Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Frances Tjhang
Ilustrasi proses tato (Unsplash/Maixent Viau)

Seni tato di kalangan mahasiswa Yogyakarta kian populer sebagai bentuk ekspresi diri dan mencerminkan identitas personal serta perlawanan terhadap stigma sosial yang masih melekat. Di balik keindahan tinta yang menghiasi kulit, terdapat cerita-cerita personal dan perjalanan emosional yang mendalam.

Mahasiswa seperti Fitra Aulia dan Yohanes Yoga memilih tato untuk menggambarkan pengalaman hidup mereka, sementara seniman tato seperti Theo Fabri dan Mas Josh melihat perubahan tren dan persepsi masyarakat.

Meski seni ini semakin diterima, tantangan dan stigma negatif masih harus dihadapi. Bagaimana mahasiswa Yogyakarta menavigasi ekspresi diri melalui tato dalam konteks sosial dan akademik yang kompleks?

Tato merupakan sebuah seni lukisan permanen di kulit manusia menggunakan jarum dan tinta berwarna. Arti kata tato sendiri merupakan lukisan permanen pada kulit tubuh.

Teknik yang digunakan adalah dengan cara menusuk permukaan kulit dengan jarum kecil atau halus dan kemudian memasukkan zat pewarna cari ke bekas tusukan tadi. Desain dari tato sendiri memiliki banyak aliran dan sudah berevolusi seiring berjalannya waktu. Masing-masing aliran dari seni tato juga telah menjadi populer di industri ini.

Dilansir dari Tattoing101.com, aliran tato ditentukan dari bentuk estetika yang sejalan dengan aliran tersebut dan setiap aliran memiliki pedoman yang tidak hanya membuat desain lebih mudah dibuat dari nol, tetapi juga membantu klien mengetahui bagaimana tato yang mereka diinginkan untuk terlihat.

Seni tato sampai saat ini telah melewati berbagai masa. Akan tetapi, persepsi masyarakat dan stigma negatif terhadap orang yang memiliki tato masih kerap dijumpai.

Yogyakarta sebagai daerah yang dikenal sebagai “Kota Pelajar” karena banyaknya jumlah perguruan tinggi dan kuantitas mahasiswa di Yogyakarta.

Bila berbicara di konteks Yogyakarta, saat ini kita tidak bisa menjauhkan konteks seni tato dengan mahasiswa. Bila berkunjung ke kafe, kampus, atau pun pusat perbelanjaan, kita akan dengan mudah mendapat pemandangan para mahasiswa yang kulitnya berhias tinta dengan bermacam motif.

Tato sudah sebagai seni mengekspresikan perasaan bagi mahasiswa yang tidak dapat diungkapkan melalui kata-kata. Di sisi lain, tato masih kerap kali disambangi oleh persepsi atau stigma negatif dari masyarakat umum. Orang yang memiliki tato sering kali dianggap sebagai seseorang yang tidak ber-kepercayaan, seperti preman, menakutkan, dan sebagainya.

Dilansir dari Latitudes.nu, perkembangan seni tato di Indonesia dimulai sebagai bentuk identitas lokal beberapa suku-bangsa di Indonesia, seperti di Dayak, Mentawai, Timor, dan juga Sumba.

Di beberapa suku-bangsa yang disebutkan tadi, tato sangat dihormati dan digunakan untuk tujuan khusus seperti melindungi pemakainya dari gangguan roh jahat, mendatangkan kesuburan, dan tanda identitas keluarga serta status sosial.

Seiring berjalannya waktu, di Indonesia tato sudah menjadi suatu yang tabu di masyarakat modern. Di bawah pengaruh dari agama konservatif di satu sisi, dan nilai-nilai modern di sisi lain, tato menjadi usang dan kadang-kadang dianggap menyimpang dari nilainilai mainstream.

Tato juga dibingkai sebagai seni para kriminal. Pada tahun 1980-an, serangkaian pembunuhan misterius dengan orang bertato terjadi.

Beberapa preman jalanan ditembak secara misterius dan tubuh mereka dipamerkan di tempat-tempat umum. Kejadian yang dikenal sebagai PETRUS (Penembak Misterius) ini menempatkan stigma negatif besar pada orang-orang Indonesia yang bertato.

