Di tengah gegap gempita transformasi digital Indonesia, narasi kemajuan sering kali menepikan satu hal mendasar: kesetaraan akses.
Indonesia memang dikenal sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di Asia Tenggara, tetapi capaian tersebut menyimpan paradoks, terutama ketika kita bicara soal penyandang disabilitas. Mereka adalah kelompok yang hingga hari ini masih berdiri di pinggir ekosistem digital, menunggu pintu inklusivitas yang belum benar-benar terbuka.
Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2020, terdapat lebih dari 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia, meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.
Ironisnya, dari sekitar 17 juta yang berada dalam usia produktif, hanya 7,6 juta yang bekerja. Fakta ini tak hanya menegaskan ketimpangan kesempatan, tetapi juga mengundang pertanyaan kritis: apakah ekosistem sosial kita memang telah mengakomodasi keberagaman, atau justru meneguhkan eksklusivitas dalam wajah yang lebih modern?
Sering kali, perhatian terhadap kelompok disabilitas hanya berhenti pada retorika. Inklusi disematkan sebagai slogan dalam kebijakan atau kampanye, tapi tak benar-benar menjadi praktik.
Di era digital sekalipun, penyandang disabilitas masih harus berhadapan dengan hambatan struktural—baik dalam bentuk keterbatasan fisik, minimnya infrastruktur aksesibilitas, hingga ketiadaan ruang partisipasi dalam proses perancangan teknologi. Ekosistem digital yang seharusnya menjadi jembatan justru menjadi dinding tinggi yang sulit dipanjat.
Disabilitas masih dianggap sinonim dengan ketidakmampuan, dan cara pandang inilah yang menghambat perubahan. Padahal, media sosial seperti Instagram atau platform digital lainnya bisa menjadi kanal perjuangan yang strategis bagi penyandang disabilitas.
Sebuah studi oleh Voykinska dkk. (2016) membuktikan bahwa media sosial bukan sekadar alat komunikasi bagi penyandang disabilitas netra, tapi juga medium untuk membangun identitas, menjaga relasi, hingga menuntut keadilan.
Namun, jalan menuju kesetaraan digital masih panjang. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, hanya 34,89% penyandang disabilitas yang memiliki akses terhadap telepon seluler atau laptop.
Bandingkan dengan kelompok non-disabilitas yang angkanya mencapai 81,61%. Ini bukan sekadar soal alat, melainkan cerminan dari kompleksitas ketimpangan—yang mencakup ekonomi, pendidikan, hingga rendahnya literasi teknologi.
Lebih dari sekadar menyediakan perangkat atau jaringan, yang mendesak dilakukan adalah membangun kesadaran sosial. Inklusi digital tidak mungkin tercapai tanpa inklusi sosial.
Masyarakat harus lebih dulu menghapus stigma dan membuka ruang dialog untuk memahami kebutuhan spesifik penyandang disabilitas. Tanpa itu, produk digital yang dibangun hanya akan berbicara kepada mayoritas yang “normal”, dan meninggalkan mereka yang paling membutuhkan keberpihakan.
Di sisi lain, pemberdayaan kelompok disabilitas dalam ekosistem digital tak bisa dilakukan secara sepihak. Mereka harus dilibatkan sejak proses awal: mulai dari perencanaan, pengujian produk (disability user testing), hingga evaluasi layanan.
Dengan begitu, keberadaan mereka tak lagi sekadar objek kebijakan, tapi subjek aktif yang menentukan arah kebijakan itu sendiri.
Pemerintah punya peran strategis untuk menutup jurang digital ini. Pertama, dengan memastikan kebijakan transformasi digital benar-benar memuat prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Kedua, dengan memperluas jangkauan dan keterjangkauan akses digital yang adaptif—termasuk melalui insentif dan kemitraan dengan sektor swasta. Ketiga, dengan menyediakan pendidikan teknologi yang inklusif, baik dalam sistem pendidikan formal maupun pelatihan masyarakat.
Transformasi digital bukan hanya soal efisiensi dan inovasi teknologi, tapi juga soal keadilan dan keberpihakan. Inklusivitas bukan tambahan, melainkan fondasi.
Ketika ruang digital benar-benar dapat diakses dan dimiliki bersama oleh semua warga negara, termasuk penyandang disabilitas, barulah kita bisa mengatakan bahwa kita telah bergerak menuju masyarakat yang setara.
Baca Juga
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
-
Menelusuri Jaringan Pasar Gelap Satwa Liar dan Lengahnya Negara
-
Antara Rantai dan Tawa: Potret Luka di Balik Topeng Monyet yang Tak Merdeka
-
Kemenangan Akademisi IPB, Napas Baru Perlindungan Pembela Lingkungan
Artikel Terkait
-
Peran Ibu di Era Digital: Temani Anak Hadapi Teknologi Tanpa Cemas
-
5 Rekomendasi Rice Cooker Digital Hemat Listrik: Multifungsi, Harga Ramah Kantong
-
Tak Lagi Ikuti Media Sosial MotoGP, Valentino Rossi Kenapa?
-
Telkom dan Conversant Berkolaborasi: Hadirkan Solusi Distribusi Konten Digital Cepat dan Aman
-
BNN Nggak Tangkap Artis Narkoba, Penjual Online Malah Kena Palak
Kolom
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
Darurat Bullying Nasional: Mengapa Ekosistem Kekerasan Anak Terus Tumbuh?
-
Bullying dan Kelas Sosial: Anak Miskin Lebih Rentan Jadi Target
-
Kasus SMPN 19 Tangsel Jadi Pengingat Keras: Bullying Nggak Pernah Sepele
-
Sepenggal Perjalanan Menjadi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Terkini
-
Bukan Cuma Bungkuk, Ini 5 Cara Sederhana Mencegah Skoliosis Biar Gak Makin Parah
-
Bukan Sekadar Hiburan, Ernest Prakasa Sebut Komedi Jalan Halus Kritik Tajam
-
4 Rekomendasi HP 1 Jutaan dengan Kamera Terbaik di 2025, Resolusi hingga 50MP!
-
Polemik Helwa Bachmid dan Habib Bahar: Klaim Istri Siri Dibantah Istri Sah?
-
Ditipu dan Terlilit Utang Miliaran, Fadil Jaidi Bantu Lunasi Utang Keluarga