Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Ilustrasi situasi rapat di sebuah gedung (Unsplash.com/Marco Oriolesi)
Davina Aulia

Kita hidup di zaman ketika berbagai masalah kian menumpuk seperti bayangan yang tak pernah surut. Ketimpangan sosial ekonomi semakin nyata, ruang publik dipenuhi keresahan politik, dan suara-suara kritis kerap berakhir dibungkam oleh mekanisme hukum dan tekanan digital yang tak kasat mata.

Wacana politik yang berkembang akhir-akhir ini, termasuk diskusi tentang bentuk baru pemilihan kepala daerah dan narasi kebebasan berpendapat yang kian sempit, menjadi seri tanda tanya besar tentang arah demokrasi Indonesia.

Ke mana arah negeri ini ketika ruang kebebasan yang semestinya dijaga mulai tergerus? Apakah ini sekadar dinamika politik biasa atau justru pertanda kemunduran demokrasi yang lebih serius?

Tulisan ini tidak semata menilai satu peristiwa, tetapi mencoba membuka ruang diskusi dan refleksi atas dinamika yang kita saksikan bersama.

Demokrasi bukan hanya soal pemilu atau pilkada, tetapi tentang bagaimana kekuasaan dijalankan, bagaimana kritik diperlakukan, dan bagaimana hukum berlaku setara bagi semua warga negara.

Menyusutnya Ruang Kebebasan Berekspresi

Salah satu indikator kemunduran demokrasi adalah ketika kebebasan berekspresi yang semestinya dilindungi justru dibatasi, baik oleh hukum maupun kekuatan non-formal lainnya. Kebebasan ini seharusnya menjadi salah satu fondasi utama demokrasi yang sehat.

Ketika seorang warga negara berani mengemukakan pendapatnya atau melontarkan kritik terhadap kebijakan publik, seharusnya ia mendapat ruang yang aman untuk disampaikan. Namun, kenyataannya sering kali berbeda.

Dalam beberapa kasus terkini, tindakan terhadap individu yang menyuarakan kritik justru berujung pada intimidasi digital, tekanan sosial, hingga proses hukum yang panjang dan melelahkan.

Organisasi HAM internasional bahkan mengingatkan bahwa serangan terhadap kebebasan sipil seperti ini bisa menjadi pertanda kemunduran serius dalam iklim kebebasan berekspresi di Indonesia.

Mereka menegaskan bahwa kritik yang sah tidak seharusnya dijawab dengan pembungkaman atau represi, tetapi justru perlu dijaga sebagai bagian dari demokrasi yang hidup dan dinamis.

Ketika kebebasan berpendapat menjadi hal yang mesti dipertaruhkan, lalu apakah demokrasi benar-benar melindungi suara rakyat, atau justru menyurutkannya?

Hukum yang Tidak Selalu Melindungi Semua

Sebuah demokrasi ideal adalah demokrasi yang menegakkan hukum secara adil dan setara. Hukum bukan alat untuk mengekang, melainkan pelindung bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Namun, dalam konteks demokrasi Indonesia masa kini, ada kecenderungan di mana hukum dipandang sebagai instrumen untuk meredam kritik dan membungkam suara yang berbeda.

Ketika hukum tidak lagi menjadi alat netral yang melindungi semua pihak, tetapi dipersepsikan sebagai alat bagi mereka yang berkuasa, maka makna demokrasi sebagai pemerintahan rakyat turut tergerus.

Hukum yang timpang akan menimbulkan ketidakpercayaan, menghantui ruang publik, dan menutup peluang diskusi yang sehat.

Demokrasi Versus Otoritarianisme 

Kemunduran demokrasi tidak terjadi secara dramatis seperti kudeta militer atau pembubaran parlemen. Kemunduran ini tampak sedikit demi sedikit melalui keputusan kebijakan yang tampak sah secara struktural tetapi pada inti-nya mengikis nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Ini yang kini sering disebut dengan otoritarianisme yaitu sebuah corak kekuasaan yang tidak perlu menunjukkan otoritasnya secara terang-terangan, tetapi cukup melakukan penguatan kontrol atas narasi publik, pembatasan ruang kritik, dan penguatan struktur yang menempatkan kekuasaan elit di atas suara rakyat.

Perubahan semacam ini jauh lebih berbahaya karena sering tidak disadari oleh banyak orang. Perubahan ini bergerak dalam wacana resmi, dalam debat kebijakan, dan sering dibungkus dengan alasan efisiensi atau stabilitas politik.

Padahal, ketika kekuasaan semakin terpusat dan ruang perubahan semakin sempit, demokrasi yang sehat lambat laun tergantikan oleh pola pemerintahan yang lebih top-down dan kurang partisipatif.

Tantangan Kita Bersama

Potret demokrasi Indonesia saat ini menyisakan tantangan besar bagi semua unsur masyarakat. Demokrasi bukan warisan yang sudah selesai dibangun lalu ditinggalkan melainkan adalah proses konstan yang perlu dirawat, dikawal, dan diuji setiap hari.

Ketika ruang kritik menyusut, hukum tidak selalu adil, dan corak otoritarianisme mulai menguat dalam wujud yang sulit terlihat.

Demokrasi sejati hadir tidak hanya dalam slogan atau retorika politik, tetapi dalam pengalaman harian rakyat. Bagaimana rakyat bisa untuk berbicara bebas tanpa takut, akses terhadap keadilan yang setara, dan ruang publik yang menghormati perbedaan.

Buku, kritik, suara rakyat adalah denyut nadi demokrasi yang harus dijaga dengan penuh kesadaran. Jika kita lengah, demokrasi bisa hilang bukan karena musuh dari luar, tetapi karena kita membiarkannya merosot dari dalam.