Sekian puluh tahun kemudian, generasi muda Indonesia telah dengan bangga meninggalkan stigma negatif terhadap tato dan malah menggunakan tato sebagai bentuk dari identitas mereka. Banyak seniman tato yang melihat seni tato sebagai gerakan melawan stigma negatif tato di Indonesia.

Di Yogyakarta sendiri, pengaruh budaya lokal dan global terlihat jelas dalam tren tato di kalangan mahasiswa. Masih banyak mahasiswa yang menato motif-motif tradisional seperti batik dan wayang yang mencerminkan penghargaan terhadap warisan budaya Jawa.

Di samping itu, ada juga gaya-gaya tato internasional seperti realistis dan tribal yang populer di kalangan anak muda internasional dan di media sosial yang menunjukkan keterbukaan mahasiswa terhadap budaya global.

Perpaduan unik ini menciptakan gaya tato yang dinamis dan inovatif sehingga mencerminkan identitas generasi muda yang kreatif dan adaptif. Di Yogyakarta, perkembangan tato bisa dibilang pesat di kalangan mahasiswa selama lima tahun terakhir.

“Semakin banyaknya masyarakat yang open minded menjadikan mahasiswa banyak yang membuat tato di Jogja saat ini. Bahkan nggak sedikit klien saya berasal dari mahasiswa luar Jogja,” ujar Theo Fabri.

Ia mengungkapkan mengenai tren motif tato di kalangan mahasiswa, “Motif yang populer di kalangan mahasiswa saat ini cenderung juga berkiblat dari style yang sedang ada di luar negeri, gaya micro realism, fineline tattoo, dan patchy simple tattoo.

Ia juga mengungkapkan mengenai alasan motif-motif ini populer.

“Karena mungkin style ini tidak memerlukan ukuran tato yang besar dan pengerjaannya tergolong cepat. Walau style ini sebenarnya sangat dihindari oleh tattoo artist yang mungkin sudah lebih dari lima tahun berkiprah di dunia tato. Karena style ini termasuk yang tidak longlast ketika diaplikasikan ke kulit,” tutur Theo Fabri.

Dalam membuat tato, seseorang pasti sudah memikirkannya secara utuh dan lama karena tato merupakan hal permanen yang ada di tubuh kita.

Menurut Fitra Aulia, seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, ada beberapa alasan yang memotivasinya membuat tato sebagai mahasiswa,

“Aku sempat ada masalah yang sangat besar selama di Jogja. Sampai ada saatnya aku pulang ke kampungku (Salatiga) dan aku ceritakan semuanya ke mama aku. Akhirnya, buat tato pertama aku buat nama mama aku dalam huruf katakana Jepang,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa tato pertamanya dipersembahkan untuk ibunya di rumah. Selain itu, Yohanes Yoga, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta angkatan 2023 juga mengungkapkan alasannya pertama kali membuat tato.

“Awalnya aku suka mendesain, terus kepingin menjadikan desainku sebagai tato. Eh, akhirnya malah keterusan,” ujar Yoga.

Dalam membuat suatu tato, seseorang harus menyiapkan desain atau referensi motif yang diinginkannya. Ada seniman tato yang bisa mendesain motif tato, tetapi tidak semuanya.

Mayoritas orang menyelami fase berpikir panjang mengenai desain dari tato yang diinginkan supaya tidak menyesal di kemudian hari. Lalu, lanjut ke fase pencarian seniman tato yang sesuai dengan gaya atau motif tato yang diinginkan.

Di saat sudah bertemu, kita dapat berkonsultasi lagi mengenai desain, harga, sampai ke perawatan pasca-tato. Setelah ditato, tato baru harus dirawat dengan baik dan benar agar hasil akhirnya sesuai dengan yang diinginkan.

Fase-fase dalam pemulihan tato bersifat bertingkat, mulai dari tato luka basah, luka kering, hingga perawatan warna tato yang sudah sembuh.

Menurut Fitra Aulia, pengalaman membuat tato sangatlah membuat candu, “Sekali tato buat kecanduan, mau lagi, dan lagi, tetapi harus memikirkan uang juga karena buat tato itu nggak murah,” ujarnya.

Selain itu, seniman tato juga berperan dalam membantu mahasiswa memilih desain yang tepat, seperti ujar Yosua Alfonsius atau yang akrab dipanggil Mas Josh.

