Negara kita seperti kapal besar yang sering tersesat di laut birokrasi, regulasi yang tumpang tindih, dan elite yang terlalu sibuk memutar kompas ke segala arah kecuali satu, yaitu ke rakyat.
Di tengah gempuran politik yang gaduh, kebijakan yang berubah seperti sinetron stripping, serta urbanisasi yang melesat tanpa kendali, ada satu entitas yang tetap tenang, membumi, dan teguh, yang dikenal dengan nama desa.
Ya, desa. Ia bukan hanya lokasi yang diingat hanya saat musim mudik atau saat pejabat butuh panggung pembangunan. Desa adalah benteng terakhir ketika negara seperti kehilangan kendali setir.
Di tengah hiruk pikuk kota yang kehilangan makna hidup, desa menyimpan sesuatu yang langka, yaitu keotentikan, solidaritas, dan keberanian bertahan tanpa janji manis anggaran negara.
Sementara negara sibuk dengan rapat-rapat yang tak menghasilkan apa-apa selain power point dan jargon, desa sibuk hidup. Dan dari sana, kita bisa belajar banyak. Karena ketika sistem megap-megap kehabisan napas, desa sudah terbiasa berlari dengan kaki sendiri.
Desa dan Keotentikan yang Tak Terbeli
Desa tak butuh branding. Ia otentik sejak awal. Tak ada yang bisa mengalahkan keaslian hidup yang lahir dari kebersamaan dan keterhubungan dengan tanah, alam, dan sejarah.
Di saat kota menjual “experience” di kafe dengan kopi susu seharga satu hari kerja buruh tani, desa menyeduh kebersamaan di pos ronda dengan teh tubruk dan obrolan jujur yang tak pernah basi.
Menurut Kemper-Koebrugge (2023), pemberdayaan komunitas sejatinya adalah ketika masyarakat mengambil alih kendali hidupnya, bukan ketika pemerintah datang membawa proyek dengan spanduk besar dan foto bupati tersenyum.
Di desa, inisiatif bukan barang asing. Mereka sudah melakukannya bahkan sebelum kata “pemberdayaan” jadi populer dalam proposal LSM.
Kehidupan desa—dengan gotong royongnya, tradisi panennya, dan musyawarahnya—adalah bentuk demokrasi paling murni yang sering dilupakan negara. Sementara elit politik sibuk memperdebatkan definisi “kedaulatan rakyat”, desa telah mempraktikkannya dalam bentuk yang paling nyata.
Celakanya, negara sering datang ke desa bukan untuk belajar, tapi untuk mengajar. Menganggap desa itu bodoh, ketinggalan, dan perlu “dibina”. Padahal, siapa yang lebih perlu dibina, desa yang hidup dari tanahnya sendiri, atau negara yang hidup dari utang luar negeri?
Solidaritas Sosial: Jaringan yang Tak Pernah Padam
Saat Jakarta kebanjiran karena debat omnibus law dan inflasi, desa saling pinjam cangkul dan panci. Solidaritas bukan proyek, tapi praktik harian.
Seperti disampaikan oleh Stoustrup (2024), desa memanfaatkan modal sosial, budaya, politik, manusia, hingga finansial dalam jaringan yang saling menopang—bukan hanya bertahan, tapi juga bangkit saat krisis datang.
Ingat saat pandemi COVID-19? Ketika kota-kota besar sibuk menimbun masker dan panic buying hand sanitizer, desa-desa membuat posko mandiri, menanam kembali lahan tidur, dan saling antar bahan makanan ke rumah tetangga. Tanpa koordinasi nasional, tanpa APBN. Hanya karena satu hal, yaitu rasa.
Rasa bahwa hidup itu harus dijalani bersama. Rasa bahwa kesulitan bukan untuk dikomersialkan, tapi untuk diatasi bersama. Rasa yang tak bisa diunduh dari Play Store.
Bandingkan dengan kota, di mana tetangga sebelah bisa meninggal dunia dan baru diketahui seminggu kemudian karena baunya. Ironis, bukan? Ketika teknologi memperpendek jarak, tapi memperlebar sekat sosial. Desa justru mempertahankan keintiman yang hilang dari kehidupan modern, yaitu saling kenal, saling peduli, saling percaya.
Dan inilah ironi besar kita. Negara justru membiarkan desa ditinggalkan oleh generasi mudanya, alih-alih memperkuat ekosistem kehidupan yang sudah terbukti tangguh itu. Alih-alih memuliakan desa, kita malah menjualnya sebagai paket wisata.
Inovasi Sosial: Solusi dari Tanah yang Tak Pernah Mati
Siapa bilang desa anti-inovasi? Mungkin mereka yang mengira inovasi hanya lahir di ruang startup ber-AC dengan jargon “scalable” dan “pivot”. Faktanya, inovasi sosial terbaik justru tumbuh di desa—karena di sana, inovasi bukan pilihan gaya hidup, tapi kebutuhan untuk bertahan.
Johnson & Vlachokyriakos (2024) menyebut inovasi sosial sebagai pengembangan nilai bersama dan inisiatif lokal yang mampu menjawab tantangan secara kontekstual. Dan siapa yang lebih paham konteks dari pada masyarakat desa itu sendiri?
Lihat saja desa-desa yang mulai membentuk koperasi digital, pasar tani online, hingga memanfaatkan media sosial untuk promosi produk lokal. Ini bukan semata tren, ini adalah adaptasi dari kejelian melihat peluang di tengah keterbatasan.
Di banyak desa di Jawa dan Bali, kita bisa lihat bagaimana upacara adat dijadikan ajang promosi ekowisata; sawah dikemas sebagai agrowisata edukatif; bahkan kerajinan tangan masuk ke pasar internasional melalui TikTok dan Instagram. Sementara di kota, influencer sibuk review skincare, di desa mereka review panen raya.
