Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi politik [pexels/Elemen5 Digital]

Ketika demokrasi bertujuan menciptakan pemerintahan yang mewakili suara rakyat, hadirnya dinasti politik di panggung kekuasaan justru memperkuat semangat tersebut.

Dinasti politik, yang merujuk pada praktik melanggengkan kekuasaan di dalam keluarga tertentu, semakin mengakar di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan keadilan dalam persaingan politik, tetapi juga mengancam proses regenerasi kebijakan dan kemajuan demokrasi.

Dinasti politik biasanya tumbuh subur di daerah dengan struktur kekuasaan yang sangat tersentralisasi. Sosok pemimpin yang dominan sering menggunakan pengaruhnya untuk membuka jalan bagi kerabatnya, baik melalui koneksi maupun manipulasi kebijakan.

Akibatnya, mereka yang terpilih bukan selalu memiliki kompetensi terbaik, melainkan sekadar “pewaris takhta” yang menjalankan visi keluarga. Dengan kata lain, dinasti politik menciptakan oligarki baru, bukan demokrasi sejati.

Apa dampaknya bagi regenerasi kepemimpinan? Dengan dominasi keluarga tertentu, ruang bagi politisi muda berbakat dari latar belakang yang berbeda menjadi semakin sempit. Ini berbahaya karena membatasi kebijakan diversifikasi ide dan inovasi yang sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman.

Ketika pemimpin hanya berasal dari lingkaran yang sama, kebijakan publik sering kali hanya menguntungkan kelompok tersebut tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat luas.

Lebih jauh lagi, dinasti politik juga sering menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Banyak kasus di mana keluarga petahana menggunakan kekuasaannya untuk memonopoli akses ekonomi, menyalahgunakan anggaran daerah, atau memprioritaskan proyek-proyek yang menguntungkan kelompok mereka.

Bukankah ini tanda korupsi yang sistematis? Jika dibiarkan, kepercayaan rakyat terhadap demokrasi akan terkikis, melemahkan partisipasi publik di masa depan.

Namun, menghapus dinasti politik bukanlah hal yang mudah. Kekuatan finansial dan jaringan yang dimiliki keluarga-keluarga ini menjadi penghalang utama bagi munculnya pesaing baru.

Apalagi regulasi seperti regulasi masa jabatan atau aturan nepotisme sering kali tidak efektif karena lemahnya penegakan hukum. Jadi, bagaimana kita bisa memutus siklus ini jika sistem terus memperkuat mereka yang sudah berdaya?

Masyarakat memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini. Pendidikan politik dan kesadaran akan pentingnya memilih berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan atau popularitas, harus ditingkatkan.

Selain itu, media juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan liputan yang transparan tentang calon pemimpin, sehingga masyarakat dapat menilai secara objektif.

Keberadaan dinasti politik adalah alarm bagi demokrasi Indonesia. Jika demokrasi ingin tetap hidup dan relevan, maka struktur kekuasaan harus memberikan ruang yang adil bagi setiap individu untuk berkontribusi.

Apakah kita akan membiarkan demokrasi dikuasai oleh segelintir keluarga, atau memilih untuk membuka jalan bagi regenerasi yang lebih inklusif? Jawabannya ada di tangan kita semua.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah