Nama jurnalis Najwa Shihab tengah menjadi sorotan di media sosial X (Twitter) setelah serangkaian serangan tajam diluncurkan terhadapnya di TikTok. Pengguna X (Twitter) membagikan tangkapan layar yang berisi hujatan kasar dan berunsur SARA yang ditujukan kepada Najwa.
Banyak netizen menduga bahwa serangan ini merupakan tindakan terkoordinasi, bahkan ada yang menyebut adanya keterlibatan buzzer yang diduga aktif memprovokasi opini publik melalui komentar di media sosial.
Indikasi tersebut terlihat dari pola dan nada serangan yang konsisten, yang telah terpantau selama setidaknya dua bulan terakhir di akun TikTok Najwa Shihab.
Selain serangan verbal, sejumlah pengguna juga membagikan video yang menunjukkan pembakaran buku-buku karya Najwa Shihab. Aksi pembakaran buku ini belakangan menjadi perhatian publik dan harus ditanggapi dengan serius.
Tindakan ini bukan hanya mencerminkan ketidaksepakatan terhadap pandangan seorang jurnalis, tetapi juga merupakan bentuk pembungkaman yang dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Dalam sebuah sistem demokrasi, kebebasan berekspresi, baik melalui tulisan maupun ucapan, adalah fondasi utama yang harus dilindungi.
Komentar Najwa Shihab mengenai kepulangan Presiden Jokowi dengan pesawat milik TNI AU seharusnya tidak dipandang berlebihan. Namun, kritik terhadap Najwa seharusnya disampaikan dalam kerangka diskusi yang sehat dan saling menghargai, bukan dengan merusak simbol pengetahuan seperti buku.
Alih-alih mendapatkan perhatian positif, tindakan pembakaran justru menunjukkan ketidakdewasaan dalam menyikapi perbedaan. Demokrasi menuntut kita untuk terbuka terhadap beragam opini dan pandangan, meskipun kita tidak selalu sepakat.
Dalam diskursus publik yang penuh gejolak saat ini, praktik pembakaran buku kembali mencuat, seakan menjadi fenomena yang merefleksikan ketidakmampuan kita sebagai masyarakat untuk berdialog. Kita tengah berada di ambang krisis literasi, dan jika kita terus membakar buku, maka masa depan demokrasi kita semakin terancam.
Pembakaran buku bukan sekadar tindakan vandalistik; ia adalah simbol dari ketidakpuasan yang terpendam. Ketika seseorang membakar buku, sebenarnya mereka sedang membakar ide, pemikiran, dan, pada akhirnya, masa depan.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh penulis legendaris Ray Bradbury, "Anda tidak bisa membakar ide. Ide tidak bisa mati." Bukankah itu seharusnya menjadi pengingat bagi kita? Dalam dunia yang demokratis, ide harus ditanggapi dengan diskusi, bukan dengan api.
Demokrasi seharusnya menjadi ruang bagi semua suara, bahkan yang paling kontroversial sekalipun. Ketika praktik pembakaran buku menjadi pilihan, kita sedang membiarkan diri kita terjebak dalam siklus intoleransi. Cita-cita demokrasi adalah memungkinkan perdebatan yang sehat.
Tokoh pemikir, Noam Chomsky, pernah berkata, "Demokrasi tidak hanya soal suara, tetapi tentang memungkinkan perbedaan pandangan." Jika kita mengabaikan perbedaan dengan cara yang merusak, apa artinya demokrasi itu?
Alih-alih merusak, kita seharusnya mendorong dialog yang konstruktif. Mari kita lihat tindakan pembakaran buku sebagai panggilan untuk bertindak lebih baik.
Kita perlu membangun ruang diskusi yang inklusif, ide-ide dapat diuji, ditantang, dan akhirnya dipahami. Ini bukan hanya tugas individu, tetapi tanggung jawab kolektif kita sebagai masyarakat.
Mengecam praktik pembakaran buku adalah langkah awal dalam menjaga masa depan demokrasi kita. Kita tidak bisa membiarkan ketidakpuasan kita terhadap suatu ide menjadikan kita perusak budaya literasi. Kita adalah penentu narasi.
Jika kita memilih untuk membakar, kita hanya akan mengulangi sejarah yang sama—kegelapan yang membungkam pemikiran.
Mari kita jaga cahaya literasi dan demokrasi, bukan dengan api, tetapi dengan kata-kata, dialog, dan pemikiran kritis. Hanya dengan cara inilah kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik, setiap ide memiliki hak untuk hidup dan berkembang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
-
Menelusuri Jaringan Pasar Gelap Satwa Liar dan Lengahnya Negara
-
Antara Rantai dan Tawa: Potret Luka di Balik Topeng Monyet yang Tak Merdeka
-
Kemenangan Akademisi IPB, Napas Baru Perlindungan Pembela Lingkungan
Artikel Terkait
-
Pilpres AS Tinggal Menghitung Jam, Pengamat Sebut Donald Trump Punya Peluang Untuk Menang
-
Kiky Saputri Benarkan Netizen Pilih Kasih karena Bela Najwa Shihab, Langsung Diskakmat: Beda Kelas
-
Bukan Kali Ini Saja, Ali Hamza Pernah Senggol Najwa Shihab Sambil Bawa-Bawa Pengungsi Rohingya
-
Beda Pendidikan Tom Lembong dan Najwa Shihab: Orang-Orang Pintar Sedang Jadi Sorotan
-
Karakter Asli Najwa Shihab dan Nikita Mirzani di Balik Layar Dikuliti Habis-habisan, Penonton Bayaran Bersaksi
Kolom
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Jika Hukum adalah Panggung, Mengapa Rakyat yang Selalu Jadi Korban Cerita?
-
Saat Ragu Mulai Menjerat, Lepaskan dengan Keyakinan Aku Pasti Bisa
-
Krisis Empati: Mengapa Anak-Anak Tidak Lagi Tahu Caranya Berbelas Kasih?
-
Saat Hidup Tidak Sesuai Ekspektasi, Kenapa Kita Selalu Menyalahkan Diri?
Terkini
-
Raditya Dika dan Die with Zero: Cara Baru Melihat Uang, Kerja, dan Pensiun
-
Ulasan Novel Larung, Perlawanan Anak Muda Mencari Arti Kebebasan Sejati
-
Style Hangout ala Kang Hye Won: 4 Inspo OOTD Cozy yang Eye-Catching!
-
Demam? Jangan Buru-Buru Minum Obat, Ini Penjelasan Dokter Soal Penyebabnya!
-
Suka Mitologi Asia? Ini 4 Rekomendasi Novel Fantasi Terjemahan Paling Seru!