Kemajuan teknologi seperti internet dan media sosial memang membuka banyak peluang. Namun sayangnya, tidak semua orang siap menghadapi tantangan di balik peluang tersebut.
Kurangnya literasi digital masih menjadi masalah besar, bahkan di tengah masyarakat yang semakin bergantung pada teknologi. Fenomena ini bukan hanya soal kesenjangan generasi tua dan muda, melainkan juga soal pola pikir dan kesadaran.
Coba kita perhatikan, betapa seringnya orang membagikan informasi tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Hoaks, kebencian, dan berita clickbait menjadi makanan sehari-hari di dunia maya.
Hal ini terjadi karena banyak pengguna teknologi yang tidak tahu atau tidak peduli bagaimana cara menyaring informasi. Alih-alih menjadi pengguna yang bijak, mereka malah terjebak dalam corong informasi palsu.
Masalah literasi digital juga terlihat dari cara orang menggunakan media sosial. Banyak yang hanya fokus pada jumlah suka atau pengikut, tapi mengabaikan dampak konten yang mereka bagikan.
Padahal, konten yang tidak dipikirkan matang-matang bisa menjadi bumerang, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Contohnya, unggahan yang mengandung privasi berlebihan atau komentar negatif yang berakhir pada cyberbullying.
Salah satu penyebab kurangnya literasi digital adalah kurangnya edukasi. Teknologi berkembang begitu cepat, sementara sistem pendidikan sering kali tertinggal.
Literasi digital belum dianggap penting di banyak sekolah, sehingga generasi muda belajar tentang internet dan media sosial secara otodidak. Sayangnya, pembelajaran otodidak ini sering kali lebih dipengaruhi oleh tren daripada pengetahuan yang benar.
Kurangnya literasi digital tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga masyarakat secara luas. Penyebaran hoaks bisa memicu kepanikan, bahkan konflik sosial.
Sementara itu, ketidaktahuan tentang keamanan digital membuat banyak orang menjadi korban penipuan online, seperti phishing atau kebocoran data pribadi.
Lalu bagaimana solusinya? Semua pihak harus mengambil bagian. Pemerintah perlu memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan. Platform digital juga harus lebih bertanggung jawab dengan menyediakan fitur edukasi dan keamanan yang mudah diakses.
Hal yang tak kalah penting, individu harus mau belajar dan lebih kritis dalam menggunakan teknologi. Jangan hanya menjadi pengguna pasif, tapi jadilah pengguna yang cerdas.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Artikel Terkait
-
Wamen Stella Christie Tak Masalah Mahasiswa-Dosen Pakai AI, Asalkan Tetap Kritis
-
Paylater dan Cicilan: Solusi atau Jalan Pintas Menuju Krisis?
-
Jenis Pekerjaan yang Aman dari Ancaman di Masa Depan
-
6 Cara Pakai Media Sosial yang Aman untuk Kesehatan Mental
-
Cek Fakta: Benjamin Netanyahu Terbaring di Rumah Sakit
Kolom
-
Bahasa Kita Membentuk Dunia: Ubah Cara Bicara, Ubah Lingkungan
-
Mengulik Defender, Pembela yang Kadang Menjadi Target Serta Dampaknya
-
Ternyata, Pelaku Bullying Itu Bukan Selalu Orang Jahat: Kenapa Orang Baik Ikut Terlibat?
-
Budaya Diam di Sekitar Kita: Mengapa Perilaku Bullying Terus Terjadi?
-
Sekolah Apung: Solusi Pendidikan bagi Anak-Anak Pesisir di Daerah Terpencil
Terkini
-
Indonesia Jadi Tuan Rumah FIFA Series 2024: Untung atau Buntung?
-
Komunitas Bermain Yogyakarta "Ruang Pulang Anak Rantau di Kota Pelajar"
-
Bahas Pindah Agama Jika Menikah, Respons Jennifer Coppen Tuai Perdebatan!
-
Ahmad Dhani dan Mulan Jameela Ungkap Alasan Menyentuh Adopsi Bayi Perempuan
-
Timnas Indonesia U-20 Jalani Belasan Uji Coba Jelang Kualifikasi Piala Asia