Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Oktavia Ningrum
Hutan Vegetatif Baluran Indonesia (Dokprib/Oktavia)

Alam tidak bisa bicara, tidak bisa menuliskan petisi, tidak bisa menggugat di pengadilan, tidak bisa melobi kebijakan. Alam hanya bisa memberi tanda—banjir, longsor, kekeringan, udara panas, punahnya satwa—sebagai “bahasa diamnya”. Nah, di situlah peran manusia masuk. Advokasi lingkungan hadir sebagai jembatan suara. 

Bayangkan sejenak: udara yang kita hirup, air yang mengalir di gelas kita, dan pangan yang tersaji di meja makan—semua itu berasal dari alam. Namun, ada fakta pahit yang sering terlupakan. Indonesia kehilangan lebih dari 600 ribu hektar hutan setiap tahun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm yang menandakan kita sedang kehilangan bagian penting dari kehidupan kita sendiri.

Kenapa ada advokasi lingkungan?

Sungai yang tercemar tidak bisa melaporkan dirinya, hutan yang digunduli tidak bisa menolak, satwa yang punah tidak bisa mengajukan protes. Maka manusia yang peduli harus berdiri sebagai wakil mereka.

  • Menghadapi ketidakadilan.

Banyak kerusakan lingkungan lahir dari kepentingan ekonomi dan politik. Tanpa advokasi, suara masyarakat adat, nelayan, atau petani sering tenggelam oleh suara korporasi besar.

  • Mengubah kebijakan.

Perjuangan lingkungan tidak cukup berhenti pada edukasi atau aksi personal. Dibutuhkan advokasi untuk mendorong pemerintah menetapkan regulasi yang melindungi hutan, laut, dan udara.

  • Memberi ruang bagi kesadaran publik.

Advokasi sering menjadi jembatan informasi. Misalnya, data bahwa Indonesia kehilangan >600 ribu hektar hutan tiap tahun mungkin tidak semua orang tahu. Advokasi membuat fakta ini sampai ke masyarakat luas.

Dengan kata lain: advokasi lingkungan adalah bentuk kasih sayang manusia kepada bumi—karena bumi telah lebih dulu memberi segalanya untuk kita.

Setiap pohon yang tumbang, setiap hektar hutan yang hilang, berarti hilangnya rumah bagi ribuan spesies, rusaknya penyangga iklim, dan berkurangnya kesempatan kita bernapas lega. Ironisnya, suara alam semakin lama terdengar semakin pelan, tertutup oleh bisingnya kota, pembangunan, dan ambisi manusia.

Di sinilah kita harus sadar: kita bukan sekadar penonton.
Kita bisa menjadi pelindung, perawat, sekaligus pembelajar dari alam.

Alam Butuh Suaramu

Menjaga hutan dan alam bukan berarti harus menjadi aktivis besar atau peneliti lingkungan. Ada banyak langkah sederhana yang bisa kita lakukan, baik secara individu maupun bersama-sama, untuk menjadi penyambung suara alam.

  1. Aksi Edukasi: Edukasi adalah pintu pertama menuju perubahan. Kamu bisa mengadakan seminar, diskusi, atau webinar tentang lingkungan. Ceritakan bagaimana hutan menyelamatkan hidup manusia lewat penyediaan oksigen, air bersih, dan penyerapan karbon. Bahkan, kegiatan kecil di sekolah atau komunitas bisa menjadi benih kesadaran yang tumbuh besar.
  2. Cerita Alam: Alam juga bisa dikenalkan lewat cerita. Bayangkan mendongeng tentang sungai, gunung, atau hewan hutan untuk anak-anak dan murid sekolah. Dengan begitu, generasi muda akan tumbuh mencintai alam, bukan hanya melihatnya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi.
  3. Aksi Nyata: Tak perlu menunggu besar untuk berbuat nyata. Kamu bisa mulai dari menanam pohon atau mengadopsi pohon bersama keluarga, komunitas, sekolah, atau kantor. Satu pohon mungkin tampak kecil, tapi bayangkan jika ribuan orang menanam satu pohon, dampaknya bisa mengubah wajah bumi.
  4. Kampanye: Media sosial bukan hanya ruang hiburan, tapi juga arena perjuangan. Bagikan kisah perjalananmu ke hutan, sungai, lembah, atau gunung.
  5. Ceritakan tentang penjaga hutan dan masyarakat adat yang setiap hari berjuang menjaga alam. Edukasi teman-temanmu tentang peran alam dalam hidup kita. Kamu juga bisa mengenalkan produk hutan bukan kayu lewat cerita atau video kreatif, sekaligus mendukung petisi atau donasi pelestarian hutan.

Dari Langkah Kecil ke Dampak Besar

Cinta pada alam tumbuh dari langkah sederhana—apalagi jika dilakukan bersama. Jangan menunggu sampai bencana datang untuk sadar bahwa kita butuh alam. Jangan menunggu hutan gundul baru mengingat betapa pentingnya pohon.

Ketika kita memilih untuk tidak hanya menonton, kita sedang mewariskan kehidupan yang lebih baik untuk generasi berikutnya. Setiap aksi, sekecil apa pun, akan menjadi bagian dari suara besar yang menjaga bumi tetap bernapas.

Karena sesungguhnya, bumi tidak butuh kita untuk bertahan. Kita lah yang butuh bumi untuk hidup. Dan sekarang, bumi sedang meminta kita untuk berbicara—menjadi penyambung suaranya.

Jadi, jangan diam. Jadilah suara alam. Jadilah pelindung, perawat, dan pembelajar. Karena tanpa kita, alam mungkin tak akan selamat.

Oktavia Ningrum