Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Frances Tjhang
Kegiatan UBSP ADECO (DocPribadi)

Di tengah hiruk-pikuk kemajuan zaman, ada kelompok masyarakat yang sering terpinggirkan dan tak terdengar. Para penyandang tuna rungu dan tuna wicara, mereka yang sering kali dihadapkan dengan dinding sunyi di lingkungan mereka, kini menemukan ruang untuk bersuara dan membangun diri. Di Yogyakarta, komunitas ADECO (Alumni Dena Upakara dan Don Bosco) muncul sebagai pelopor gerakan inklusivitas bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara dengan  menghadirkan ruang di mana mereka dapat berbagi, belajar, dan tumbuh. Dengan program yang fokus pada pengembangan pribadi, sosial, dan ekonomi, ADECO menunjukkan bahwa inklusivitas tidak hanya menjadi slogan, tetapi tindakan nyata yang berdampak langsung pada kehidupan anggotanya.

Menemukan Makna di Balik Sunyi

Komunitas ADECO bermula dari Misa Alumni SLB-B Dena Upakara dan SLB-B Don Bosco di Yogyakarta pada tahun 1988 yang bertujuan untuk mempersatukan alumni sekolah khusus bagi penyandang disabilitas pendengaran dan bicara. Seiring berjalannya waktu, kegiatan ini berkembang menjadi wadah komunikasi, tempat berbagi pengalaman hidup, dan bahkan sebuah rumah kedua bagi anggotanya. Mereka yang dahulu mungkin merasa terasing kini memiliki teman-teman yang mengerti tantangan mereka, serta sebuah tempat yang membuat mereka merasa diterima.

ADECO menyadari bahwa hambatan terbesar yang dihadapi penyandang tuna rungu dan tuna wicara bukan hanya ketidakmampuan berkomunikasi secara konvensional, tetapi juga stigma sosial yang sering menganggap mereka tidak mampu. Bahasa isyarat sebagai alat komunikasi utama mereka sering kali tidak dipahami oleh masyarakat umum sehingga yang menciptakan jurang komunikasi dan keterasingan. Di sinilah ADECO berperan, dengan menjadi wadah yang tidak hanya menyatukan para alumni tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya inklusivitas.
 
Pengembangan Manusia di Balik Batasan Fisik

ADECO bukan sekadar komunitas biasa; ia hadir sebagai pusat pembangunan sumber daya manusia bagi anggotanya. Mereka menyadari bahwa membangun kemampuan dan keterampilan anggotanya adalah investasi penting untuk masa depan mereka. Dengan visi "membentuk pribadi yang mandiri, beriman, berbudi pekerti luhur, berkualitas, dan terampil," ADECO menjalankan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan ini.

Di bidang pendidikan, ADECO rutin mengadakan kegiatan kerohanian baik untuk anggota Katolik maupun Islam untuk mengokohkan nilai-nilai moral dan spiritual sebagai landasan hidup. Dalam bidang sosial dan budaya, mereka aktif mengadakan arisan, olahraga, rekreasi, hingga buletin khusus ADECO yang berfungsi sebagai media komunikasi antar anggota dan memperluas wawasan mereka. Kegiatan ini tidak hanya memperkuat ikatan di antara anggota tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri mereka dalam menghadapi dunia luar.

Pada aspek ekonomi, ADECO memiliki program Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) yang bertujuan memberikan dukungan ekonomi kepada anggotanya. Dengan bantuan UBSP, anggota dapat memulai usaha kecil-kecilan atau memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari mereka tanpa harus bergantung pada pihak luar. Ini merupakan langkah penting menuju kemandirian ekonomi, sebuah aspek yang jarang terpikirkan ketika membahas disabilitas.

Tantangan dan Harapan: Melampaui Sekat Sosial

Meskipun upaya yang dilakukan ADECO sangat berarti bagi anggotanya, tantangan di luar komunitas masih menjadi kendala besar. Di Indonesia, isu disabilitas, khususnya bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara, seringkali tidak menjadi prioritas dalam kebijakan sosial dan pembangunan. Masyarakat umum masih minim pemahaman tentang bahasa isyarat dan seringkali canggung atau bahkan menghindari interaksi dengan penyandang disabilitas. Stigma ini melahirkan diskriminasi halus yang membuat para penyandang disabilitas merasa terpinggirkan dan kehilangan akses terhadap banyak kesempatan.

