Di era media sosial yang semakin gak bisa dipisahkan dari urusan kehidupan pribadi, kita semua mafhum betapa gampangnya terperangkap dalam rutinitas menyajikan postingan di beranda media sosial yang seolah bisa membuat hidup kita “dipandang” lebih bermakna, lebih keren, atau hanya untuk menafkahi validitas belaka.
Salah satu trend yang tengah ramai diperbincangkan adalah fenomena memposting ulang video TikTok yang menayangkan kalimat pendek quotable dengan iringan lagu penuh emosional seperti Drunk Text dari Henry Moodier.
Di era perasaan yang terdigitalisasi, quotes mempunyai andil dalam memberi pencerahan dan afirmasi atau hanya sebatas media untuk mewakili suasana perasaan atau kondisi masalah yang dihadapi.
Tak terbantahkan bahwa quotes TikTok kadangkala reflektif, inspiratif bahkan representatif. Tapi, adakah yang menyadari kalau masalah yang tengah dihadapi nggak akan selesai begitu saja hanya dengan mencoba mencari quotes yang relate, mengunduh, lalu memposting ulang di story akun media sosial pribadi?
Kalau cuma itu yang kita andalkan sebagai obat pereda sementara, kita mungkin akan tetap terperangkap pola pikir serupa bahwa setiap dinamika permasalahan yang dihadapi harus dipublikasi tanpa evaluasi.
Quotes TikTok Adalah Candu, Bangkit dan Segera Selesaikan Masalahmu!
Kita semua punya masalah mulai dari hal sepele sampai masalah besar dan krusial seperti bunyi token listrik akhir bulan atau spam telepon debt collector menagih tunggakkan. Kadang, masalah ini memang bikin kita stres dan rasanya gak ada jalan keluar.
Lalu ketika kita tengah larut berselancar di TikTok, datanglah solusi instan dalam bentuk quotes yang mewakili keadaan yang sedang kita hadapi: “Di balik kesusahan, ada kesusahan lain”, “Tidak semua cobaan harus dicobain” atau kalimat penuh penghakiman seperti “Dunia tak pernah berpihak saat akhir bulan!”
Quotes ini memberikan kita kenyamanan instan, tapi kenyataannya, kita tidak sedang melakukan apa-apa untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Tak ubahnya plester, quotes di TikTok hanya menutupi luka secara temporer, tapi tak pernah menyembuhkannya. Kalau kita terus-menerus mencari alternatif rekreasi dalam bentuk quotes relate di TikTok tanpa berupaya menghadapi masalah secara langsung, kita hanya terjebak dalam mugen tsukuyomi: terlelap dalam ilusi semu atas hidup yang ideal tanpa pernah berupaya untuk menikmati setiap dinamika yang tersedia dengan nyata.
Namun di balik polemik yang terjadi, faktanya, kutipan motivasi yang termuat dalam konten TikTok bisa jadi semacam dosis semangat bagi mereka yang tengah berada dalam situasi terpuruk, stress, cemas atau bahkan lagi berjuang dalam situasi yang tak menguntungkan (Czuchry & Dansereau, 2005; Marchinko & Clarke, 2011).
Tak jarang satu kalimat bijak yang relate dapat membuat kita merasa lebih baik, atau setidaknya, sedikit lebih kuat untuk melanjutkan hari. Namun, ada kalanya quotes yang terlalu “optimis” malah nggak relevan dengan kenyataan. Bukannya bikin kita bangkit, kutipan serupa justru membuat kita lebih terperosok ke dalam perasaan yang tak realistis, yang pada akhirnya membuat harga diri makin jatuh (Gokhale, 2012).
Quotes adalah candu! Gejolak hasrat untuk mempublikasi masalah di tengah ekspektasi standar hidup yang disetir trend media sosial telah menciptakan monster besar dalam kepala kita.
Me-repost quotes TikTok yang relate adalah hak asasi manusia, tapi menyadari dosis yang tepat dan berupaya untuk menyelesaikan masalah secara nyata juga keharusan yang tak bisa dikesampingkan.
Terbuai dalam Kutipan, Solusi yang Terpinggirkan
Terdapat sebuah hasil riset menarik yang mengungkapkan bahwa orang yang cenderung menyukai dan membagikan kutipan motivasi di media sosial ternyata mempunyai tingkat kecerdasan atau Intelligence Quotient (IQ) yang lebih rendah.
