Transformasi pendidikan membutuhkan evaluasi menyeluruh, integrasi teknologi yang adil, serta pendekatan yang mengedepankan keadilan dan keberagaman kemampuan siswa.
Mengurai Masalah dalam Ujian Nasional Berbasis Komputer
Ujian Nasional (UN) berbasis komputer telah menjadi simbol transformasi digital dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan transparansi dan efisiensi.
Namun, di sisi lain, ketimpangan akses infrastruktur teknologi, kesiapan sumber daya manusia (terutama guru), dan relevansi penilaian terhadap potensi siswa menimbulkan tantangan besar.
UN berbasis komputer menjadi sebuah ujian bagi siswa dan juga bagi pendidikan, mereka harus bergerak seirama dalam menghadapi perubahan.
Ketimpangan Teknologi: Ujian Nasional dan Masalah Infrastruktur
Ketika Ujian Nasional berbasis komputer diluncurkan, harapannya mampu membawa pendidikan Indonesia ke era baru. Namun, kenyataan di lapangan justru menampilkan kesenjangan yang mencolok.
Di daerah perkotaan, akses internet cepat, laboratorium komputer modern, dan pelatihan intensif untuk guru menjadi modal utama keberhasilan ujian ini.
Sebaliknya, di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), cerita yang muncul sangat berkebalikan. Banyak sekolah kekurangan perangkat komputer, internet yang kurang atau bahkan tidak memadai, bahkan belum terdapat akses listrik. Hal ini menciptakan ketimpangan besar antara siswa di kota dan di desa dalam hal kesiapan menghadapi ujian.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan moral: Apakah adil menilai seluruh siswa di Indonesia dengan keadaan semacam ini?
Perspektif Guru: Pahlawan yang Terjebak di Antara Teknologi dan Kurikulum
Guru adalah ujung tombak pendidikan, namun ironisnya banyak dari mereka yang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan kebijakan besar seperti pelaksanaan UN berbasis komputer. Mereka mengeluhkan kurangnya pelatihan teknis terkait teknologi pendidikan.
Dari sisi lain, tekanan pada guru untuk memastikan keberhasilan siswa menghadapi ujian ini juga sangat tinggi. Dalam beberapa kasus, guru merasa harus "melatih" siswa untuk sekadar lulus ujian, bukan untuk memahami materi secara mendalam.
Situasi ini tidak hanya membebani guru secara emosional tetapi juga mengalihkan fokus pendidikan dari pembelajaran kreatif menjadi sekadar mengejar angka.
Ada pula kekhawatiran bahwa ujian berbasis komputer mengubah peran guru menjadi sekadar fasilitator teknis. Dengan beban kurikulum yang terus bertambah, tanpa adanya upaya memberdayakan guru, UN berbasis komputer justru akan memperburuk kualitas pendidikan Indonesia.
Alternatif Penilaian yang Holistik: Menuju Pendidikan yang Adil dan Relevan
Penilaian pendidikan tidak seharusnya hanya terfokus pada hasil ujian, apalagi yang dilakukan dalam waktu singkat seperti UN. Pendidikan adalah perjalanan panjang yang tidak bisa dinilai dari satu atau dua hari ujian.
Sistem pendidikan yang lebih holistik seharusnya mencakup:
1. Penilaian Proyek: Mengukur kemampuan siswa dalam memecahkan masalah nyata.
2. Portofolio: Mendokumentasikan perkembangan siswa dalam berbagai aspek, seperti seni, olahraga, atau penelitian.
3. Ujian Adaptif: Tes berbasis komputer yang menyesuaikan tingkat kesulitannya dengan kemampuan siswa, sehingga memberikan gambaran kemampuan yang lebih akurat.
Harapannya melalui pendekatan seperti ini, tidak hanya mengurangi tekanan pada siswa, tetapi juga memungkinkan mereka untuk menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya. Hal ini penting karena setiap siswa memiliki keunikan dan potensi yang tidak dapat diukur melalui satu jenis ujian saja.
Membangun Pendidikan yang Berkeadilan
UN berbasis komputer adalah salah satu langkah modernisasi dalam pendidikan Indonesia. Namun, tanpa persiapan yang matang dan pendekatan yang inklusif, sistem ini justru dapat memperburuk ketimpangan pendidikan.
Pendidikan yang baik tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai seperti integritas, kreativitas, dan keadilan diajarkan dan dipraktikkan.
Masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada kemampuan kita untuk beradaptasi tanpa melupakan prinsip dasar bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk belajar dan berkembang.
Sebagai orang tua, guru, atau bahkan pembuat kebijakan, kita memiliki peran untuk memastikan pendidikan tidak hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga menjadi wahana untuk membangun masa depan yang lebih baik.
"Pendidikan yang merata, berbasis keadilan, serta mencerminkan potensi siswa yang sebenarnya adalah jalan menuju bangsa yang lebih maju."
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Urgensi Literasi Digital: Cegah Tren 'Mengemis Digital'
-
Pro dan Kontra: Kebijakan Cukai untuk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, Benarkah Efektif?
-
Bonus Demografi Indonesia di Tangan Milenial dan Gen Z, Apakah Mereka Siap Menerima Tantangan?
-
Judi Online dan Remaja: Finansial Kapital yang Dipertaruhkan di Dunia Maya
-
Transisi Energi Biofuel di Indonesia: Solusi atau Masalah?
Artikel Terkait
-
Hikayat Sarjana di Mana-mana
-
Adik Kim Jong Un Tuding Korea Selatan Lakukan 'Hal Kotor', Hubungan Seoul dan Pyongyang Semakin Memburuk
-
Viral Guru Honorer Belasan Tahun Digaji Rp200 Ribu Kini Lolos Sertifikasi
-
Masa Lalu vs Masa Depan Ayus? Begini Beda Pendidikan Ririe Fairus dan Nissa Sabyan
-
Viral Guru Honorer Ganti Sepatu Usang Siswa dengan yang Baru Banjir Doa: Berkah Rezekinya
Kolom
-
Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?
-
Hikayat Sarjana di Mana-mana
-
Jebakan Maskulinitas di Balik Tren Video Laki-laki Tidak Bercerita
-
Membedah Batasan Antara Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian
-
Sadbor sebagai Duta Anti Judi Online: Paradoks Makna Pemberian Gelar
Terkini
-
Irene Red Velvet Bawa Kegembiraan Lewat Lagu Ceria di Album Like A Flower
-
Move on dari Jepang, Timnas Indonesia Bidik Kemenangan Lawan Arab Saudi
-
Mahasiswa Bisnis Perjalanan Wisata UGM Gelar Olimpiade Pariwisata #13 Tingkat Nasional
-
Film Terbaru Star Wars Batal Tayang 2026, Resmi Diganti Film Ice Age 6
-
Keren! aespa Borong 2 Grand Prize di Korea Grand Music Awards 2024