Empati, sebuah konsep yang pernah menjadi landasan dalam hubungan antarmanusia, kini terasa semakin langka. Ketika teknologi digital mendominasi kehidupan sehari-hari, dunia tampaknya berubah menjadi tempat yang lebih dingin, penuh dengan polarisasi dan apatisme.
Mengapa ini terjadi? Sebagai seseorang yang pernah merasakan eratnya koneksi sosial di masa lalu, saya mulai merasa bahwa empati, yang dahulu mudah ditemukan di sekitar kita, kini hilang ditelan individualisme. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah teknologi benar-benar mengikis kemampuan kita untuk peduli, atau justru kita yang memilih untuk menutup mata?
Pengaruh media sosial dalam membentuk pola pikir dan hubungan sosial menjadi salah satu faktor utama mengapa rasa empati perlahan terkikis. Media sosial yang seharusnya mendekatkan kita, justru menciptakan jarak emosional. Kini, konflik dan penderitaan sering kali hanya dilihat sebagai hiburan sesaat.
Lihat saja bagaimana orang lebih peduli untuk berdebat di kolom komentar ketimbang benar-benar memahami masalah orang lain. Ini bukan lagi tentang membantu, tetapi tentang memenangkan argumen. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita bisa membangun empati ketika empati itu sendiri dijadikan ajang unjuk kekuatan opini?
Sebuah penelitian dari buku "Against Empathy: The Case for Rational Compassion" karya Paul Bloom bahkan menyatakan bahwa empati, secara paradoksal, bisa menjadi senjata berbahaya jika tidak dikendalikan. Empati sering kali bias, terbatas hanya pada mereka yang dekat atau mirip dengan kita. Ini menjelaskan mengapa saat bencana terjadi di negara lain, kita tidak benar-benar tergerak.
Dunia modern telah membuat kita lebih nyaman peduli pada lingkaran kecil yang sepaham, sementara di luar itu kita memilih untuk bersikap dingin. Namun, di sisi lain, apakah rasa empati benar-benar perlu dibatasi hanya pada yang dekat?
Fakta menyedihkan lainnya adalah bahwa kita kini lebih fokus pada diri sendiri. Dunia digital menciptakan ilusi kebersamaan, padahal kita semakin terisolasi. Self-care, yang sering digembar-gemborkan di media sosial, telah bergeser menjadi bentuk narsisme baru. Apakah ini salah? Tidak sepenuhnya. Namun, ketika kita terobsesi dengan pencarian kebahagiaan pribadi, kita sering kali melupakan penderitaan orang lain. Bagaimana kita bisa membangun empati jika fokus utama kita adalah diri sendiri?
Solusi dari krisis ini tidak sederhana. Namun, langkah pertama adalah menyadari bahwa empati itu bukanlah sebuah komoditas yang bisa dijual atau dibeli. Ini adalah keterampilan yang perlu dilatih, sebuah pilihan aktif untuk membuka hati dan pikiran terhadap penderitaan orang lain. Saya percaya, dengan meluangkan waktu untuk benar-benar mendengarkan, kita bisa mengembalikan empati sebagai fondasi utama hubungan sosial. Namun, pertanyaannya, apakah kita bersedia melakukannya?
Pada akhirnya, rasa empati adalah cermin dari kualitas kemanusiaan kita. Jika kita membiarkan teknologi dan individualisme terus menggerus empati, kita bukan hanya kehilangan kemampuan untuk peduli, tetapi juga kehilangan makna dari apa artinya menjadi manusia. Kita harus memilih: membiarkan dunia semakin terpecah atau mengambil langkah untuk kembali saling memahami.
Baca Juga
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
-
Rewind to the Roar! Cewek Futsal MIPA vs IPS di Masa SMA
Artikel Terkait
-
Mahasiswa Sandingkan Wajah Asmawa Tosepu dengan Celana Dalam, Minta Buka Suara Soal Dugaan Asusila
-
Gara-gara Coba Tantangan Ini di TikTok, Bocah di Inggris Alami Serangan Jantung
-
KPAI Beberkan Modus Penculikan Anak Melalui Facebook: Apa yang Harus Waspadai?
-
Biru Oligarki vs Biru Resistensi: Makna di Balik Pilihan Warna dalam Politik
-
Nestapa Guru Mengajar Gen Alpha, Krisis Fokus Jadi Masalah Utama
Kolom
-
Menari Bersama Keberagaman: Seni Pembelajaran Diferensiasi di Kelas Modern
-
Koperasi Merah Putih: Antara Harapan dan Ancaman Pemborosan Dana Rakyat
-
Tugas dan Status: Membedah Jebakan Ganda yang Menguras Mental Pelajar
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
Terkini
-
Sinopsis My Daughter is a Zombie Siap Segera Tayang, Brutal Tapi Kocak!
-
Keren! Rizky Pratama Riyanto Sabet 5 Kali Juara Lomba Video di Karawang
-
Tradisi Perempuan Jepang di Tahun 1930-an di Novel The Makioka Sisters
-
BRI Super League: Novan Setya Sasongko Ungkap Target dengan Madura United
-
Motorola Edge 860 Pro: HP Flagship yang Siap Bikin Brand Lain Ketar-ketir