Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Ilustrasi politik uang [Bawaslu]

"Satu suara, satu amplop." Ungkapan ini mungkin terdengar seperti gurauan, namun sayangnya telah menjadi realita yang mengakar dalam praktik Pilkada di negeri kita.

Di tengah gegap gempita pesta demokrasi, politik uang mengendap-endap bagai hantu yang menghantui kemurnian suara rakyat.

Fenomena ini terutama merajalela di daerah-daerah yang jauh dari sorot media, kesadaran politik masih berperang dengan kebutuhan sehari-hari.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebenarnya telah memagari praktik ini dengan ancaman pidana yang tegas. Pasal 73 undang-undang tersebut berdiri kokoh sebagai benteng pertahanan melawan politik uang.

Namun sayangnya, praktik terlarang ini terus menemukan cara untuk bertahan. Kadang berkedok bantuan sosial, kadang bersembunyi di balik "kepedulian" yang sarat kepentingan.

Temuan survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2024 membuka mata kita pada sebuah ironi yang menyesakkan: 53,1 persen pemilih menganggap politik uang sebagai hal yang lumrah dan bahkan efektif.

Dalam proses demokrasi yang seharusnya menjadi ajang kompetisi gagasan dan kompetensi, kehadiran politik uang telah menciptakan ketidakadilan.

Calon dengan modal besar mendapat keuntungan yang tidak proporsional, sementara masyarakat ekonomi lemah sering terpaksa mengorbankan idealisme mereka demi memenuhi kebutuhan mendesak.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk kebijakan penghentian sementara bantuan sosial dari APBD selama masa Pilkada.

Namun praktik politik uang terus berkembang dalam bentuk-bentuk yang lebih terselubung. Bahkan di beberapa daerah, praktik ini telah dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari proses politik.

Pendidikan politik menjadi kompas yang harus kita pegang erat. Bukan sekadar mengenal tata cara pencoblosan, tetapi memahami bahwa setiap pilihan kita adalah investasi untuk lima tahun ke depan.

Ketika masyarakat mulai menganalisis rekam jejak calon pemimpin dengan kritis, ketika janji-janji manis kampanye tidak lagi menjadi penentu pilihan, saat itulah kita bisa berharap akan hadirnya pemimpin-pemimpin yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan rakyat.

Masa depan demokrasi kita sedang dipertaruhkan. Di satu sisi, godaan politik uang masih mengintai dengan rayuannya yang menggiurkan. Di sisi lain, kesadaran politik mulai tumbuh perlahan namun pasti.

Pilihan ada di tangan kita: akankah kita membiarkan suara nurani kita dibungkam oleh gemerincing rupiah, atau bangkit menjadi pemilih yang cerdas dan berintegritas?

Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kesadaran kolektif kita sebagai pemilih. Tantangan terbesar saat ini adalah mengubah paradigma masyarakat dari orientasi keuntungan jangka pendek menuju pemahaman tentang pentingnya memilih pemimpin yang berkualitas.

Kita perlu memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi sistem demokrasi yang sehat, bukan praktik politik yang mengandalkan kekuatan modal semata.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta