Bangsa kita tidak pernah kekurangan orang-orang cerdas. Dari generasi ke generasi selalu ada cendekiawan yang pemikirannya mencerahkan jika dikaji maupun dibaca. Salah satunya adalah Kuntowijoyo.
Kuntowijoyo merupakan tokoh cendekiawan, penulis, hingga budayawan yang sangat produktif. Banyak karya dari berbagai jenis yang sudah beliau tulis. Mulai dari novel hingga pemikiran dan kajian kritis. Salah satu novel beliau yang paling terkenal adalah “Khutbah di Atas Bukit”.
Novel ini menceritakan seorang lelaki paruh baya bernama Barman. Beliau adalah mantan diplomat yang mencoba memulai hidup baru di daerah pegunungan bersama pasangan barunya, seorang wanita muda bernama Popy.
Niat awal ingin menenangkan diri di vila, ternyata membuat Barman merefleksikan kembali makna hidupnya. Terlebih ketika dia bertemu dengan Humam, pria paruh baya lainnya yang sangat misterius.
Pertemuan dengan Humam menjadi awal Barman untuk mengambil langkah nekad untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sering menghantui pikirannya.
Kuntowijoyo dalam novel ini tidak hanya menceritakan peristiwa demi peristiwa yang terjadi, namun mengajak pembaca untuk merefleksikan lebih dalam mengenai peristiwa tersebut.
Alih-alih menceritakan mengenai konflik yang bisa dillihat dari luar, yang lebih ditekankan justru konflik batin dari Barman, Humam, dan tidak ketinggalan juga Popy. Ketiga tokoh yang dalam satu waktu saling bertentangan pemikirannya, namun di lain waktu serasa sepemikiran tanpa harus mengutarakannya.
Cara penulis menjelaskan pergulatan batin dan pikiran yang dialami tokoh membuat pembaca ikut berpikir. Tanpa disadari, kita turut mempertanyakan arti dari kehidupan ini.
Tokoh Barman, yang karena usia lanjut memilih untuk mengasingkan diri dari hiruk piruk kota dengan tujuan agar bisa menjalani sisa umur dengan lebih tenang dan tanpa memikirkan banyak hal, ternyata justru harus menghadapi pertanyaan yang sangat mendalam: untuk apa kita hidup?
Dengan dalamnya pertanyaan yang coba diangkat, cerita dalam novel ini cenderung memiliki alur yang lambat. Kita tidak bisa mengharapkan peristiwa-peristiwa akrobatik di dalamnya. Hal ini membuat pembaca butuh kesabaran lebih untuk menyelesaikan buku ini.
Meski begitu, rasa penasaran yang dibangun sejak awal cerita membuat pembaca ingin terus membaca hingga akhir.
Ditutup dengan ending yang cukup tragis, “Khutbah di Atas Bukit” terlihat sebagai wujud pemikiran Kuntowijoyo dalam bentuk yang berbeda.
Jika kita pernah membaca “Islam sebagai Ilmu” atau Kumpulan esai dalam “Muslim tanpa Masjid”, sulit membayangkan bahwa novel ini ditulis oleh orang yang sama.
Dalam tulisan non-fiksinya, kita dapat melihat Kuntowijoyo sebagai pemikir yang mampu menerjemahkan teks-teks Islam menjadi relevan dengan kondisi zaman. Sedangkan dalam novel kita melihat penulis dengan imajinasi yang liar.
Hal ini membuktikan bahwa Kuntowijoyo tidak hanya piawai menyampaikan gagasan secara langsung tetapi juga mahir mengemas pemikiran-pemikirannya dalam bentuk karya sastra yang mampu menghipnotis pembacanya.
Namun jika kita menelaah lebih lanjut, kita masih bisa melihat gaya pemikiran khas Kuntowijoyo dalam novel ini. Novel ini mengajak pembacanya untuk berpikir secara transenden, melampaui keadaan yang di depan mata untuk melihat potret atau keadaan yang lebih luas.
Misalnya dalam kalimat yang disampaikan Humam bahwa “apa yang kamu miliki sebenarnya memilikimu” menyadarkan kita bahwa seringkali, apa yang kita anggap sebagai milik kita, justru menjadi belenggu bagi kita seakan-akan milik kita itulah yang memiliki kita.
Juga bagaimana ketika orang-orang berpikir bagaimana cara supaya bisa hidup bahagia dan terlepas dari kesengsaraan, ternyata pikiran itu sendiri yang menjadi penghambat kita untuk bahagia.
Meskipun perlu kesabaran untuk membacanya, novel ini layak dibaca supaya ita bisa rehat sejenak dari rutinitas yang kita jalani setiap hari lalu merenungkan kembali hidup seperti apa yang layak dan seharusnya kita jalani.
Baca Juga
-
Viral Isi Minyakita Hanya 750 ML, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
-
Mobil Terendam Banjir? Cegah Kerusakan dengan 5 Tips ini
-
Bapak Presiden, Buzzer adalah Musuh Besar Pendidikan Kita
-
Juara eAsian Cup, Berikut ini Profil 3 Pemain Timnas eFootball Indonesia
-
Cetak Sejarah, Indonesia Sukses Jadi Juara AFC eAsian Cup Qatar!
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Pak Djoko, Misteri Keluarga yang Dikemas dalam Bahasa Puitis
-
Ulasan Novel The Last Love Note: Mengikhlaskan Cinta dan Menemukan Harapan
-
Penuh Misteri! Ini 3 Novel Berlatar Sekolah Asrama yang Bikin Merinding
-
Novel Four Aunties and A Wedding: Pesta Pernikahan Berubah Menjadi Mencekam
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
Ulasan
-
There's Still Tomorrow: Perjuangan Ibu Lawan KDRT Demi Masa Depan Anak
-
Ulasan Novel Cantik Itu Luka: Menguak Luka Dibalik Kecantikan
-
Ulasan Novel A Man Called Ove: Perjalanan Pria Tua yang Menggugah Hati
-
5 Rekomendasi Tempat Wisata Hits untuk Liburan Bareng Keluarga di Bogor
-
Ulasan Film 404 Run Run, Atmosfer Horornya Nusuk, Komedinya Pecah
Terkini
-
Film M3GAN 2.0 dan Ancaman Baru yang Lebih Sangar!
-
Summer Game Fest 2025 Hadir 6 Juni, Semoga Tidak Ada Kabar Mengecewakan!
-
Timnas Indonesia U-17 Diminta Membumi, Nova Arianto Pakai Aturan Ketat Soal Sosmed
-
Berupaya Jegal Timnas Indonesia U-17, Pelatih Yaman Akui Pakai Trik Berikut
-
3 Hari Sold Out, NCT Wish Sukses Gelar Konser Perdana 'Log in' di Macau