Tahun-tahun terakhir dari masa jabatan Presiden Joko Widodo alias Jokowi menandai akhir perjalanan 10 tahun kepemimpinannya. Dua periode pemerintahan sudah ia jalani. Ini sebagaimana batas maksimal yang diperbolehkan konstitusi. Kendati ada wacana tentang tiga periode yang sempat mencuat, buntutnya urung diwujudkan. Konstitusi tetap menjadi penentu yang emoh diganggu gugat.
Ada yang menarik di babak pamungkas 10 dekade jabatan Jokowi. Beberapa kali, Jokowi menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Indonesia, baik dalam pidato kenegaraan di depan MPR pada Agustus, dalam acara zikir dan doa kebangsaan di Istana Merdeka, hingga saat kunjungannya ke NTT.
Di momen-momen tersebut, Jokowi selalu menyelipkan permohonan maaf. Seolah-olah, ia ingin meninggalkan pesan bahwa ia menyadari betul keterbatasan yang dimilikinya sebagai manusia dan pemimpin. Jokowi mengetahui bahwa tidak semua harapan rakyat di pundaknya dapat dipenuhi. Tidak semua janji bisa ditepati.
Permintaan maaf ini, dalam banyak hal, mencerminkan prinsip dasar yang sering kita dengar: Tak ada gading yang tak retak. Jokowi seolah ingin mengakui, kendati banyak pencapaian yang membanggakan, ia tetaplah manusia biasa. Dirinya tak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Sebuah pengakuan yang, jika dilihat dari sisi kemanusiaan, adalah ungkapan tulus dan penuh kesadaran diri.
Namun, tidak semua orang menyambut permintaan maaf ini dengan tangan terbuka. Bagi sebagian masyarakat, permintaan maaf ini terdengar biasa saja, bahkan hambar. Mereka melihatnya sebagai formalitas belaka, sebagai bagian dari rutinitas yang selalu dilakukan seorang pemimpin yang akan meninggalkan jabatannya. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang menggugah.
Mungkin, mereka merasa permintaan maaf ini kurang spesifik, tidak jelas apa yang sebenarnya diminta maafkan oleh Jokowi. Apakah tentang janji kampanye yang belum terealisasi? Tentang program revolusi mental yang masih jauh dari harapan? Atau tentang isu-isu besar seperti korupsi dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan?
Kritik-kritik ini, tentu saja, sangat logis. Dalam sebuah negara demokrasi, wajar jika masyarakat mengharapkan pemimpin mereka memberikan penjelasan yang jelas dan terang mengenai apa yang telah dicapai dan apa yang belum.
Wajar pula jika ada kekecewaan terhadap hal-hal yang tidak sesuai harapan. Namun, meskipun demikian, ada baiknya kita juga mencoba melihat permintaan maaf Jokowi dari sudut pandang yang lebih positif.
Pertama-tama, kita tidak bisa mengabaikan capaian-capaian positif selama masa kepemimpinannya. Pembangunan infrastruktur yang masif—jalan tol, bandara, pelabuhan, dan proyek-proyek besar lainnya—adalah bukti nyata dari kerja keras pemerintahan Jokowi. Penanganan pandemi COVID-19 yang relatif baik juga merupakan pencapaian yang patut diakui.
Selain itu, berbagai program sosial yang membantu masyarakat miskin juga telah memberikan dampak yang signifikan. Dengan demikian, permintaan maaf Jokowi bisa dilihat sebagai bentuk penghormatan, sebuah pengakuan bahwa meski ada capaian, ia tetap sadar bahwa ada hal-hal yang belum sempurna.
Kedua, jika kita melangkah lebih jauh dan melihatnya dari sisi kemanusiaan, permintaan maaf ini mengingatkan kita pada pentingnya memaafkan. Filsuf Hannah Arendt pernah berbicara tentang pengampunan sebagai salah satu kemampuan paling manusiawi: sebuah tindakan yang memungkinkan kita untuk melepaskan diri dari masa lalu dan memulai sesuatu yang baru.
Dalam memaafkan, kita bukan hanya membebaskan orang lain dari kesalahan mereka, tetapi juga membebaskan diri kita sendiri dari beban masa lalu. Pengampunan memungkinkan kita untuk memperbaiki hubungan dan melangkah maju dengan lebih ringan.
Jadi, permintaan maaf Jokowi bisa kita maknai sebagai pengingat bahwa dalam hubungan masyarakat dan pemimpin, selalu ada ruang untuk memaafkan dan melangkah maju. Kita bisa melihat perjalanan sepuluh tahun ini sebagai sebuah proses yang, meski penuh dengan tantangan dan kekurangan, juga dipenuhi dengan niat baik untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Dan pada akhirnya, kita berharap pemerintahan selanjutnya—siapapun yang memimpin—bisa melanjutkan hal-hal baik yang sudah dimulai, memperbaiki yang kurang, dan membawa solusi baru untuk tantangan-tantangan yang akan datang.
Sebagai rakyat, kita juga memiliki peran dalam proses ini. Kita diingatkan untuk tidak hanya menjadi penonton yang pasif, tetapi juga aktif dalam mendukung perubahan yang lebih baik di masa depan. Kita bisa memulai dengan memaafkan, mengakui capaian yang ada, dan tetap kritis terhadap apa yang masih perlu diperbaiki. Pada akhirnya, kita semua ingin melihat Indonesia yang lebih maju, lebih adil, dan lebih sejahtera.
Permintaan maaf yang disampaikan Jokowi bukan hanya sekadar ungkapan formal. Di baliknya, ada kesadaran akan keterbatasan seorang pemimpin, sekaligus harapan bahwa bangsa ini akan terus bergerak maju, dengan atau tanpa dirinya di pucuk kekuasaan.
Dan di situlah letak kebesaran seorang pemimpin: keberanian untuk mengakui kekurangan, dan keyakinan bahwa bangsa ini bisa melangkah lebih jauh lagi. Semoga kita semua bisa memetik pelajaran dari perjalanan ini, dan bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Momen Bahlil Ngeprank Awak Media Saat Pengumuman Kepengurusan Golkar, Alih-alih Sebut Nama Jokowi Ternyata
-
Foto: Bahlil Umumkan Pengurus Baru Golkar, Tak Ada Nama Gibran dan Jokowi
-
Diisukan Gabung Golkar, Projo Sebut Jokowi Cocoknya Jadi Ketum Parpol: Sudah Jabat Presiden Dua Kali
-
Projo Bantah Isu Jokowi Gabung Golkar: Nggak Benar!
-
Ucapkan Selamat ke Presiden Trump, Fasihnya Bahasa Inggris Jokowi Bikin Kaget, Publik: Pakai AI?
Kolom
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
-
Menghargai Pekerjaannya, Menghargai Kebutuhannya: Realitas Gaji Guru
-
Indonesia dan Lunturnya Budaya Malu, dari "Jam Karet" hingga Korupsi
-
Simak! Ini Pentingnya Penguasaan Calistung dalam Pendidikan Dini
Terkini
-
Masuk Grup Neraka Piala Asia U-20 2025, Indonesia Perlu Tambah Pemain Naturalisasi?
-
Sinopsis Citadel: Honey Bunny, Series Terbaru Varun Dhawan di Prime Video
-
4 Rekomendasi Film yang Dibintangi Dakota Fanning, Terbaru Ada The Watchers
-
Sukses! Mahasiswa Amikom Yogyakarta Adakan Sosialisasi Pelatihan Desain Grafis
-
EXO 'Monster': Pemberontakan dari Psikis Babak Belur yang Diselamatkan Cinta