Mengutip dari Independent.ie, studi berjudul On the Reception and Detection of Pseudo-Profound Bullshit menemukan bahwa mereka yang merasa terinspirasi atau “terangkat” oleh sejumlah kutipan motivasional cenderung mendapatkan skor lebih rendah dalam tes IQ secara keseluruhan.
Bahkan selain itu, penelitian ini juga memperlihatkan bahwa para fans quotes inspirasional lebih rentan mempercayai hal-hal yang tak rasional.
Hal serupa juga sempat diungkapkan dalam makalah bertajuk “Perihal Omong Kosong Sok Dalam” oleh sejumlah peneliti yang dipimpin oleh kandidat Ph.D Gordon Pennycook.
Studi yang dipublikasi di jurnal Judgment and Decision Making (2015) memberikan pandangan tajam perihal temuan ini. Menurutnya, orang-orang yang mudah terbuai dengan kata-kata motivasi biasanya kurang reflektif dan mempunyai kemampuan kognitif yang rendah, seperti dalam berhitung, kemampuan verbal dan kecerdasan secara umum.
Selain itu, mereka juga cenderung lebih mudah kebingungan ketika dihadapkan dengan isu-isu filosofis atau ide-ide konspirasi.
Bahkan, hasil riset ini memperlihatkan bahwa mereka yang terpesona oleh kutipan inspiratif lebih cenderung mempunyai keyakinan kuat pada sejumlah hal yang bersifat paranormal hingga mempercayai teori konspirasi.
Sebagai bahan atau pemantik afirmasi positif untuk membenahi siklus kehidupan yang mulai berantakan quotes di Tiktok sangat layak untuk dimanfaatkan.
Namun meskipun ragam konten kutipan ini menyenangkan dan memberikan semangat sesaat, itu tak cukup untuk menyelesaikan rentetan permasalahan yang terus bergantian berdatangan.
Kendati si kreator memfasilitasi keterwakilan perasaan orang lain lewat sejumlah kontennya, meski dianggap relate, tak semua kutipan dapat digeneralisir dan cocok untuk semua orang dengan ragam karakteristik masalah yang beragam.
Padahal, jawabannya lebih sederhana: selesaikan masalah itu dengan tindakan nyata. Me-repost quotes dari TikTok tak masalah, tapi kita juga mesti sadari bahwa nggak ada yang dapat menghabiskan porsi masalah yang dihadapi selain diri sendiri—bukan dengan sebar-sebar quotes, tapi dengan berani menghadapi kenyataan dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Keberpihakan Media Sosial terhadap Sikap Anti-Korupsi: Harapan dan Realitas
-
Menyoal Kontroversi Vonis Ringan Koruptor dan Keruntuhan Keadilan Publik
-
Generasi Muda dan Desain Demokrasi Digital ke Depan
-
Generasi Muda, Ekonomi Berkelanjutan dan Arah Kebijakan Publik ke Depan
-
Penyebab Kecemasan Bagi Karyawan di Tempat Kerja dan Cara Mengelolanya
Artikel Terkait
-
Viral di TikTok Tas Birkin Versi Walmart, Gaya Mewah dengan Harga Rp1 jutaan!
-
Link Download Lagu DJ Remix TikTok Full Bass Terbaru 2024
-
Bertabur Planet, 5 Fenomena Langit Bisa Dilihat Mata Telanjang Sepanjang Januari 2025
-
Sudah Mualaf, Clara Shinta Temani Orang Tua Kebaktian di Tahun Baru
-
Ulasan Buku Nelangsa: Sekumpulan Kata Mengenai Kegelisahan dan Kerinduan
Kolom
-
Trend We Listen We Don't Judge: Menghargai Perbedaan atau Ajang Bully
-
Anak Muda Indonesia, Kenapa Banyak yang Tak Mau Jadi Petani?
-
Membongkar Akar Korupsi: Apa yang Bisa Dipelajari Generasi Baru?
-
Tekun Belajar Tanpa Bimbel, Apakah Bisa Berprestasi?
-
Gaji Freshgraduate: Realita dan Harapan Anak Muda Indonesia
Terkini
-
Dari Kisah Nyata, Film Pengantin Iblis Eksplorasi Risiko Ritual Terlarang
-
3 Film Korea Beralur Cerita Super Menegangkan yang Pantang Kamu Lewatkan
-
Buku Susahnya Hidup dengan Manusia: Sisi Psikologis Hubungan Antarmanusia
-
Jangan Asal Beli, Ini 8 Hal yang Patut Diperhatikan Sebelum Memilih Powerbank
-
Review Film The Choice: Jatuh Cinta dengan Tetangga Sendiri