduduk pesisir yang memiliki kesejahteraan hanyalah  pejabat desa, guru sekolah, dan pedagang sekaligus juga diantara mereka adalah tuan tanah besar yang memiliki pohon kelapa di lahannya.

Penulis juga menunjukkan adanya keterbelakangan dan pembangunan. Penghuni perbukitan mendapatkan stereotip keterbelakangan oleh  orang pesisir.  Hal ini dilakukan orang pesisir Lauje untuk menegaskan jarak wilayah serta kesombongan dalam mengunggulkan diri. Melabeli keterbelakangan untuk penghuni perbuktikan bukan tanpa maksud, dalam buku ini  menjelaskan bahwa para oknum kepala desa mencoba mengukuhkan pendirian pusat untuk mengirimkan proyek dengan honor yang menggiurkan.

Lebih kejamnya lagi para kepala desa di wilayah pesisir menggunakan keterbelakangan penduduk perbukitan agar tidak menerima program pembangunan seperti benih, pupuk gratis, skema kredit dan pemberian lain. Mereka berspekulasi bahwa penghuni perbukitan tidak akan bisa memanfaatkan  bantuan dari pemerintah dengan baik. 

Pada buku kisah dari kebun terakhir ini juga mengajarkan kita sebagai makhluk yang tolong menolong. Dimana tolong menolong dilakukan rumah tangga perbukitan, untuk memenuhi konsumsi pangan setiap hari. Suami istri dapat bertukar hari kerja sedangkan anak dapat membantu orang tuanya bekerja dengan sewajarnya. Dalam keluargalah muncul rasa kenyamanan dan juga keakraban. Akan tetapi bertolak belakang dengan kerja-kerja kelompok antar penduduk. Semenjak adanya penanaman jangka panjang, kerja kelompok secara komunal telah hilang.

Perubahan ini sangatlah pragmatis, saat ini mereka tidak memiliki lagi kebutuhan untuk berkumpul atau koordinasi secara kelompok. Para pemilik lahan lebih memilih untuk menyewa tenaga kerja upahan. Sedangkan pasangan yang memiliki sedikit pohon melakukan pekerjaan sendiri.

Peneliti juga melakukan analisis detail terkait proses pengavelingan lahan. Pengavelingan lahan ini sudah sifat nyata dari kapitalisme. Jiwa kapitalisme muncul pada penduduk perbukitan tatkala petani melakukan penanaman jangka panjang seperti kakao di ladang mereka. Penanaman pohon kakao ini sangat menganggu siklus adat yang sudah lama berlaku. Dimana pohon kakao yang tumbuh dibeberapa musim dan dibiarkan sampai bera. Sehingga tidak ada orang lain yang berani mengganggu lahan tersebut. Akibat proses pengavelingan ini menjadikan penghuni perbukitan mengeluh dengan lahan yang sudah habis.

Menurut Tania Murray Li, mereka menghadapi kehabisan lahan tidak dengan setara. Bahwasanya, sebagian penduduk memiliki lahan yang cukup banyak serta sebagian lagi penduduk tidak memiliki lahan sama sekali. Hal ini menjadikan penghuni perbukitan terbagi menjadi dua kelompok: kelompok akumulasi lahan dan kelompok penduduk yang kehilangan lahan. Buku ini juga mengkritik para aktivitis gerakan sosial yang keberadaannya jarang memperhatikan proses terjadinya privatisasi kebun yang dilakukan oleh petani itu sendiri.

Pada buku ini kita dapat mengetahui kapitalisme muncul tidak hanya dari kalangan pengusaha ataupun pemerintah. Bisa saja muncul dari tengah-tengah proses kehidupan penduduk adat ataupun petani itu sendiri. Hasil riset ini sangat detail dalam mengupas sisi kehidupan penduduk perbukitan dan pesisir. Alhasil, hal ini dapat menjadi contoh bagi peneliti agraria dengan pendekatan etnografi.

Judul : Kisah dari Kebun Terakhir
Penulis :  Tania Murray Li
Penerbit : Marjin Kiri
Penerjemah : Nadya Karimasari dan Ronny Agustinus
Tahun : 2020
Tebal : 326 halaman
ISBN : 9786020788029

MARLIANA FAUZIA

Baca Juga