Menurut data dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, sekitar 22,97 juta orang di Indonesia adalah penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka bukanlah kelompok kecil yang bisa diabaikan. Angka ini merepresentasikan jutaan individu dengan bakat dan kemampuan yang perlu diberdayakan. Kehadiran komunitas seperti ADECO di Yogyakarta adalah jawaban nyata terhadap kebutuhan inklusivitas ini. Namun, komunitas lokal saja tidak cukup, mereka membutuhkan dukungan dan keterlibatan aktif dari pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan inklusif yang lebih luas.\

Menggerakkan Inklusivitas, Menghapus Stigma

ADECO di Yogyakarta telah menjadi contoh konkret dari bagaimana komunitas dapat berfungsi sebagai agen perubahan dalam meningkatkan inklusivitas. Namun, langkah ini perlu diikuti oleh masyarakat secara luas. Tidak semua orang mampu atau tahu cara berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, tetapi semua orang bisa belajar untuk lebih terbuka dan menghargai perbedaan. Diperlukan program-program sosialisasi dan edukasi dari pemerintah maupun lembaga swasta untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan menyediakan pelatihan bahasa isyarat secara gratis atau terjangkau bagi masyarakat umum, khususnya bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan publik seperti petugas layanan, guru, dan pekerja kesehatan. Selain itu, dalam lingkup media, perlu adanya upaya untuk menyediakan informasi dalam bentuk yang dapat diakses oleh semua, seperti teks atau penerjemah bahasa isyarat dalam program televisi atau video daring. Ini akan memungkinkan penyandang disabilitas untuk lebih terlibat dalam masyarakat dan memiliki akses informasi yang setara.

Pemerintah dan Peran Kebijakan yang Lebih Inklusif

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa hak-hak penyandang disabilitas dilindungi dan dihormati. Kebijakan inklusif bukan hanya tentang menyediakan akses fisik, tetapi juga akses sosial dan ekonomi yang nyata. Jika pemerintah Indonesia serius dalam menjalankan program "no one left behind" atau “tidak ada yang tertinggal,” maka sudah saatnya ada peningkatan anggaran untuk program-program pemberdayaan disabilitas dan pengembangan infrastruktur yang ramah bagi mereka.

Keberadaan ADECO adalah bukti bahwa penyandang tuna rungu dan tuna wicara memiliki potensi besar jika diberikan kesempatan dan dukungan yang tepat. Komunitas ini menunjukkan bahwa pembangunan sumber daya manusia perlu dijalankan secara seimbang dengan pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan yang seimbang akan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran, di mana setiap individu dapat berkontribusi tanpa merasa terpinggirkan.

Melangkah Bersama untuk Masa Depan yang Lebih Inklusif

ADECO telah memberikan pelajaran penting bagi kita semua tentang arti inklusivitas. Mereka telah melawan sunyi dan melampaui batas-batas sosial yang selama ini mengekang mereka. Di bawah bimbingan komunitas yang peduli, para penyandang tuna rungu dan tuna wicara ini mampu menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mampu berkontribusi dengan cara mereka sendiri. Namun, perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan. Diperlukan kesadaran, dukungan, dan keberanian dari masyarakat luas dan pemerintah untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih inklusif.

Komunitas ADECO telah mengukir prestasi dengan mengubah stigma menjadi kekuatan, sunyi menjadi suara, dan keterasingan menjadi kebersamaan. Dengan dukungan masyarakat luas dan pemerintah, semoga ADECO hanya menjadi awal dari terbentuknya banyak ruang inklusif bagi penyandang disabilitas di seluruh penjuru negeri ini. Hanya dengan langkah bersama, kita dapat memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari keterbatasannya, memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang dan mencapai potensinya yang tertinggi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Frances Tjhang