Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Diat Anugrah
Ilustrasi buzzer politik di media sosial (pexel.com/picjumbo.com)

Bapak Prabowo Subianto selaku Presiden ke-8 Republik Indonesia, Bapak pasti pernah mendengar sebuah cerita pendek berjudul "Pakain Baru Raja" karya Hans Christian Andersen. Cerpen tersebut bercerita tentang seorang raja yang telanjang, namun semua orang mengatakan bahwa sang raja mengenakan pakaian yang sangat bagus. Hingga ada seorang anak yang mengatakan bahwa sang raja telanjang bulat.

Saya rasa orang-orang yang mengatakan raja mengenakan pakaian yang bagus itu adalah gambaran yang tepat untuk keresahan yang saya dan banyak orang alami, yaitu buzzer politik. Mereka-mereka yang membuat gambaran palsu hingga gambaran tersebut tersebut lebih dipercaya sebagai kebenaran dibanding fakta itu sendiri.

Akibatnya bisa begitu parah sehingga saya berpendapat bahwa penggunaan buzzer politik untuk 'mengelabui' rakyat adalah dosa yang tidak bisa diampuni. Selain itu, buzzer politik bisa juga disebut sebagai "Musuh Pendidikan". Kenapa? Berikut ini beberapa alasannya:

1. Mengaburkan keadaan sesungguhnya

Bapak Presiden pasti paham, ketika menjadi oposisi sering dilawan oleh para buzzer meskipun menyampaikan fakta yang menurut Bapak benar. Tidak hanya Bapak, ribuan bahkan mungkin jutaan rakyat lain juga punya keresahan yang mereka rasakan. Namun apa? Keresahan tersebut tidak pernah didengar karena kurang berisik dibanding para buzzer.

Buzzer dengan opininya membuat fakta yang sebenarnya menjadi kabur atau tidak jelas. Hal ini karena pendapat mereka tidak organik, sesuai kenyataan, namun sengaja dipesan untuk membuat 'kenyataan'.

2. Memberi ilusi kebaikan

Tanggal 20 Oktober, sesaat setelah dilantik menjadi Presiden, Bapak mengatakan supaya kita jangan puas dengan statistik yang menunjukkan pertumbuhan dan harus membuka mata melihat kenyataan masih banyak rakyat yang belum sejahtera. Kurang lebih begitulah kerja buzzer, Pak.

Buzzer memberikan gambaran-gambaran baik yang menjadi candu sehingga rakyat merasa puas dan lalai terhadap keburukan yang sebenarnya terjadi. Akibatnya, daya kritis rakyat menjadi tumpul.

Padahal, salah satu tujuan pendidikan adalah supaya anak didik menjadi manusia yang kritis. Yang mana, berpikir kritis membuat kita bisa menyadari kekurangan sebagai langkah awal untuk berkembang menjadi lebih baik. Bagaimana kita ingin berkembang kalau kita tidak menyadari kekurangan?

3. Orang tidak 'berdiri' untuk yang benar, tapi yang 'banyak'

Dalam cerita mengenai raja yang telanjang di atas, orang-orang sebenarnya melihat bahwa raja tidak mengenakan apapun, namun karena banyak orang mengatakan raja menggunakan pakaian terbaik karya dua seniman terhebat dan dibuat menggunakan benang emas, maka semua orangpun akhirnya mengatakan hal yang sama dan meyakini hal tersebut sebagai kebenaran sampai sang anak berkata jujur.

Hal inilah yang dilakukan para buzzer dengan mengaburkan fakta dan membuat ilusi kebaikan. Akibatnya, orang-orang tidak lagi percaya kepada kebenaran namun lebih percaya terhadap yang dikatakan banyak orang.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat pendidikan. Pendidikan dilakukan agar kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pendidikan juga yang menyuruh kita untuk 'berdiri' dengan kebenaran yang kita yakini.