“Sebenarnya pilihan motif itu bisa apa saja, tapi tren saat ini lebih ke desain yang sedang ramai di media sosial. Tetapi, kami sebagai seniman tato, ya, tetap mengingatkan kalau tato itu tergantung selera masing-masing, ibaratnya jangan cuma ikut-ikutan orang lain,” ujar Masa Josh.

Theo Fabri juga melanjutkan bahwa ada kendala tertentu menghadapi klien yang masih mahasiswa, seperti katanya, “Kadang mahasiswa yang masih newbie memiliki keinginan yang kadang tidak mau di-improve, mereka mungkin belum memahami tentang kemampuan dan pengalaman seniman sehingga kurang bisa menerima masukan dari ahlinya.”

Di setiap motif tato pasti ada makna yang mencerminkan orang yang memilikinya. Seperti halnya Fitra Aulia, ia memiliki 5-6 tato di tubuhnya yang setiap tato mencerminkan ekspresi dirinya.

Seperti tato kupu-kupu yang dimilikinya, ia berkata, “Tato kupu-kupu ini buat pengingat aku dan caraku mengekspresikan diri di mana aku sudah melewati fase nggak benarku dan aku sekarang sudah lebih baik, walaupun belum sempurna seutuhnya,” tuturnya.

Ia juga beranggapan bahwa tato kupu-kupu sekaligus menjadi simbol kebebasan dirinya sendiri. Lanjutnya, ia mengungkapkan bahwa tato bukan sembarangan, “Tato di badanku totalnya ada 5 atau 6 tato dan semua ada maknanya buat mengekspresikan diri, bukan sembarangan. Karena tato seumur hidup jadi aku gak mau sembarangan menato,” pungkasnya.

Di sisi lain, Yoga mengungkapkan makna dari beberapa tato yang ada di tubuhnya.

“Setiap tato bermakna kepercayaan kuno. Di tangan kiri mitologi Jepang dan di kaki kanan mitologi Nordik,” tuturnya.

Tato merupakan bentuk ekspresi diri. Theo Fabri dan Mas Josh sangat setuju dengan pernyataan tersebut.

Mas Josh berujar bahwa orang jarang membuat tato hanya karena gabut (bosan), “Mereka datang saat senang, saat sedih, saat tidak bisa berekspresi dengan kata-kata,” katanya.

Di sisi lain, mahasiswa kerap kali masih dianggap sebagai anak tanggungan orang tua secara akademik. Pandangan orang tua berbeda-beda terhadap anak-anaknya yang bertato. Fitri Aulia memiliki pengalaman positif dengan keluarganya. Ia mengatakan bahwa orang tuanya tetap memperbolehkan dan mendukung.

“Bahkan mamaku sempat membayari beberapa tato yang aku buat karena dia mengapresiasi dan mendukung apa yang aku inginkan,” ujar Fitra Aulia.

Di sisi lain, Yoga memiliki pengalaman negatif dengan reaksi orang tua terhadap tatonya.

“Terkejut, agak kecewa, tapi pada akhirnya ini pilihanku dan aku pun yang perlu bertanggung jawab atas pilihanku,” tutur Yoga.

Pandangan mahasiswa saat ini mengenai tato cenderung sudah meninggalkan stigma negatif. Menurut Fransisca Fiorentina atau kerap disapa Irine, seorang mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, sebagai seorang seniman, ia juga memandang tato sebagai sebuah seni yang medianya berbeda dari yang lainnya, yaitu kulit tubuh manusia.

Ia berujar, “Your body is your choice. Sekarang, sih, aku lihat orang tatoan, teman-temanku juga banyak yang tatoan, itu sama sekali nggak ada pikiran negatif ke mereka. Asalkan mereka tetap bertanggung jawab dengan kewajiban sebagai mahasiswa dan nggak melalaikannya hanya demi tato, ya, nggak masalah sama sekali,” katanya.

Mengenai stigma sosial yang ada terhadap tato, Fitra Aulia masih pernah mendapat pengalaman negatif di kampus, “Teman kelas ada yang pernah gibahin aku karena aku tatoan,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia juga mengalami cemoohan di media sosial, “Sempat ada obrolan dari orang ke orang di media sosial, tetapi, ya, aku nggak mau ambil pusing,” ujarnya.

