Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi pembakaran buku (Pexels.com/Emocionaligencia Inteligencia Emocional)

Nama jurnalis Najwa Shihab tengah menjadi sorotan di media sosial X (Twitter) setelah serangkaian serangan tajam diluncurkan terhadapnya di TikTok. Pengguna X (Twitter) membagikan tangkapan layar yang berisi hujatan kasar dan berunsur SARA yang ditujukan kepada Najwa. 

Banyak netizen menduga bahwa serangan ini merupakan tindakan terkoordinasi, bahkan ada yang menyebut adanya keterlibatan buzzer yang diduga aktif memprovokasi opini publik melalui komentar di media sosial.

Indikasi tersebut terlihat dari pola dan nada serangan yang konsisten, yang telah terpantau selama setidaknya dua bulan terakhir di akun TikTok Najwa Shihab.

Selain serangan verbal, sejumlah pengguna juga membagikan video yang menunjukkan pembakaran buku-buku karya Najwa Shihab. Aksi pembakaran buku ini belakangan menjadi perhatian publik dan harus ditanggapi dengan serius. 

Tindakan ini bukan hanya mencerminkan ketidaksepakatan terhadap pandangan seorang jurnalis, tetapi juga merupakan bentuk pembungkaman yang dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Dalam sebuah sistem demokrasi, kebebasan berekspresi, baik melalui tulisan maupun ucapan, adalah fondasi utama yang harus dilindungi.

Komentar Najwa Shihab mengenai kepulangan Presiden Jokowi dengan pesawat milik TNI AU seharusnya tidak dipandang berlebihan. Namun, kritik terhadap Najwa seharusnya disampaikan dalam kerangka diskusi yang sehat dan saling menghargai, bukan dengan merusak simbol pengetahuan seperti buku.

Alih-alih mendapatkan perhatian positif, tindakan pembakaran justru menunjukkan ketidakdewasaan dalam menyikapi perbedaan. Demokrasi menuntut kita untuk terbuka terhadap beragam opini dan pandangan, meskipun kita tidak selalu sepakat.

Dalam diskursus publik yang penuh gejolak saat ini, praktik pembakaran buku kembali mencuat, seakan menjadi fenomena yang merefleksikan ketidakmampuan kita sebagai masyarakat untuk berdialog. Kita tengah berada di ambang krisis literasi, dan jika kita terus membakar buku, maka masa depan demokrasi kita semakin terancam.

Pembakaran buku bukan sekadar tindakan vandalistik; ia adalah simbol dari ketidakpuasan yang terpendam. Ketika seseorang membakar buku, sebenarnya mereka sedang membakar ide, pemikiran, dan, pada akhirnya, masa depan.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh penulis legendaris Ray Bradbury, "Anda tidak bisa membakar ide. Ide tidak bisa mati." Bukankah itu seharusnya menjadi pengingat bagi kita? Dalam dunia yang demokratis, ide harus ditanggapi dengan diskusi, bukan dengan api.

Demokrasi seharusnya menjadi ruang bagi semua suara, bahkan yang paling kontroversial sekalipun. Ketika praktik pembakaran buku menjadi pilihan, kita sedang membiarkan diri kita terjebak dalam siklus intoleransi. Cita-cita demokrasi adalah memungkinkan perdebatan yang sehat. 

Tokoh pemikir, Noam Chomsky, pernah berkata, "Demokrasi tidak hanya soal suara, tetapi tentang memungkinkan perbedaan pandangan." Jika kita mengabaikan perbedaan dengan cara yang merusak, apa artinya demokrasi itu?

Alih-alih merusak, kita seharusnya mendorong dialog yang konstruktif. Mari kita lihat tindakan pembakaran buku sebagai panggilan untuk bertindak lebih baik.

Kita perlu membangun ruang diskusi yang inklusif, ide-ide dapat diuji, ditantang, dan akhirnya dipahami. Ini bukan hanya tugas individu, tetapi tanggung jawab kolektif kita sebagai masyarakat.

Mengecam praktik pembakaran buku adalah langkah awal dalam menjaga masa depan demokrasi kita. Kita tidak bisa membiarkan ketidakpuasan kita terhadap suatu ide menjadikan kita perusak budaya literasi. Kita adalah penentu narasi.

Jika kita memilih untuk membakar, kita hanya akan mengulangi sejarah yang sama—kegelapan yang membungkam pemikiran.

Mari kita jaga cahaya literasi dan demokrasi, bukan dengan api, tetapi dengan kata-kata, dialog, dan pemikiran kritis. Hanya dengan cara inilah kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik, setiap ide memiliki hak untuk hidup dan berkembang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman