Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ernik Budi Rahayu
Ilustrasi Pasangan Muda (Freepik/jcomp)

Tak bisa dipungkiri fenomena childfree memang selalu jadi perdebatan khalayak umum.

Merujuk data dari kajian Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) dalam artikel DATAin Edisi 2023 berjudul "Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia", sekitar 71.000 perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah menikah namun belum memiliki anak, dan tidak menggunakan alat kontrasepsi, memilih untuk hidup tanpa anak.

Angka yang cukup fantastis gak sih? Menurut saya pribadi, memang tak ada yang salah dengan childfree. Karena, childfree adalah sebuah pilihan yang boleh dilakuan khususnya, perempuan ya!

Harusnya kita menganggap fenomena ini sama seperti memilih menu makanan—alias ada yang suka pedas, ada yang pilih manis, dan ada yang nggak mau makan nasi sama sekali. Apa masalahnya? Sama seperti itu, punya anak atau tidak adalah preferensi pribadi, dan gak bisa jadi standar universal.

“Tapi kan, punya anak itu kodrat perempuan?”

“Nanti kalau gak punya anak, siapa yang mau ngurus?”

Kira-kira begitu lah- beberapa kalimat klasik yang diungkapkan oleh publik yang menentang pilihan perempuan untuk childfree ini. Seakan-akan hidup perempuan cuma berputar di dapur, sumur, dan kasur.

Padahal, hidup seorang manusia baik punya hak untuk menentukan pilihan sendiri. Apalagi saat ini perempuan modern punya kesadaran tentang sulitnya menjalankan peran sebagai ibu.

Childfree itu Pilihan, Bukan Pemberontakan!

Di tengah stigma dan kehidupan masyarakat yang saat ini masih memegang teguh nilai-nilai tradisional, keputusan seorang perempuan untuk childfree sering kali menjadi kontroversi.

Banyak perempuan yang memilih childfree, bahkan sampai data mengungkapkan angka 71.000 dianggap sebagai sebuah bentuk pemberontakan.

Perempuan dianggap memberontak pada norma atau tradisi yang telah ada di Indonesia. Padahal, menurut saya pribadi, childfree adalah pilihan yang sangat personal dan matang, karena pasti dilakukan dengan pertimbangan yang lama. Childfree bukan keputusan gegabah apalagi bentuk protes terhadap budaya!

Perempuan dari dulu hingga kini, memang punya kebebasan untuk menentukan hidup mereka sendiri, termasuk memilih keputusan untuk tidak menjadi ibu.

Standar kebahagiaan tidak selalu berarti memiliki anak, kebahagiaan bisa datang dari mana saja termasuk karier, hubungan yang sehat, petualangan hidup, atau sekadar menjalani hidup tanpa tanggung jawab membesarkan anak.

Keputusan perempuan untuk tidak menjadi ibu, biasanya juga diambil dari pemahaman perempuan bahwa mereka merasa tidak layak untuk menjadi ibu. Ekonomi dan mental yang tidak stabil, serta kesiapan mereka juga menjadi alasan di balik pengambilan keputusan ini.

Walaupun, keputusan ini sering dilabeli ‘egois’ oleh mereka yang belum memahami perspektif tersebut. Nyatanya, seperti yang saya uraikan pilihan ini didasari alasan yang matang dan cukup rasional.

Maka, penting untuk menyadari bahwa childfree bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan keputusan otonom yang sah.

Stop Jadi Polisi Rahim!

Salah satu tantangan terbesar bagi perempuan childfree adalah komentar-komentar sosial yang tidak diinginkan. Komentar-komentar tersebut yang seakan-akan menormalisasi orang lain untuk memberikan hak kepada orang lain untuk mengatur rahim perempuan.

Pola pikir semacam ini, yang mencerminkan kebiasaan masyarakat yang sering ikut campur dalam urusan pribadi, terutama terkait tubuh perempuan sendiri.

Perlu digarisbawahi, perempuan yang memilih childfree pasti sudah mempertimbangkan baik-baik risiko dan konsekuensi dari keputusan mereka. Maka penting bagi orang-orang yang nyinyir untuk tidak intervensi keputusan ini.

Penting bagi kita untuk berhenti menjadi ‘polisi rahim’ yang sibuk mengatur pilihan hidup orang lain. Biarkan perempuan memutuskan sendiri, karena hanya diri merekalah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hidup mereka.

Parahnya, komentar-komentar tersebut juga tidak hanya datang dari masyarakat tetapi juga dari pemerintah yang menyayangkan fenomena tersebut karena adanya anak menjadi sebuah penentu pembangunan keberlanjutan. Sayangnya, pemerintah lupa bahwa kondisi ini diciptakan karena ada masalah yang struktural.

Sebut saja, ketimpangan ekonomi yang sedang berlangsung; minimnya kebijakan yang mendukung perempuan bekerja; beban pengasuhan yang dilimpahkan kepada perempuan; kekhawatiran terhadap masa depan dunia karena pengaruh krisis lingkungan.

Tampaknya, masalah-masalah tersebut belum menjadi bahan intropeksi pemerintah untuk membuat langkah perubahan untuk mengatasinya. Namun, fokus ditujukan kepada pribadi perempuan yang membuat pilihan childfree.

Intinya, pemerintah harus segera mengatasi permasalahan-permasalahan itu. Ya, kalau mereka memang ingin serius untuk menekan angka childfree demi pembangunan keberlanjutan.

Bisakah Kita Menghormati Pilihan Perempuan?

Akhir, saya ingin semua orang menghargai pilihan para perempuan. Kita semua harus sadar bahwa tidak semua orang memiliki pandangan yang sama soal pilihan atau kebahagiaan.

Bagi sebagian orang, pilihan untuk menjadi ibu atau orang tua/memiliki anak adalah hal yang menjadi sumber kebahagiaan terbesar saat menjalani kehidupan. Namun, bagi yang lain, kebahagiaan memang bisa ditemukan di jalur lain.

Dengan menghormati perempuan yang memilih childfree, maka dapat kita simpulkan bahwa kita telah mengambil bagian untuk menghargai keberagaman cara pandang terhadap hidup. Kita memang tidak harus selalu setuju dengan pilihan orang lain, tapi bisa kan kita bisa menghormatinya?

Fenomena childfree ini juga bukan ancaman bagi nilai-nilai keluarga. Pilihan ini tidak akan merusak institusi keluarga, melainkan memperkaya perspektif baru bahwa ada keberagaman cara untuk menjalani hidup dan memaknai hidup.

Keputusan untuk childfree juga bukan sebuah pemberontakan terhadap norma, melainkan childfree adalah ekspresi kebebasan perempuan untuk menentukan hidupnya sendiri. Dalam menjalani dunia yang ideal, tidak ada yang perlu merasa dihakimi hanya karena memilih jalur hidup yang berbeda.

Jadi, mari berhenti jadi ‘polisi rahim’ dan cobalah untuk menghormati pilihan perempuan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ernik Budi Rahayu