Ia tidak mau terlalu memikirkan terkait stigma negatif yang masih beredar di lingkungan sosialnya. Di sisi lain, ia lebih suka memikirkan tentang apresiasi-apresiasi positif dari teman-temannya.

“Aku sendiri setiap bertemu orang, mereka impressed dengan tatoku, pada notice, dan aku jadi senang. Mereka lebih sering kepo kepingin tahu apa artinya, berapa harganya, berapa sakitnya (pain level). Jadi aku senang cerita tentang pengalamaku pas sedang menato atau makna tatonya,” tutur Fitra Aulia.

Perubahan persepsi akan tato di masyarakat Indonesia telah melalui fase suramnya meskipun tidak berubah 180 derajat ke arah positif. Menurut Irine, media merupakan salah satu tempat pembentukan persepsi negatif mengenai tato kepada masyarakat Indonesia.

“Orang mungkin pertama kali lihat tato itu di TV seperti anak-anak punk dan jalanan yang kriminal dan jorok,” tutur Irine.

Lebih lanjut, ia menyatakan “orang-orang nggak sedari awal melihat tato di tempat-tempat yang baik-baik saja, selalu diidentikkan dengan hal buruk dari apa yang mereka lihat dari media,” pungkasnya.

Menurut Yoga, ”Kebanyakan besar (orang) masih memandang positif, ketika aku punya tato, itu menjadikan sebuah tantangan bagiku untuk tidak berperilaku buruk, karena menurutku itu stigma lama yang sudah terbangun di Indonesia, dan dengan usaha kecilku, aku mencoba untuk mengubah stigma itu menjadi hal yang positif.”

Selain itu, Mas Josh mengungkapkan bahwa pandangan orang saat ini sudah cenderung positif dan tidak menghakimi orang bertato.

“Saat ini sepertinya sudah tidak seperti dulu, orang sudah bodoh amat dengan tato dan stigma negatifnya. Tato dibuat mengekspresikan diri dengan kekerenan desain yang mengungkapkan citra dari diri si orang tersebut,” ungkapnya.

Di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya sendiri, para dosen cenderung tidak terlalu menghiraukan mahasiswa atau mahasiswi yang bertato.

Akan tetapi, Fitra Aulia berkata, “Sebenarnya ada beberapa dosen yang lebih sensitif mengenai tato dibanding yang lainnya, tetapi mereka tetap tidak terlalu menghiraukan atau bahkan menghakimi,” ujarnya.

Yoga juga menyampaikan pengalamannya saat di kelas, “Ada teman sekelas yang belum kenal waktu itu, dia cerita ke aku kalau dulu dia mengira aku orangnya seram dan dingin, stigma negatif masih bisa ada di orang yang memang tidak biasa terpapar dengan lingkungan orang bertato."

“Cuma setelah sudah kenal ternyata tidak, dosen pun juga pernah kaget ternyata aku aktif di kelas, walaupun dengan tampilanku yang tidak meyakinkan seperti ini,” tutur Yoga.

Meskipun masih ada stigma negatif yang melekat pada tato di kalangan masyarakat, perubahan persepsi mulai terlihat di kalangan mahasiswa Yogyakarta.

Seni tato kini lebih dihargai sebagai bentuk ekspresi diri yang unik dan personal. Dengan dukungan dari seniman tato dan komunitas yang semakin inklusif diharapkan agar mengubah pandangan masyarakat terhadap tato ke arah yang semakin positif.

Melalui perjalanan seni ini, mahasiswa tidak hanya menemukan cara baru untuk mengekspresikan diri, tetapi juga mempromosikan keberagaman dan penerimaan dalam masyarakat yang lebih luas.

Untuk ke depannya, selalu penting untuk terus mengedukasi masyarakat tentang makna di balik tato sehingga bisa mengurangi stigma yang ada. Dengan begitu, setiap individu dapat merasa lebih bebas dalam mengekspresikan dirinya tanpa takut dihakimi.

Artikel ini merupakan hasil dari liputan pribadi – Theo Fabri dan Mas Josh (Seniman Tato), Fitra Aulia, Yohanes Yoga, dan Fransisca Fiorentina (Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Frances Tjhang