Di tengah krisis iklim yang semakin nyata dan ruang hidup yang terus menyempit, publik dikejutkan oleh kemunculan istilah baru: “Wahabi Lingkungan”. Sebuah label yang tiba-tiba dilekatkan pada mereka yang gigih menolak ekspansi industri ekstraktif, khususnya tambang, atas nama keberlanjutan hidup bersama.
Label ini pertama kali diucapkan oleh Ulil Abshar Abdalla, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang dikenal sebagai salah satu figur intelektual progresif dalam lanskap keislaman Indonesia.
Dalam pernyataannya, Ulil menyebut bahwa penolak tambang bisa dikategorikan sebagai “Wahabi Lingkungan”—istilah yang seolah menggeser semangat konservatisme teologis ke dalam arena ekologi.
Alih-alih membuka ruang diskusi berbasis data dan keadilan ekologis, pernyataan ini justru menjadi legitimasi untuk membingkai kritik lingkungan sebagai bentuk kefanatikan. Aktivisme lingkungan pun direduksi menjadi sikap keras kepala yang menolak kompromi, seakan mereka yang berdiri membela tanah, air, dan udara bersih adalah musuh pembangunan.
Namun, siapa sebenarnya yang ekstrem? Para aktivis yang menolak pertambangan karena dampaknya telah terbukti menghancurkan ekosistem dan mengorbankan masyarakat adat? Atau para pemangku kepentingan yang terus membuka keran eksploitasi demi investasi jangka pendek?
Pernyataan Ulil tak datang di ruang hampa. Ia muncul dalam konteks yang mencurigakan: PBNU yang dulu pernah mengeluarkan fatwa haram atas praktik eksploitatif terhadap alam, kini justru menerima konsesi tambang batu bara seluas lebih dari 26 ribu hektare dari negara.
Sebuah manuver yang memantik gelombang kritik dari masyarakat sipil hingga kader muda Nahdliyin, yang merasa nilai-nilai keulamaan dan keadilan ekologis sedang diperdagangkan.
Labelisasi terhadap aktivis lingkungan sebagai “Wahabi” bukan hanya sesat secara intelektual, tapi juga berbahaya secara politis.
Ia berfungsi sebagai senjata delegitimasi—untuk membungkam kritik, bukan memahami substansi. Ia menyederhanakan persoalan struktural menjadi persoalan gaya, mengaburkan kerusakan nyata yang ditimbulkan oleh industri tambang: perampasan tanah, pencemaran air, konflik horizontal, hingga kriminalisasi warga.
Di Wadas, Kendeng, Raja Ampat, hingga Kalimantan Timur, mereka yang berdiri di garis depan perjuangan lingkungan adalah wajah dari luka ekologis kita hari ini. Mereka tidak lahir dari ruang kosong. Mereka tumbuh dari pengalaman konkret melihat tanah longsor, air yang keruh, anak-anak yang sesak napas karena debu tambang, dan negara yang tak pernah benar-benar hadir.
Di saat kekuasaan membisu dan hukum berpihak pada pemilik modal, hanya aktivisme lingkungan yang tersisa sebagai tembok terakhir pertahanan hidup masyarakat akar rumput.
Kita tak bisa terus bersikap abai. Stigma seperti “Wahabi Lingkungan” bukan hanya menghina, tapi juga membuka ruang baru bagi represi: dari pengawasan, intimidasi, hingga kekerasan simbolik dan fisik.
Lebih dari itu, ia menghalangi kita untuk membicarakan hal-hal yang lebih penting—dampak sosial-ekologis dari pertambangan, akuntabilitas negara, dan hak hidup warga atas lingkungan yang sehat.
Menolak cap ini bukan hanya tentang membela para aktivis. Ini tentang keberanian kita menjaga kewarasan kolektif, memastikan bahwa debat tentang lingkungan tak dikunci dalam logika sektarian dan label identitas. Sebab yang layak kita curigai bukan mereka yang membela alam, melainkan mereka yang terus mengeruknya sambil berdiri di mimbar moral.
Dalam situasi bumi yang kian genting, kita tak butuh label baru untuk membungkam suara-suara kritis. Kita butuh komitmen yang jujur: bahwa menyelamatkan lingkungan adalah soal etika, keberanian, dan berpihak pada kehidupan.
Hemat kata, penyematan istilah “Wahabi Lingkungan” terhadap aktivis ekologis bukan sekadar kekeliruan semantik, melainkan bentuk pembungkaman yang membahayakan nalar publik dan ruang demokrasi.
Ia mengalihkan perhatian dari urgensi krisis ekologi ke ranah stigma identitas, menciptakan kabut yang menutupi kerusakan riil yang disebabkan oleh industri ekstraktif.
Dalam konteks ini, yang perlu dikritisi bukanlah militansi gerakan lingkungan, melainkan praktik kekuasaan yang menggunakan agama, moral, dan label untuk melegitimasi eksploitasi.
Menolak stigma ini adalah bagian dari perjuangan menjaga integritas perjuangan lingkungan dan keberanian menjaga keberpihakan kita pada hidup yang lebih adil, sehat, dan berkelanjutan bagi semua.
Baca Juga
-
Meneropong Tantangan dan Solusi Literasi Perpajakan bagi Freelancer Digital
-
Brownies, Skripsi, dan Luka Kecil di Tubuh Integritas
-
Menggugat Ironi Fantasi Sedarah dan Darurat Ruang Digital bagi Anak
-
Di Balik Kemudahan Transaksi Digital: Kerentanan Keamanan yang Mengancam?
-
Menepi ke Sunyi: Tahura dan Seni Melambat di Tengah Dunia yang Bergegas
Artikel Terkait
-
Kemenbud: Lebih Baik Investasi Budaya daripada Tambang
-
Benarkah Daratan Antartika Menghijau: Apa yang Mesti Kita Tahu?
-
1.000 Dapur MBG dan Konsesi Tambang Semakin Jauhkan NU dari Kaum Nahdiyin dan Masyarakat Miskin
-
Bagaimana Komunitas Umat Buddha Bergerak dalam Aksi Iklim di Indonesia?
-
Indeks Hubungan Alam, Terobosan Baru Ukur Pembangunan Berkelanjutan
Rona
-
Surga Terakhir di Bumi yang Hilang: Ketika Raja Ampat Dikepung Tambang
-
Hari Hutan Hujan Sedunia: Suara Global untuk Menyelamatkan Paru-Paru Bumi
-
Dulu Diragukan Kini Diakui, Saga Petani Tegalsari Wujudkan Pertanian Organik
-
Berburu Pangan Lokal: Dari Pasar Tradisional ke Meja Makan Ramah Iklim
-
Bawa Botol Minum Sendiri: Kebiasaan Kecil yang Selamatkan Laut dan Iklim
Terkini
-
Gaet Park Shin Hye dan Go Kyung Pyo, Drama Baru tvN Umumkan Jadwal Tayang
-
Minim Kabar, James Wan Buka Suara soal Proyek Train to Busan Versi Amerika
-
Toyota Raize 2025: Si Kecil Cabe Rawit yang Siap Bikin SUV Lain Minder
-
6 Ide OOTD Simpel ala Mikha Tambayong untuk Tampil Memesona saat Hangout
-
3 Gaya Outfit Manis Tissa Biani dengan Rok yang Stylish Abis!