Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ellyca Susetyo
Ilustrasi Konser (Instagram/taylorswift)

Dear Prabowo, tolong lindungi konsumen yang nonton konser. Nonton konser adalah salah satu kegiatan hiburan yang semakin banyak dilalukan dari hari ke hari.

Terlebih setelah pandemi, peminat hiburan ini semakin meningkat. Sehingga tak heran bila banyak artis internasional yang memilih Indonesia sebagai negara stop mereka. Bahkan, sangking tingginya permintaan dan besarnya pasar di Indonesia, banyak artis yang sampai menambah hari pertunjukan mereka.

Hal ini tentu tidak hanya menjadi hiburan bagi warga lokal, tapi berpengaruh pada berbagai sektor. Seperti ekonomi, pariwisata, dan masih banyak lain. Karena tak jarang para penonton konser juga berasal dari negara lain sebab artis favorit mereka hanya memilih Indonesia sebagai negara stop turnya sehingga tentu ini menguntungkan bagi negara.

Namun meski ini berpeluang besar bagi pendapatan negara, tapi pemerintah masih kurang mengawasi keamanan dan kenyamanan konsumen yang menonton konser. Seperti misalnya dalam masalah harga tiket konser yang melambung. Hal ini bahkan seolah dinormalisasi. Karena pihak promotor menilai konsumen pasti akan melakukan apa saja demi idolanya.

Meski gelombang protes telah sering dilakukan di media sosial, tapi keadaan ini juga tidak berubah. Bahkan, harga tiket konser bisa setara dengan UMR Jakarta atau bahkan lebih.

Hal ini bisa dibandingkan antara tiket konser Bruno Mars di Korea dan Jakarta. Dilansir melalui X @Jjakgoongie, di Korea, tiket konser Bruno Mars termahal hanya dibandrol 250 ribu won (Rp.2.860.027) dengan kapasitas Olympic Stadium Seoul sebanyak 69.950 penonton. Sementara di Jakarta, tiket Bruno Mars termahalnya mencapai Rp.7.650.000 dengan kapasitas Jakarta International Stadium mencapai 82.000 penonton.

Contoh lain adalah saat konser Dua Lipa. Dilansir dari X @bondopolisi, di Jakarta, tiket ini dibanderol hingga Rp.6.500.000. Sementara di Korea tiket termahalnya hanya Rp.2.401.123 (210 ribu won).

Padahal UMR Seoul mencapai sekitar 2 juta won (Rp.22.871.693), sementara UMR Jakarta hanya Rp.5.000.000. Perbedaan signifikan ini seharusnya membuat pemerintah berbenah untuk lebih melindungi konsumen dari pihak promotor curang.

Tidak hanya masalah harga tiket, penipuan, calo, fasilitas, hingga kenyamanan juga menjadi kritik yang tak ada habisnya di media sosial.

Hal tidak nyaman ini tentu membuat penonton dari negara lain berpikir ulang untuk datang ke Indonesia. Karena penonton lokal sendiri saja lebih memilih untuk pergi ke Singapura atau Thailand yang menawarkan pengalaman yang lebih nyaman dengan harga yang sama mahalnya.

Sementara itu, dilansir dari kemenparekraf.go.id, sebelumnya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) telah mendukung konser Niall Horan di Jakarta.

Karena pihaknya menilai acara ini berdampak positif bagi parekraf Indonesia yang tidak hanya menyedot penonton dari berbagai daerah di Indonesia, tapi juga menarik penonton dari mancanegara. Di tahun 2015 saja, One Direction berhasil menarik 43 ribu penonton di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta.

Meski begitu, belum ada langkah nyata dari dukungan ini. Pihak Kemenparekraf/Baparekraf hanha mengupayakan agar artis top dunia tersebut datang ke Indonesia tanpa didukung dengan fasilitas, keamanan, dan kenyamanan bagi penontonnya.

Contohnya bisa dilihat dari konser Coldplay yang selain harga tiketnya yang terlalu mahal, situasinya juga tidak kondusif, sangat tidak nyaman, dan penipuan terlihat dimana-mana saat itu.

Sehingga masalah ini tidak bisa disepelekan dan masih menjadi PR besar bagi era Prabowo mendatang. Karena seperti yang diketahui, para fans biasanya sangat loyal sehingga mereka tentu rela melakukan hal yang lebih bila difasilitasi dengan baik. Konser bukan hanya hiburan semata. Bila pemerintah bisa memperhatikan masalah ini dengan baik, tak menutup kemungkinan parekraf Indonesia akan meningkat secara signifikan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Ellyca Susetyo