Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi media sosial (Pexels.com/fauxels)

Teknologi digital hari ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan kemudahan belajar, hiburan, dan koneksi tanpa batas. Namun di sisi lain, teknologi juga menyimpan sisi gelap yang tak kalah mengerikan, khususnya bagi anak-anak. Mereka adalah kelompok paling rentan terseret dalam arus informasi dan interaksi digital yang belum tentu aman. Kasus grup Facebook “Fantasi Sedarah” dan “Suka Duka” menjadi potret nyata dari kegagapan kita dalam melindungi anak dari kekerasan seksual berbasis digital.

Dalam grup tersebut, para pelaku tak hanya berdiskusi tentang fantasi seksual menyimpang—termasuk inses—tetapi juga memperjualbelikan konten pornografi anak secara vulgar. Harganya pun mencengangkan: hanya Rp 50 ribu untuk 20 konten. Beberapa tersangka dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, hingga Bengkulu telah ditangkap dan dijerat dengan UU ITE, UU Pornografi, dan UU Perlindungan Anak. Namun, penangkapan ini hanyalah puncak dari gunung es kejahatan seksual terhadap anak yang terus membesar di balik layar gawai kita.

Ruang Digital: Lahan Subur Eksploitasi Anak

Menurut laporan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) asal Amerika Serikat, pada 2024 terdapat lebih dari 1,4 juta konten kekerasan seksual terhadap anak yang berasal dari Indonesia. Data ini menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga dengan jumlah konten tertinggi, di bawah India dan Filipina.

Bahkan, Internet Watch Foundation (IWF) mencatat peningkatan laporan eksploitasi seksual anak setiap tahun, dari 400 laporan di 2021 menjadi 897 laporan di 2023, dengan ratusan di antaranya terbukti mengandung kekerasan seksual terhadap anak.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga mengklaim telah menindak lebih dari 1,3 juta konten negatif antara Oktober 2024 hingga Maret 2025. Namun, langkah-langkah pemblokiran tampaknya belum cukup menghalau gelombang distribusi konten menyimpang yang terus bermunculan.

Fantasi yang Menyimpang, Trauma yang Nyata

Kondisi ini diperparah oleh krisis relasi dalam keluarga. Banyak anak tumbuh dalam rumah yang secara fisik hadir, namun secara emosional kosong. Ayah dan ibu yang tenggelam dalam layar mereka sendiri tak lagi menjadi tempat bertanya atau bersandar. Literasi digital yang rendah memperparah situasi—orang tua lebih sering menganggap internet sebagai alat hiburan ketimbang ruang nilai yang harus diawasi.

Ironisnya, banyak kejahatan seksual terhadap anak justru bermula dari lingkaran keluarga sendiri. Grup “Fantasi Sedarah” tidak hanya mencerminkan kekerasan daring, tapi juga memperlihatkan betapa relasi kuasa dalam rumah tangga bisa menjadi pemicu trauma yang dalam dan berlapis.

Masyarakat dan Negara Tak Boleh Diam

Kita tak bisa terus bergantung pada aparat hukum. Penegakan hukum penting, tapi langkah preventif jauh lebih krusial. Literasi digital harus dimulai dari rumah, dilanjutkan di sekolah, dan diperkuat lewat pelatihan orang tua. Sistem pelaporan yang mudah, pengawasan digital berbasis AI, serta dukungan psikososial untuk korban adalah bagian dari pendekatan sistemik yang harus dibangun segera.

Lebih dari itu, masyarakat tidak boleh lagi bersikap masa bodoh terhadap konten menyimpang. Melaporkan akun mencurigakan, menolak ikut menyebarkan, dan aktif dalam gerakan perlindungan anak adalah bagian dari tanggung jawab kolektif kita sebagai warga digital.

Kesimpulan: Dunia Maya, Luka Nyata

Kasus “Fantasi Sedarah” seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua: dunia digital bukan ruang kosong tanpa batas moral. Di balik algoritma dan notifikasi, ada anak-anak yang bisa menjadi korban selanjutnya jika kita lengah. Bila keluarga pasif, masyarakat apatis, dan negara lamban, maka kita tengah membiarkan generasi muda tumbuh dalam dunia maya yang brutal dan tak berperikemanusiaan. Dalam ruang digital yang penuh jebakan, kehadiran orang dewasa yang peduli adalah satu-satunya pelindung yang masih bisa diandalkan. Jangan tunggu anak-anak kita terluka untuk kemudian merasa menyesal.

Yayang Nanda Budiman