Ada cinta yang nggak bisa dijelaskan dengan logika. Cinta yang tetap bertahan meski semua orang bilang “lepaskan saja.” Cinta yang irasional, kadang bahkan nekat. Itulah cinta orang tua. Dan dalam Film My Daughter is a Zombie buatan Sutradara Pil Gam-sung berdasarkan webtoon karya Yun-chang Lee (alias Lee Yoon-chang), cinta semacam itu menemukan wujudnya yang paling aneh sekaligus paling indah, yakni sosok ayah yang ikhlas merawat anaknya meski sudah menjadi zombie.
Kebanyakan film zombie, begitu ada yang terinfeksi, habis sudah. Nggak peduli siapa dia sebelumnya—orang tua, sahabat, pasangan—aturan mainnya jelas, bunuh sebelum dibunuh.
Film-film besar kayak ‘World War Z’ atau ‘Train to Busan’ menegaskan aturan tersebut dengan dingin. Semua tokoh, bahkan yang penuh kasih sayang, akhirnya dipaksa memilih logika di atas perasaan.
Nah, Film My Daughter is a Zombie, justru menolak tunduk pada logika semacam itu. Jung-hwan, sang ayah tunggal, memutuskan untuk tetap merawat Soo-a, anak kecilnya, meski jelas-jelas sudah terinfeksi. Kalau dipikir pakai akal sehat, keputusannya adalah kegilaan total. Apa gunanya membawa zombie? Bukankah itu sama saja bunuh diri?
Namun, justru di titik ini filmnya terasa punya hati dan hangat, yang nggak membicarakan soal kiamat zombie. Jelas film ini membicarakan cinta orang tua. Dan cinta orang tua, suka atau nggak suka, memang seringkali irasional.
Menyelami Irasional Cinta Orang Tua
Naluri inilah yang membuat Jung-hwan terus berjalan bersama Soo-a. Bahkan ketika orang lain memandangnya dengan jijik, takut, atau menganggapnya sudah gila, dia tetap teguh.
Adegan Soo-a mendadak menari ketika mendengar lagu BoA adalah gambaran paling jelas. Di mata orang lain, itu kebetulan semata. Namun, di mata seorang ayah, itu bukti bahwa putrinya masih ada di dalam sana (jiwa di dalam raga). Logika akan menepis tanda sekecil itu, tapi cinta orang tua justru berpegangan pada serpihan harapan sekecil apapun.
Jung-hwan tahu Soo-a mungkin nggak akan sembuh. Dia tahu keajaiban itu hampir mustahil. Namun, dia tetap memilih untuk berada di sisi anaknya. Ini berarti, cinta orang tua nggak butuh kontrak hasil akhir, nggak menuntut kesembuhan, nggak meminta imbalan, dan nggak mengukur peluang. Cukup dengan bisa menemani, melindungi, dan memastikan anaknya nggak sendirian, itu sudah cukup.
Kalau dipikir-pikir, bukankah banyak orang tua di dunia nyata yang mengambil jalan yang sama? Orang tua yang rela bekerja siang-malam demi anaknya bisa sekolah, meski mereka sendiri hampir nggak sempat tidur. Orang tua yang terus merawat anak dengan penyakit langka, meski dokter sudah bilang harapan hidupnya tipis sekali. Dari luar, semua itu tampak nggak masuk akal. Namun, kalau kita melihat dari dalam, justru di situ letak keindahannya. Orang tua nggak butuh alasan untuk mencintai.
Hal yang bikin keputusan Jung-hwan makin berat adalah stigma. Orang di sekelilingnya (mungkin) menilai dia gila. Bagi mereka, Soo-a bukan lagi seorang anak, tapi ancaman. Dan bukankah begitu juga kenyataannya di dunia nyata? Kadang, cinta orang tua justru diuji bukan sama situasi, tapi dari pandangan orang lain.
Ada orang tua yang memilih tetap bersama anaknya yang dianggap ‘bermasalah’ sama masyarakat, entah karena kondisi mental, keterbatasan fisik, atau jalan hidup yang nggak sesuai norma. Dunia menyuruh mereka melepaskan, tapi hati menolak. Dan ketika semua orang menyarankan “move on saja,” di situlah kekuatan cinta orang tua diuji.
kalau dipikir-pikir, “Apa untungnya? Apa hasilnya?” Hanya saja memang, cinta orang tua menolak ikut berhitung. Nggak peduli apakah hasilnya nihil.
Di sini aku merasa film ini menyodorkan sesuatu yang jarang disentuh film zombie lain, yakni ruang di mana cinta jauh lebih kuat ketimbang survival.
Pada akhirnya, Film My Daughter is a Zombie bukan sekadar cerita absurd tentang zombie anak yang lucu. Ini adalah pengingat bahwa cinta orang tua memang jarang masuk akal. Logika bisa bilang tindakannya sia-sia, tapi bagi orang tua, nggak ada pilihan lain selain memeluknya erat.
Dan bukankah itu yang membuat cinta orang tua begitu manusiawi? Bukan karena selalu benar, bukan karena selalu berhasil, tapi karena berani melawan semua logika demi satu hal, yakni anak.
Karena di balik semua perhitungan untung-rugi, cinta yang paling murni memang lahir dari keberanian untuk tetap irasional. Nah, buat Sobat Yoursay yang mungkin lagi ada problem sama orang tua di rumah, yuk, ingat-ingat lagi kenangan manis saat bersama mereka.
Baca Juga
-
Cinta Tulus di Penghujung Ajal, Film Sampai Titik Terakhirmu Sedih Banget!
-
Review Film Dopamin: Terlalu Nyata dan Getir
-
Reality Show Paling Gila, Adu Nyawa Demi Rating dalam Film The Running Man
-
Nggak Cuma Soal Utang! Film Wasiat Warisan Bakal Bikin Sinefil Mewek
-
Betapa Nagihnya Nonton Drama Perselingkuhan
Artikel Terkait
-
Cuma Dapat 1500 Penonton, Film Merah Putih One for All Siap Rilis Sekuel Tiap Tahun
-
BCL, Ariel NOAH, dan Prince Poetiray Nyanyikan Selalu Ada di Nadimu di Konser Jumbo
-
Bikin Haru, Ariel NOAH Bawakan Lagu Ambilkan Bulan Bu di Konser Jumbo
-
Kejutan Manis di Konser Jumbo, Vina Panduwinata Muncul Nyanyikan Kumpul Bocah
-
Film Pendek Rumaket Resmi Tayang di YouTube, Warga Pedak Antusias Nobar di Malam Tirakatan
Kolom
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
Darurat Bullying Nasional: Mengapa Ekosistem Kekerasan Anak Terus Tumbuh?
-
Bullying dan Kelas Sosial: Anak Miskin Lebih Rentan Jadi Target
-
Kasus SMPN 19 Tangsel Jadi Pengingat Keras: Bullying Nggak Pernah Sepele
-
Sepenggal Perjalanan Menjadi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Terkini
-
Jadi Groomsmen Boiyen, Andre Taulany Titip Doa Manis untuk Kedua Pengantin!
-
Bukan Cuma Bungkuk, Ini 5 Cara Sederhana Mencegah Skoliosis Biar Gak Makin Parah
-
Bukan Sekadar Hiburan, Ernest Prakasa Sebut Komedi Jalan Halus Kritik Tajam
-
4 Rekomendasi HP 1 Jutaan dengan Kamera Terbaik di 2025, Resolusi hingga 50MP!
-
Polemik Helwa Bachmid dan Habib Bahar: Klaim Istri Siri Dibantah Istri Sah?