Dan semua itu terjadi bukan karena intervensi pemerintah pusat, tapi karena inisiatif warga sendiri. Di sinilah letak keunggulan desa, yaitu mampu menciptakan inovasi dari realitas, bukan dari retorika. Desa tidak butuh startup unicorn. Mereka cukup jadi kuda beban yang kuat dan konsisten, bukan kuda troya yang manis di awal dan menghancurkan di akhir.
Negara Gagal Membaca Desa: Saat Peta Pembangunan Salah Skala
Masalahnya, negara sering gagal memahami desa. Pembangunan desa yang dirancang dari Jakarta seperti membuat sepatu tanpa mengukur kaki. Akibatnya, program pembangunan sering kebesaran atau kekecilan. Tak nyambung, tak pas, bahkan kadang malah menyakiti.
Lihat saja proyek jalan beton yang memotong lahan produktif tanpa konsultasi. Atau program bantuan pupuk bersubsidi yang datang terlambat setelah musim tanam lewat. Atau yang paling konyol; pelatihan wirausaha digital di desa yang sinyalnya masih harus dipanjat ke pohon jambu.
Negara seperti lupa bahwa desa bukan obyek. Mereka subjek. Mereka tahu apa yang mereka butuhkan, tapi sering dipaksa menerima apa yang tidak mereka minta. Seolah-olah desa harus selalu bersyukur karena telah “dibantu”, padahal bantuan itu kerap lebih banyak fotonya daripada dampaknya.
Sungguh, kalau desa itu manusia, mungkin ia sudah jadi pasien tetap psikiater karena terlalu sering dibohongi dan dicintai hanya saat kampanye. Tapi karena desa adalah komunitas tangguh, ia tetap bertahan. Tetap menanam, tetap panen, tetap hidup. Bahkan saat negara ragu, desa tetap yakin.
Kalau negara adalah pesawat, maka desa adalah parasutnya. Ia mungkin tak diajak terbang, tapi saat semua sistem gagal, dialah yang menyelamatkan. Sayangnya, saat pesawat sudah mendarat, parasut malah dilipat dan disimpan. Tak dianggap penting lagi. Sampai krisis berikutnya datang.
Mari Belajar dari yang Tak Pernah Berhenti Hidup
Desa bukan hanya masa lalu. Ia adalah masa depan yang tak kita sadari. Di saat urbanisasi mulai menunjukkan gejala jenuh, dan kota-kota megapolitan mulai kehilangan arah, kita harus sadar bahwa jawabannya mungkin bukan di gedung tinggi atau smart city, tapi di ladang, balai desa, dan lumbung padi.
Kita terlalu lama memandang desa sebagai halaman belakang pembangunan, padahal ia bisa jadi panggung utama. Kita terlalu lama menganggap desa sebagai beban, padahal ia adalah penyangga utama kehidupan bangsa.
Inilah waktunya bagi negara untuk tidak hanya datang ke desa dengan proposal proyek, tapi dengan niat mendengar. Bukan hanya merancang dari atas, tapi mendaki ke bawah. Karena di sanalah suara-suara paling jernih berada. Di sanalah solusi sebenarnya menunggu untuk ditemukan.
Kalau negara memang sedang bingung arah, barangkali kompasnya rusak. Tapi selama masih ada desa, kita tahu bahwa arah pulang selalu ada.
Baca Juga
-
Jangan Sampai Punah: Harimau Sumatra dan Urgensi Hidup Berdampingan
-
Menyelamatkan Harimau: Ketika Konservasi Satwa Liar Menjadi Solusi Iklim
-
Naik Jabatan, Retak Hubungan: Mengapa Banyak ASN dan PPPK Minta Cerai?
-
Chikungunya Mengintai: WHO Desak Tindakan Darurat Global
-
Parkir Nuthuk di Jogja: Hama Wisata yang Tak Kunjung Disemprot
Artikel Terkait
-
Dapet Pinjaman Bank Rp 3 Miliar, Zulhas: Kopdes Bisa Bayar Semua!
-
Pemerintah Kejar Target, Zulhas Sebut 10.000 Kopdes Merah Putih Bisa Beroperasi
-
Langkah Prancis Akui Kedaulatan Negara Palestina
-
Inggris Akan Akui Negara Palestina
-
Sabrang Letto: Indonesia Jadi Negara Skizofrenik, Elite Asyik Main Drama dan Rakyat Cuma Jadi Korban
Kolom
-
Tom Lembong dan Perdebatan Batas Antara Kebijakan dan Konsekuensi Pidana
-
Otak Menyukai Plot Twist? Penjelasan Psikologis di Balik Cerita Tak Terduga
-
Setelah Jadi Ibu, Mimpi Harus Diarsipkan: Saat Perempuan Tetap Butuh Mimpi
-
Ketika Lembur Dianggap Loyal, Krisis Diam-Diam Dunia Kerja
-
Dompet Kempes di Pesta Global: Mengurai Benang Kusut Inflasi di Tanah Air
Terkini
-
BRI Super League: Persita Tangerang Menang Uji Coba, Ini Kata Carlos Pena
-
4 Ide Outfit Hangout ala Gracia JKT48, Tampil Kasual nan Trendi!
-
BRI Super League: Rekrut Gala Pagamo, PSM Makassar Jaga Tradisi Ortbitkan Pemain Muda
-
Timnas Indonesia U-23 Dikritik Legenda Sepak Bola, Mentalitas Jadi Sorotan?
-
4 Cleanser Murah Panthenol, Aman untuk Kulit Sensitif dan Jaga Skin Barrier