Pernah nggak sih, kamu lagi berdiri manis di trotoar, menunggu lampu hijau buat pejalan kaki, tapi tiba-tiba ada motor yang santai aja berhenti tepat di zebra cross? Atau malah ada yang lebih ekstrem, mereka ngebut menerobos lampu merah seolah-olah sedang balapan dengan waktu.
Fenomena ini bukan cuma soal aturan lalu lintas, tapi juga cerminan etika berkendara di Indonesia yang, ya, sering kali bisa dibilang "asal-asalan."
Lampu merah itu, sejatinya, bukan sekadar lampu hiasan di pinggir jalan. Fungsinya jelas, untuk mengatur lalu lintas dan memastikan semua orang, baik pejalan kaki maupun pengendara, bisa lewat dengan aman.
Tapi faktanya, banyak pengendara yang sepertinya nggak sabaran. Begitu lampu kuning menyala, alih-alih bersiap untuk berhenti, malah semakin gas pol.
Kenapa bisa begitu? Mungkin sebagian besar pengendara menganggap waktu mereka terlalu berharga untuk "membuang" beberapa detik di lampu merah.
Nggak sedikit pengendara yang berhenti di zebra cross, padahal area itu jelas-jelas diperuntukkan bagi pejalan kaki. Apa sih susahnya berhenti beberapa meter sebelum garis? Tapi kenyataannya, banyak yang cuek.
Akibatnya, pejalan kaki yang mestinya merasa aman saat menyeberang, malah jadi bingung, bahkan kadang harus berjalan di antara kendaraan yang berhenti sembarangan. Ini bukan cuma soal kenyamanan, tapi juga soal keselamatan.
Faktor lain yang sering luput dari perhatian adalah minimnya penegakan aturan. Meskipun sudah ada CCTV dan polisi yang bertugas di persimpangan, tetap saja pelanggaran terjadi.
Mungkin karena sanksinya dianggap nggak tegas atau karena masyarakat kita memang cenderung "asal nggak ketahuan, aman." Nah, di sinilah pentingnya kesadaran. Bukan cuma dari pengendara, tapi juga dari pihak berwenang yang seharusnya lebih proaktif dalam menegakkan aturan.
Lalu, gimana solusinya? Edukasi tentang etika berkendara mestinya dimulai dari hal-hal kecil. Pengendara perlu paham bahwa berhenti di lampu merah bukan cuma soal mematuhi aturan, tapi juga soal menghormati hak pengguna jalan lain.
Selain itu, penegakan hukum yang lebih ketat dan tegas harus diterapkan, agar pelanggar bisa jera dan nggak sekadar menganggap lampu merah sebagai formalitas belaka.
Perubahan nggak bisa datang dalam semalam. Butuh kesadaran kolektif dari kita semua, sebagai pengguna jalan, untuk lebih peduli dan menghargai sesama. Mulai dari hal kecil, seperti berhenti di tempat yang seharusnya saat lampu merah. Karena di jalan raya, kita bukan satu-satunya yang butuh waktu.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
Artikel Terkait
-
Susahnya Pejalan Kaki: Trotoar Tipis, Malah Diisi PKL dan Stan Jualan
-
Lampu Jauh Nonstop, Normalisasi Mode Gila Pengendara di Jalan Raya
-
Pemikiran Pendek Pengendara Bermotor: Nggak Perlu Helm, Kan Cuma Sini-Situ
-
Nekat! Detik-detik Pengendara Motor Lempar Palu ke Mobil Terekam Kamera
-
Trotoar Depan Gedung KPUD Jakarta Tertutup Beton, Warga Protes: Nyusahin Orang Mau Jalan Kaki!
Kolom
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
-
Demokrasi Digital, Kuasa Influencer dan Krisis Kepakaran
-
Protes Gen Z di Nepal: Refleksi Kritis tentang Empati dan Keadilan Sosial
-
Reshuffle Kabinet Merah Putih dan Janji Perubahan yang Masih Samar
-
Film Sore: Istri dari Masa Depan Melenggang dan Mengguncang Panggung Oscar
Terkini
-
Raffi Ahmad Masuk Bursa Menpora: Dukungan, Kritik, dan Spekulasi Politik
-
Memahami Protes Gen Z di Nepal, Larangan Media Sosial dan "Nepo Baby': Apa Sih Itu?
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
Tak Cuma Sri Mulyani, Yudo Sadewa Sentil 'Ternak Mulyono' di Tengah Kontroversi
-
4 Sheet Mask Kandungan Pearl yang Ampuh Berikan Efek Cerah dan Lembap