Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Safina Alaydrus
Ilustrasi UMP Jogja. [Ilustrator Suara.com/Ema Rohimah]

Ekonomi menjadi salah satu permasalahan yang selalu dihadapi oleh seluruh masyarakat Indonesia. 

Ekonomi selalu menjadi isu utama dalam kehidupan masyarakat, salah satunya menyangkut UMP (Upah Minimum Provinsi) yang sering memicu polemik karena mencerminkan kesenjangan antara kebutuhan hidup layak buruh/pekerja dengan kemampuan finansial pengusaha.

UMP yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan refleksi dari kebutuhan hidup dan kemampuan finansial perusahaan. 

Sering kali UMP memicu aksi protes dari kalangan buruh/pekerja yang merasa bahwa jumlah UMP tidak sepenuhnya merefleksikan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak.

Hal ini bukannya tak berdasar, meskipun UMP di suatu daerah tergolong cukup tinggi, tak menutup kemungkinan jika para pekerja merasa bahwa gaji yang didapatkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mengingat tingginya harga sandang, pangan, dan papan saat ini. 

Selain itu, alasan utama sering terjadinya aksi protes atau demonstrasi dari kalangan buruh/pekerja dikarenakan oleh UMP yang tidak selalu naik seiring dengan inflasi kenaikan biaya hidup. 

Maka, tujuan utama hadirnya aksi protes atau demonstrasi tersebut adalah untuk menyejahterakan hidup pekerja melalui kerelevanan UMP untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Salah satu contoh demo besar-besaran di Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan UMP adalah demo Omnibus Law pada 2020 lalu. 

Demo yang terjadi di 18 provinsi Indonesia ini didasarkan oleh kemunculan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja yang menyederhanakan regulasi di berbagai sektor untuk mempermudah proses investasi serta menciptakan lapangan kerja yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa area yang terdampak Omnibus Law, mulai dari pajak dan investasi, lingkungan hidup, hingga perburuhan. 

Kehadiran Omnibus Law rupanya tak disambut baik oleh masyarakat. Omnibus Law menjadi sumber demo sebab banyak kalangan merasa terancam oleh beberapa perubahan yang terdapat di dalamnya.

Secara spesifik, para buruh/pekerja merasa bahwa kehadiran Omnibus Law dapat mengurangi haknya sebagai pekerja, dan justru mempermudah pengusaha untuk mengabaikan hak-hak pekerja. 

Atau dengan kata lain, kehadiran Omnibus Law dirasa lebih berpihak kepada pengusaha daripada pekerja yang lebih perlu disejahterakan dan memerlukan lebih banyak perlindungan.

Salah satu perubahan terdapat dalam Omnibus Law yang menjadi kekhawatiran pekerja selain terkait pesangon, hubungan kerja fleksibel, dan PHK adalah perubahan cara penetapan UMP yang hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi saja.

Sebelumnya, penetapan UMP tidak hanya mempertimbangkan ekonomi dan inflasi saja, melainkan juga turut memperhatikan survei kebutuhan hidup layak (KHL) sehingga dianggap lebih realistis.

Para pekerja khawatir apabila Omnibus Law berhasil ditetapkan, akan berdampak pada UMP yang stagnan atau lebih rendah, terutama pada daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi lambat.

Selain itu, demonstrasi di kalangan masyarakat banyak dilakukan sebab proses legislasi yang terkesan sangat cepat dan tertutup, seolah pemerintah tak ingin mendengar suara rakyat dalam pembuatannya.

Sementara itu, pengusaha memiliki argumennya sendiri terkait kehadiran Omnibus Law yang menjadi sumber keresahan pekerja. 

Dilansir dari katadata.co.id, pada 2023 lalu Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menilai bahwa sebaiknya pemerintah menaruh perhatian lebih pada perhitungan upah riil daripada upah minimum.

Bob sebagai perwakilan pengusaha juga berargumen bahwa pengusaha harus menghadapi kenaikan biaya produksi dan bahan baku di pasaran. 

Maka, menurutnya kenaikan upah minimum yang tinggi akan turut berimbas pada kenaikan harga kepada konsumen.

Dampak dari demo terkait dengan Omnibus Law menyentuh hampir seluruh bidang atau aspek kehidupan bermasyarakat. 

Mulai dari buruh yang merasa tidak aman secara ekonomi sebab ketentuan UMP menjadi lebih fleksibel, ketidakpuasan masyarakat dengan kinerja pemerintah yang tidak transparan dan terkesan terburu-buru, hingga berdampak kepada polarisasi masyarakat yang mengambil sisi buruh dan sisi pengusaha-pemerintah. 

Menanggapi permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat saat itu, pemerintah memberikan beberapa upaya resolusi konflik antara buruh/pekerja dengan pengusaha.

Upaya ini hadir dikarenakan pemerintah berusaha untuk menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha untuk mendapatkan fleksibilitas dalam pengupahan, serta kebutuhan buruh untuk mendapatkan UMP yang layak.

Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan merevisi beberapa bagian dari Omnibus Law agar sesuai dengan aturan dasar.

Selain itu, pemerintah juga berusaha untuk mengklarifikasi isi Omnibus Law pada poin yang dianggap menjadi titik permasalahan. 

Salah satunya adalah Pasal 88A mengenai penetapan UMP yang sebelumnya hanya memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja, disesuaikan dengan melibatkan Dewan Pengupahan Nasional. 

Pemerintah pada akhirnya mempertimbangkan kembali aspek KHL dan keseimbangan antara sektor ekonomi. Hal ini kemudian menjadi jalan pembuka kepada ruang diskusi yang lebih luas di level lokal. 

Pemerintah juga membuka dialog tripartit untuk menjaga komunikasi dengan pihak terkait dengan menyediakan forum khusus seperti Dewan Pengupahan Nasional atau daerah untuk membahas negosiasi UMP, dan mengajak seluruh pihak untuk memberikan masukan sebelum menentukan kebijakan final.

Penulis beranggapan bahwa fokus pemerintah memang menyasar kepada perbaikan dan penyesuaian dibandingkan langsung menghapus Omnibus Law. 

Namun, sekali lagi, langkah-langkah ini terkesan masih dilakukan dengan setengah hati karena belum cukup untuk mengatasi ketimpangan kesejahteraan para buruh/pekerja.

Berkaca dari konflik ini, penulis menganggap bahwa terdapat pelajaran penting yang mampu dievaluasi lebih lanjut oleh pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya. 

Salah satunya adalah ke depannya pemerintah perlu memprioritaskan transparansi dan keterlibatan publik dalam setiap kebijakan yang berdampak besar, agar kesepakatan mampu dicapai secara win-win.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Safina Alaydrus