Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sherly Azizah
ilustrasi ketika teknologi digital sudah mendominasi kehidupan anak [pexels/Polina Zimmerman]

Empati, sebuah konsep yang pernah menjadi landasan dalam hubungan antarmanusia, kini terasa semakin langka. Ketika teknologi digital mendominasi kehidupan sehari-hari, dunia tampaknya berubah menjadi tempat yang lebih dingin, penuh dengan polarisasi dan apatisme.

Mengapa ini terjadi? Sebagai seseorang yang pernah merasakan eratnya koneksi sosial di masa lalu, saya mulai merasa bahwa empati, yang dahulu mudah ditemukan di sekitar kita, kini hilang ditelan individualisme. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah teknologi benar-benar mengikis kemampuan kita untuk peduli, atau justru kita yang memilih untuk menutup mata?

Pengaruh media sosial dalam membentuk pola pikir dan hubungan sosial menjadi salah satu faktor utama mengapa rasa empati perlahan terkikis. Media sosial yang seharusnya mendekatkan kita, justru menciptakan jarak emosional. Kini, konflik dan penderitaan sering kali hanya dilihat sebagai hiburan sesaat.

Lihat saja bagaimana orang lebih peduli untuk berdebat di kolom komentar ketimbang benar-benar memahami masalah orang lain. Ini bukan lagi tentang membantu, tetapi tentang memenangkan argumen. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita bisa membangun empati ketika empati itu sendiri dijadikan ajang unjuk kekuatan opini?

Sebuah penelitian dari buku "Against Empathy: The Case for Rational Compassion" karya Paul Bloom bahkan menyatakan bahwa empati, secara paradoksal, bisa menjadi senjata berbahaya jika tidak dikendalikan. Empati sering kali bias, terbatas hanya pada mereka yang dekat atau mirip dengan kita. Ini menjelaskan mengapa saat bencana terjadi di negara lain, kita tidak benar-benar tergerak.

Dunia modern telah membuat kita lebih nyaman peduli pada lingkaran kecil yang sepaham, sementara di luar itu kita memilih untuk bersikap dingin. Namun, di sisi lain, apakah rasa empati benar-benar perlu dibatasi hanya pada yang dekat?

Fakta menyedihkan lainnya adalah bahwa kita kini lebih fokus pada diri sendiri. Dunia digital menciptakan ilusi kebersamaan, padahal kita semakin terisolasi. Self-care, yang sering digembar-gemborkan di media sosial, telah bergeser menjadi bentuk narsisme baru. Apakah ini salah? Tidak sepenuhnya. Namun, ketika kita terobsesi dengan pencarian kebahagiaan pribadi, kita sering kali melupakan penderitaan orang lain. Bagaimana kita bisa membangun empati jika fokus utama kita adalah diri sendiri?

Solusi dari krisis ini tidak sederhana. Namun, langkah pertama adalah menyadari bahwa empati itu bukanlah sebuah komoditas yang bisa dijual atau dibeli. Ini adalah keterampilan yang perlu dilatih, sebuah pilihan aktif untuk membuka hati dan pikiran terhadap penderitaan orang lain. Saya percaya, dengan meluangkan waktu untuk benar-benar mendengarkan, kita bisa mengembalikan empati sebagai fondasi utama hubungan sosial. Namun, pertanyaannya, apakah kita bersedia melakukannya?

Pada akhirnya, rasa empati adalah cermin dari kualitas kemanusiaan kita. Jika kita membiarkan teknologi dan individualisme terus menggerus empati, kita bukan hanya kehilangan kemampuan untuk peduli, tetapi juga kehilangan makna dari apa artinya menjadi manusia. Kita harus memilih: membiarkan dunia semakin terpecah atau mengambil langkah untuk kembali saling memahami.

Sherly Azizah