Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilusrasi menulis surat untuk presiden terkait refleksi 10 tahun Jokowi dan harapan untuk kepemimpinan Prabowo [pexels/Tima Miroshnichenko]

Sudah satu dekade Jokowi memimpin Indonesia, dengan berbagai program besar-besaran yang mengguncang dunia pendidikan. Mulai dari Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang memberikan akses bagi jutaan siswa miskin untuk tetap bersekolah, hingga pembangunan infrastruktur pendidikan di pelosok negeri.

Namun, keberhasilan ini tidak lepas dari beberapa kritik. Banyak yang merasa bahwa kualitas pendidikan masih jalan di tempat, meski anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN. Banyak pihak berpendapat bahwa alokasi anggaran yang besar tidak diiringi dengan peningkatan kualitas tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan. Bahkan, Menteri Pendidikan saat ini, Nadiem Makarim, beberapa kali dihujani kritik terkait program Merdeka Belajar yang dinilai belum menyentuh akar permasalahan.

Kalau kita bicara soal kualitas pendidikan, isu utama yang muncul adalah kesenjangan kualitas antara kota besar dan daerah pelosok. Siswa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya lebih punya akses ke pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa di pedesaan. Hal ini membuat lulusan dari daerah terpencil seringkali kalah bersaing dengan mereka yang berasal dari kota-kota besar dalam hal masuk perguruan tinggi maupun mencari pekerjaan. Sementara itu, program Merdeka Belajar yang digagas Nadiem tampaknya masih dalam tahap coba-coba, dan belum cukup menyentuh isu kesenjangan ini. Kebijakan ini bagus untuk melatih keterampilan, tetapi belum tentu mampu menjadi solusi untuk menciptakan kesetaraan pendidikan.

Selama masa kepemimpinan Jokowi, KIP memang menjadi angin segar untuk para siswa kurang mampu. Namun, pelaksanaannya seringkali mengalami kendala birokrasi yang berbelit, distribusi yang tidak merata, dan kurang transparansi. Beberapa siswa bahkan mengeluhkan bahwa bantuan tidak selalu sampai tepat waktu, atau besaran dana yang diterima tidak sesuai kebutuhan pendidikan mereka. Selain itu, kasus kecurangan seperti penggunaan KIP oleh mereka yang sebenarnya mampu masih marak terjadi. Harus ada pengawasan lebih ketat dan evaluasi yang jelas untuk memastikan bantuan pendidikan sampai ke mereka yang benar-benar membutuhkan.

Dengan melihat kelemahan tersebut, pertanyaan besarnya adalah: apa yang harus dilakukan Prabowo sebagai presiden berikutnya? Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memperkuat pengawasan dan evaluasi program-program pendidikan yang ada. Tidak cukup hanya dengan membuat program baru; yang diperlukan adalah keberlanjutan dan penyempurnaan dari kebijakan yang sudah berjalan. Dalam hal ini, Prabowo harus bekerja sama dengan orang-orang seperti Nadiem atau mungkin menunjuk Menteri Pendidikan baru yang lebih paham mengenai urgensi perbaikan sistem pendidikan, bukan hanya perombakan kurikulum.

Di samping itu, isu anggaran pendidikan yang sangat besar ini perlu diawasi lebih ketat. Apakah benar anggaran tersebut telah digunakan secara efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan? Banyak yang merasa bahwa dana ini masih banyak yang terbuang sia-sia, karena pengadaan barang dan jasa yang tidak efisien atau bahkan adanya praktik korupsi. Oleh karena itu, Prabowo harus berani bertindak tegas terhadap oknum yang merugikan anggaran pendidikan. Jangan sampai harapan besar masyarakat untuk pendidikan yang lebih baik justru dikotori oleh ulah segelintir pihak yang memanfaatkan kesempatan.

Selain soal kebijakan, ada juga harapan agar Prabowo bisa membawa perspektif baru tentang guru. Saat ini, status dan kesejahteraan guru sering kali tidak sebanding dengan peran besar mereka dalam mencerdaskan bangsa. Prabowo bisa mengeksplorasi kebijakan yang memungkinkan insentif lebih besar bagi guru-guru yang bertugas di daerah terpencil. Dengan begitu, guru-guru berkualitas akan termotivasi untuk mengajar di daerah yang selama ini kekurangan tenaga pengajar, dan akhirnya membantu mengurangi kesenjangan pendidikan.

Jika benar Prabowo ingin membawa perubahan besar di bidang pendidikan, mungkin sudah waktunya beliau mempertimbangkan kebijakan pendidikan yang lebih berorientasi pada kebutuhan dunia kerja. Banyak lulusan perguruan tinggi yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan karena keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan tuntutan industri. Salah satu solusinya adalah memperbanyak program magang atau pendidikan vokasi, di mana siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga langsung praktek di lapangan.

Pendidikan di Indonesia harus menjadi prioritas bagi siapa pun yang memimpin. Sepuluh tahun Jokowi telah memberikan dasar yang kuat, tetapi masih ada banyak hal yang harus diperbaiki. Prabowo, dengan latar belakang yang tegas dan pengalaman kepemimpinannya, diharapkan bisa membawa angin segar untuk sistem pendidikan kita. Jika ia bisa menjalankan reformasi pendidikan dengan cermat, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menciptakan generasi emas yang siap bersaing di kancah internasional.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sherly Azizah