Sebagai seorang prajurit, Bapak Presiden pasti tahu bagaimana seseorang harus membela kebenaran yang mereka yakini sekuat mungkin, meskipun nyawa yang jadi taruhannya!

4. Matinya kepakaran

Dalam pendidikan, kita dianjurkan untuk mendengar 'pakar'. Sejak kecil kita disuruh untuk mendengar guru karena mereka dinilai memiliki ilmu mengenai pelajaran yang diberikan kepada siswa. Lalu semakin tumbuh kita dianjurkan mendengar orang-orang yang benar-benar menguasai bidang yang sedang dibicarakan. Hal ini dilakukan supaya ilmu, pengetahuan, atau informasi yang diterima bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Namun seperti yang ditulis Tom Nichols dalam bukunya "The Death of Expertise" (Matinya Kepakaran), saat ini orang tidak didengar karena menguasai hal yang dibicarakan namun karena mereka terkenal.

Kondisi ini dilanggengkan oleh buzzer yang kebanyakan berbicara semua hal tanpa memperhatikan apakah mereka benar-benar paham mengenai hal tersebut atau tidak.

Hal ini tentu berdampak pula pada sumber-sumber atau media yang kredibel yang kurang mendapat pembaca karena orang-orang lebih senang membaca pendapat buzzer.

5. Logika tidak diperhatikan

Logika merupakan kemampuan penting dalam pendidikan, bahkan bisa dibilang sebagai pondasinya. Logika memberi jalan untuk menemukan kesimpulan yang benar.

Namun, para buzzer seringkali menyajikan cara berpikir yang sama sekali jauh dari kaidah logika yang benar. Cara mereka mengambil kesimpulan juga berantakan. Hal ini mudah saja mereka lakukan karena mereka dibayar untuk menyampaikan kesimpulan sesuai pesanan.

Dengan menyajikannya di media sosial atau berbagai platform, mereka membuat orang-orang yang mendengar bahkan mempercayai mereka mempunyai jalan berpikir yang sama. Akibatnya, banyak orang memiliki cara mengambil kesimpulan yang kurang baik. Mereka mungkin memiliki pengetahuan yang cukup, namun mereka tidak bisa mengambil kesimpulan dari pengetahuan yang dimiliki tersebut.

6. Literasi kacau balau

Dari sekian masalah diatas, pada akhirnya kita akan mengalami kondisi literasi yang kacau balau. Sekarang saja, kita melihat bagaimana lemahnya kemampuan memahami bacaan hingga rendahnya skor PISA kita yang terus menurun beberapa tahun terakhir. Hal ini sungguh tidak bisa kita biarkan, Bapak Presiden.

Mungkin banyak yang berpikir bahwa masalah buzzer ini bukan masalah pendidikan karena tidak terjadi di sekolah atau perguruan tinggi. Namun perlu kita pahami bahwa pendidikan harus komprehensif, tidak hanya di sekolah saja. Bahkan, pengaruh media sosial saat ini juga begitu besar dalam membentuk karakter seseorang.

Jika di sekolah dididik dengan baik namun ketika melihat media sosial dipenuhi buzzer, maka ilmu-ilmu yang diberikan di sekolah bisa kalah oleh kicauan buzzer yang berpendapat karena dibayar. Maka dari itu saya bisa menyebut buzzer sebagai musuh besar pendidikan kita saat ini.

Bapak Presiden yang terhormat, besar harapan saya kepada Bapak untuk membawa bangsa ini menjadi lebih baik. Usaha menuju Indonesia Emas 2045 akan begitu berat, dan jauh lebih berat karena ulah buzzer. Karena semanis apapun kicauan para buzzer, itu hanya membuat kita lalai untuk memperbaiki negeri.

Selamat bertugas Bapak, saya percaya Bapak begitu baik sehingga tidak membutuhkan buzzer untuk 'memoles' kebaikan.

Diat Anugrah